“Kamu jangan bicara sembarangan. Lagi pula mana mungkin ibu jual angkot tanpa bilang ke Ayah dulu.”
“Susah, ya! Segitu enggak percayanya Ayah sama kami. Udah bener Ayah dinas di luar kota aja. Enggak usah pulang-pulang. Sekalinya pulang malah bikin suasana di rumah jadi enggak enak.”
Musa lantas pergi ke kamar Lara, padahal azan isya sudah berkumandang, tetapi anak-anak sepertinya tak berniat untuk segera beranjak pergi ke musala.
“Kamu enggak salat?”
“Kalau, aku salat. Bisa jadi Bunda malah dipukulin Ayah.”
“Ya, enggaklah sejak kapan Ayah tega main fisik.”
“Kamu salat aja, Ayah perlu bicara sama Bunda! Bawa adik-adikmu sekalian.”
Saat itu Musa yang hendak menaiki tangga mendadak menghentikan langkahnya ia menatapku dengan pandangan menelisik. Seolah tak percaya, jika aku tidak akan berbuat kasar. Lagi pula semur berumah tangga dengan Lara, mana pernah aku memukulnya. Apa lagi sekarang Lara juga sedang hamil besar. Aku tidak sekejam itu.
“Awas kalau aku lihat Bunda kenapa-kenapa?”
“Kamu mau apa emang?”
“Laki-laki sejati enggak mukul perempuan.”
Aku tidak pernah menyangka jika kalimat yang dahulu selalu aku ucapkan pada ketiga anak lelakiku malah berbalik pada dirikku sendiri. Aku memang sedikit perhitungan soal keuangan. Hanya saja, tidak untuk kekerasan dalam rumah tangga.
“Adek, ke musala sekarang ya! Udah azan isya.”
“Aku mau sama Bunda, aja A,” sahut Sean.
“Jangan, Bunda mau istirahat. Katanya mau dipijitin Ayah.”
“Hah, Ayah beneran mau mijitin Bunda?” tanya Arfan dengan pandangan yang tak percaya.
Seumur-umur aku bahkan tak pernah memijat Lara. Entah kenapa Musa malah mengatakan hal itu.
“Oh, iya. Bunda kan capek abis nyuci, jadi nanti Ayah pijat.”
Saat itu Lara sendiri bahkan menatapku dengan pandangan yang tak jauh berbeda seperti kedua anakku yang lainnya. Namun, ia cenderung lebih santai dari pada peduli ia malah terkesan masa bodo. Saat itu aku berada tepat di samping Musa, yang malah melirikku dengan tajam.
“Tadi aku niatnya juga mau mijitin, kalau enggak mau ya udah aku sama adek-adek enggak usah tarawih aja,” bisik Musa.
“Jangan kalian pergi aja. Nih, Ayah mau mijitin sekarang. Sana-sana pergi. Biar dapat shaf paling depan. Jangan bercanda ya, salatnya.”
“Kita mana pernah bercanda, Ayah. Dosa!” kata Arfan.
“Oh, bagus. Kalian memang anak-anak saleh Ayah.”
Saat itu aku mencoba untuk tersenyum seramah mungkin. Namun, anak-anakku malah tampak melihatkku dengan pandangan aneh. Sambil menyibak gamis yang digunakan Lara, aku masih mencoba memasang wajah senyum.
“Akang mau apa?” tanya Lara dengan wajah paniknya.
“Ya mijitin.”
“Ya, enggak sekarang juga Kang.”
“Sudah diam aja!”
“Emang Akang bisa mijit?”
“Ya bisalah, mijit doang masa enggak bisa. Sudah tenang saja, dijamin enak.”
Setelah memastikan jika aku benar-benar melakukan apa yang Musa katakan, barulah satu perasatu anak-anakku meninggalkan rumah. Mereka juga turut menyalamiku dan Lara bergantian.
“Jangan ribut lagi!” lirih Musa, tepat saat gilran salamannya tiba.
Ah, kenapa juga anak ini sangat protektif pada bundanya? Sudah kukatakkan berkali-kali aku tidak main kasar pada perempuan pun ia masih saja tak percaya.
Seiring dengan kepergian anak-anak. Rumah pun menjadi sangat hening.
“Sudah enggak usah mijet, Kang!”
Lara tiba-tiba menarik kakinya, yang sejak tadi sudah berada di pangkuanku. Namun, tanpa menunggu lama, aku kembali menariknya.
“Ish, pelan-pelan Akang!”
“Oh, iya maaf.”
Saat itu aku baru sadar, jika kaki Lara kenapa menjadi besar. Aku memastikan dengan melihat wajah dan tubuhnya. Namun, kenapa tampak ganjil. Pipinya tidak chubby dan tubuh Lara juga tidak membesar. Kenapa bagian kaki ini malah terlihat membengkak sendiri.
“Itu bengkak.”
Sepertinya Lara tahu apa yang kupikirkan, terbukti ia langsung menjelaskannya.
“Hamil tua memang suka begitu.”
“Udah periksa?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Enggak ada yang nganter.”
“Kan ada motor. Biasanya juga sendiri bisa.”
“Ya.”
“Kok cuma iya.”
“Ini kalau didiemin bahaya. Besok periksa ya.”
“Enggak ada bensin.”
“Ya ampun, ini makanya dipegang buat periksa.”
“Kalau siang aku lemes, takut jatuh dijalan.”
Kalau sudah begini pasti susah sekali untuk membujuknya. Akan lebih baik jika aku membuatnya sedikit lebih rilex dengan pijatan ringan di kakinya. Mungkin itu akan sedikit menurunkan tingkat kemarahannya.
“Kamu kenapa sih mau jual mobil? Apa ada sesuatu yang kamu tahu tentang mobil?”
“Kenapa tanya aku? Tanyanya ke keluarga Akang di kampung!”
“Ya, kalau Akang tanya di kampung pasti jawabannya sama. Mobil ada di grasi semua.”
“Ya sudah, kenapa juga tanya. Intinya Akang enggak mau jual.”
“Bukan begitu, tapi tadi Musa bilang masa mobilnya udah enggak ada. Akang pikir kamu tahu sesuatu.”
“Aku tuh sebenarnya capek ngomong sama Akang. Bahkan enggak peduli kalau yang diomongin Ibu benar atau bohong buat Akang semua itu tetaplah sebuah kebenaran. Berbeda dengan kami, Akang enggak akan peduli jika kami berkata jujur, hanya karena itu sedikit menjelakkan keluarga Akang di kampung. Akang ngiranya pasti itu semua bohong. Jadi, untuk hal ini sebaiknya Akang datang dan pastikan sendiri di kampung. Jangan sampai ibu kirim pesan ke aku lagi. Nuduh aku yang macam-macam padahal kenyataannya, apa yang aku tuduhkan memang benar.”
“Tapi, Akang sibuk banget akhir-akhir ini. Sebentar lagi ‘kan lebaran. Kemarin aja Akang abis keluar kota karena ada proyek. Dua hari lagi Akang harus ke luar kota lagi. Mana sempat ke sana. Mana produksi di pabrik juga lagi banyak-banyaknya. Coba sekarang Akang tanya, kamu dapaet informasinya bagaimana?”
“Mobil itu cuma sisa satu yang kredit. Yang 3nya udah dijual. 2 dijual, 1 di over kredit.”
“Astaghfirrullah, tapi ibu enggak ada bilang apa pun.”
“Kamu dapat info dari mana sih?”
“Dari Kang Firman, dia ‘kan kerja di sekitar sini.”
“Di mana? Orang Akang enggak pernah ketemu.”
“Seminggu yang lalu dia kerja jadi tukang gali buat saluran pipa gas di depan jalan raya sana.”
“Astaghfirrulah.”
Sungguh aku benar-benar shock bukan main. Kenapa ibuku tega memanfaatkanku selama ini.
“Padahal aku masih bayar cicilan untuk 2 mobil loh Dek, ibu bahkan selalu kirim laporan pendapatannya.”
“Laporan mah bisa ngarang. Kamu lupa Tia sekolah jurusan akuntansi.”
“Ya Allah. Akang enggak bisa kayak gini, Akang harus pulang sekarang juga.”
Saat itu ketika aku panik bukan main, Lara bukannya menenangkanku. Ia malah tersenyum.
“Kamu kok malah senyum?”
“Enggak, enggak enak ‘kan rasanya dikecewakan sama orang yang sudah kita percaya? Itu yang aku rasakan setiap hari. Berbakti boleh Kang, tapi kalau enggak bisa menuhin kebutuhan anak istri. Mau uang sebanyak apa pun, jatuhnya enggak akan berkah. Sudahlah, enggak usah mijit lagi! Aku tahu ini pasti kerjaan Musa, lagian mana mau sih Akang ngelakuin perkejaan haram ini.”
“Haram apa lagi sih, Dek.”
“Ya, ‘kan ibumu yang bilang mijat istri itu haram, jatuhnya mau-mau aja diperbudak istri.”
“Astaghfirrullah, mana pernah ibu bilang gitu.”
“Ini!”
“Astaghfirrullah.”
“Ibu tahu dari mana coba.”
“Akang kali yang ngadu.”
“Akang enggak bawa hp.”
Saat itu aku berusaha membaca pesan yang baru saja ibu kirimkan padaku. Itu berisi screenshootan status wa. Atas nama Musa.
“Ada-aja memang anak yang satu itu.”
“Lihat dari status Musa itu.”
“Kamu kenapa enggak pulang ke kampung aja sih Kang, tinggal serumah sama ibumu.”
“Sudahlah blok aja! ribet banget!”
“Tumben!”
Entahlah aku hanya merasa kenapa ibu begitu menyebalkan. Mobil dijual enggak bilang, padahal selama ini aku selalu memperlakukan mereka dengan sangat baik. Bahkan, lebih baik dari pada aku memperlakukan keluargaku sendiri. Jika, semua yang dituduhkan, benar kejam sekali mereka padaku. Apakah selama ini aku hanya dimanfaatkan saja?
“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku. “Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!” “Kamu udah enggak sakit kakinya?” “Kalau sakit, memangnya kenapa?” “Ya, Akang mau pijitin.” “Enggak usah! Haram!” “Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.” “Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.” “Enggak usah.” “Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.” Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan. “Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?” “Sudah.” “Siapa yang belikan?” “Di kasih Bu Aisyah?” “Di kasih bekasan?” “Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?” Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku te
“Kamu enggak inget ya, sampai kapan pun, enggak peduli kamu mau bilang pisah berapa kali lagi, talak itu hanya jatuh saat diucapkan suami. Aku enggak suka ya Ra, kamu bicara sembarangan begini. Kamu tahu enggak istri yang gampang mengucap cerai, itu enggak akan mencium wangi surga?” Entahlah baru kali ini aku melihat Lara seberani ini. Aku tidak menyangka bisa-bisanya dia punya pikiran sejauh itu. “Lalu, bagaimana hukumnya suami yang enggak bertanggungjawab? Membiarkan anak-anaknya kelaparan, bahkan sampai malnutrisi. Akang pikir rumah tangga ini hanya tentang rumah, kendaraan dan tabungan aja? Akang itu terlalu sombong, Akang yakin banget bakal hidup sampai tua nanti, kalau enggak siapa yang kelak nikmatin kerja kerasmu? Akang terlalu memikirkan masa depan, padahal kita hidup di masa sekarang. Akang membiarkan kami sedemikian berhematnya, sampai aku muak.” “Akang minta maaf. Kemarin itu benar-benar lupa. Lagi pula kenapa kamu enggak menghubungi Akang coba?‘Kan bisa kamu telepon Ak
“Saya ke sana agak maleman ya Kang, satu jam lagi mungkin. Mau anter istri ke Bidan dulu.”“Oh, siap-siap. Teh Lara lagi ngisi lagi?”“Oh, iya Kang, alhamdulillah sudah 7 bulan.”“Ya sudah, kalau begitu.”Akhirnya telepon pun di matikan, kebetulan cucian juga sudah selesai di bilas. Hanya tinggal dijemur besok pagi jika sudah ada panas matahari. Aku berinisiatif untuk memanggil Lara ke atas.“Dek, ayo ke bidan sekarang aja!”“Besok aja, Adek capek pengen tiduran dulu.”“Jangan ditunda dulu, mumpung Akang ada di rumah?”“Sejak kapan sih Akang jadi peduli gini. Biasanya juga masa bodo ‘kan?”“Ya, karena Akang sayang sama kamu, makanya enggak mau sampai kamu kenapa-kenapa.”“Gak mau kenapa-kenapa, apa takut ditinggal pergi.”“Ya, dua-duanya. Akang mau ngapain coba kalau di rumah enggak ada kalian.”“Ya, kerjalah. Akang ‘kan selama ini juga lebih banyak kerja, ketimbang di rumahnya. Lagian ada keluarga Akang, bisa pulang ke sana kapan aja!”“Ya, bedalah Dek. Namanya orang tua sama kalian.
“Jangan pisah juga dong Ra, kamu boleh marah sama Akang. Enggak apa-apa Akang terima. Kamu mau pukul Akang pun enggak apa-apa Akang ikhlas. Sok pukul sampai kamu puas!”Saat itu aku sampai menggenggam tangan Lara, hanya demi menyalurkan emosinya. Entahlah aku hanya berpikir jika ia marah, setidaknya itu akan jauh lebih baik dari pada aku harus benar-benar kehilangannya. Namun, bukannya memukul seperti kebanyakan perempuan lainnya saat emosi. Lara malah menghempaskan lengannya dengan begitu keras.“Mukul itu enggak akan menyelesaikan masalah.”“Ya, tapi Akang enggak mau pisah sama kamu. Dari tadi loh, kamu bilang mau pisah terus. Siapa yang enggak panik. Belasan tahun kita rumah tangga, baru kali ini kamu begini, Ra! Akang ‘kan udah janji mau berubah, tolonglah beri Akang kesempatan, jangan pisah-pisah terus. Semua juga perlu waktu, Akang juga masih shock dengar mobil udah dijual 3 sama ibu. Tolonglah mengerti posisi Akang juga, Ra.”“Akang tuh dari dulu emang egosi, cuma pengen dimeng
Aku yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Musa, lantas dengan tergesa-gesa mencari ke setiap sudut ruangan rumahku. Sambil terus memanggil namanya, berharap ia mungkin hanya sedang tertidur atau beristirahat di ruangan lain. Sayangnya, setiap ruang telah kutelusuri, tetapi hasilnya nihil.“Kan sudah kubilang enggak ada,” ucap Musa dari lantai atas.“Ayah di rumah aja jaga anak-anak. Biar aku yang cari Bunda!”“Loh, kok Ayah yang jaga anak-anak? Ayah aja yang cari!”“Emang Ayah enggak mau jaga adik-adik? Lagian ayah juga ‘kan enggak akan tahu biasanya Bunda pergi ke mana aja? mana pernah Ayah peduli.”Saat itu Musa terlihat sangat kesal. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal ucapannya. Selama ini aku memang tak perhatian dengan Lara. Sampai aku tidak tahu ke mana saja ia pergi dan siapa saja teman-temannya.“Kalau enggak mau direpotkan sama anak-anak, kenapa atuh bikin anak banyak-banyak?”“Musa, kamu tahu enggak ucapan kamu itu keterlaluan.”“Ayah juga keterlaluan. Selama i
Saat itu aku yakin sekali jika Bu Yeni dan Sofia yang masih berada di ruang tamu, turut mendengar bisikan Musa padaku. Tampak dari cara pandang mereka yang berubah seketika melihat kami.“Sofia ambilkan saja jajanan di rumah kita, bawa ke sini cepat ya! Takutnya Sean juga keburu ngantuk ‘kan, mau istirahat.”“Enggak usah Bu, ini Musa juga bawa camilan dari luar. Nanti biar Musa yang tenangin Sean, maaf ya malam-malam ngerepotin jadinya. Sean pasti ngamuk dan bikin geger sekampung ya?” tanya Musa yang tampak tak enak hati.“Ah, biasa itu mah Mus, namanya juga anak-anak. Bagaimana ibunya udah ada kabar?”“Hm, belum Bu. Besok aja kayaknya Musa cari lagi. Tadi kepikiran adek-adek takut rewel juga kalau ditinggal.”“Semoga cepet ketemu ya, Bundanya biar pulang lagi. Kalau begitu ibu sama Sofia pamit, ya!”“Iya, makasih Bu, Sof.”Sofia tampak tersenyum ramah padaku dan Musa. Kemudian, mereka pun segera pergi. Mungkin juga merasa tak nyaman, karena keributan kami barusan.“Aa bawa es krim sa
“Diblokir itu mah, Yah,” sahut Musa.Rupanya dia kembali keluar kamar. Aku bahkan tak menyadari keberadaannya, karena terlalu sibuk memikirkan tingkah keluargaku yang ternyata begitu kejam dan serakah terhadap uang. Mereka bahkan tak punya belas kasihan. Sungguh, sekarang aku benar-benar merasa hanya dijadikan tak ubahnya seperti sapi perah oleh mereka.“Ini buktinya aku bisa kirim pesan ke nenek.”Musa menunjukkan layer ponselnya yang baru saja mengirimkan pesan singkat pada nomor ibu dan memang terkirim. Bahkan, di sana foto profilenya juga masih terlihat. Berbeda denganku yang masih putih. Namun, saat itu tak menunggu lama, rupanya nomor Musa juga diblokir setelah pesan itu dibaca ibu.“Astaghfirrullah, keterlaluan banget mereka ini. Giliran butuh apa-apa aja nelepon.”“Sekarang ayah tahu sendiri ‘kan bagaimana perlakuan nenek ke Bunda. Semua yang diucapin Bunda itu nyata, tapi Ayahnya aja yang enggak pernah percaya. Kasihan, ‘kan Bunda selalu jadi korban fitnah. Padahal, jelas-jel
“Tapi, kalau berangkat malam aturan pagi udah sampai rumah saya. Orang Sukabumi ke Bogor ‘kan enggak terlalu jauh Bu, saya juga berangkatnya agak siang kok.”“Aduh saya kurang tahu kalau masalah itu. Soalnya pas saya tanya, Bu Sukma jawabnya gitu, mau silaturahmi ke rumah Kang Jimy.”Ya Tuhan, drama apa lagi yang dilakukan mereka. Setelah berhasil menjual angkotku sekarang mereka malah mau melarikan diri. Sungguh keterlaluan.“Kalau begitu saya permisi, Kang.”“Iya, Bu Neneng makasih banyak ya, buat informasinya.”Sekarang aku bahkan tak tahu bagaimana cara membuka gembok dan rumahnya. Saat itu tampak hanya ada satu mobil angkot yang terparikir di grasi. Sungguh, begitu melihatnya emosiku menjadi memuncak seketika. Tanpa sadar, karena rasa lelah, lapar dan emosi yang bercampur menjadi satu, tanpa sadar aku menendang pagar rumah ibu dengan begitu kerasnya. Sampai-sampai hal itu membuat Sean dan A