Share

Bab 6

“Kamu jangan bicara sembarangan. Lagi pula mana mungkin ibu jual angkot tanpa bilang ke Ayah dulu.”

“Susah, ya! Segitu enggak percayanya Ayah sama kami. Udah bener Ayah dinas di luar kota aja. Enggak usah pulang-pulang. Sekalinya pulang malah bikin suasana di rumah jadi enggak enak.”

Musa lantas pergi ke kamar Lara, padahal azan isya sudah berkumandang, tetapi anak-anak sepertinya tak berniat untuk segera beranjak pergi ke musala.

“Kamu enggak salat?”

“Kalau, aku salat. Bisa jadi Bunda malah dipukulin Ayah.”

“Ya, enggaklah sejak kapan Ayah tega main fisik.”

“Kamu salat aja, Ayah perlu bicara sama Bunda! Bawa adik-adikmu sekalian.”

Saat itu Musa yang hendak menaiki tangga mendadak menghentikan langkahnya ia menatapku dengan pandangan menelisik. Seolah tak percaya, jika aku tidak akan berbuat kasar. Lagi pula semur berumah tangga dengan Lara, mana pernah aku memukulnya. Apa lagi sekarang Lara juga sedang hamil besar. Aku tidak sekejam itu.

“Awas kalau aku lihat Bunda kenapa-kenapa?”

“Kamu mau apa emang?”

“Laki-laki sejati enggak mukul perempuan.”

Aku tidak pernah menyangka jika kalimat yang dahulu selalu aku ucapkan pada ketiga anak lelakiku malah berbalik pada dirikku sendiri. Aku memang sedikit perhitungan soal keuangan. Hanya saja, tidak untuk kekerasan dalam rumah tangga.

“Adek, ke musala sekarang ya! Udah azan isya.”

“Aku mau sama Bunda, aja A,” sahut Sean.

“Jangan, Bunda mau istirahat. Katanya mau dipijitin Ayah.”

“Hah, Ayah beneran mau mijitin Bunda?” tanya Arfan dengan pandangan yang tak percaya. 

Seumur-umur aku bahkan tak pernah memijat Lara. Entah kenapa Musa malah mengatakan hal itu.

“Oh, iya. Bunda kan capek abis nyuci, jadi nanti Ayah pijat.”

Saat itu Lara sendiri bahkan menatapku dengan pandangan yang tak jauh berbeda seperti kedua anakku yang lainnya. Namun, ia cenderung lebih santai dari pada peduli ia malah terkesan masa bodo. Saat itu aku berada tepat di samping Musa, yang malah melirikku dengan tajam.

“Tadi aku niatnya juga mau mijitin, kalau enggak mau ya udah aku sama adek-adek enggak usah tarawih aja,” bisik Musa.

“Jangan kalian pergi aja. Nih, Ayah mau mijitin sekarang. Sana-sana pergi. Biar dapat shaf paling depan. Jangan bercanda ya, salatnya.”

“Kita mana pernah bercanda, Ayah. Dosa!” kata Arfan.

“Oh, bagus. Kalian memang anak-anak saleh Ayah.”

Saat itu aku mencoba untuk tersenyum seramah mungkin. Namun, anak-anakku malah tampak melihatkku dengan pandangan aneh. Sambil menyibak gamis yang digunakan Lara, aku masih mencoba memasang wajah senyum. 

“Akang mau apa?” tanya Lara dengan wajah paniknya.

“Ya mijitin.”

“Ya, enggak sekarang juga Kang.”

“Sudah diam aja!”

“Emang Akang bisa mijit?”

“Ya bisalah, mijit doang masa enggak bisa. Sudah tenang saja, dijamin enak.”

Setelah memastikan jika aku benar-benar melakukan apa yang Musa katakan, barulah satu perasatu anak-anakku meninggalkan rumah. Mereka juga turut menyalamiku dan Lara bergantian.

“Jangan ribut lagi!” lirih Musa, tepat saat gilran salamannya tiba.

Ah, kenapa juga anak ini sangat protektif pada bundanya? Sudah kukatakkan berkali-kali aku tidak main kasar pada perempuan pun ia masih saja tak percaya.

Seiring dengan kepergian anak-anak. Rumah pun menjadi sangat hening.

“Sudah enggak usah mijet, Kang!”

Lara tiba-tiba menarik kakinya, yang sejak tadi sudah berada di pangkuanku. Namun, tanpa menunggu lama, aku kembali menariknya.

“Ish, pelan-pelan Akang!”

“Oh, iya maaf.”

Saat itu aku baru sadar, jika kaki Lara kenapa menjadi besar. Aku memastikan dengan melihat wajah dan tubuhnya. Namun, kenapa tampak ganjil. Pipinya tidak chubby dan tubuh Lara juga tidak membesar. Kenapa bagian kaki ini malah terlihat membengkak sendiri.

“Itu bengkak.”

Sepertinya Lara tahu apa yang kupikirkan, terbukti ia langsung menjelaskannya.

“Hamil tua memang suka begitu.”

“Udah periksa?”

“Belum.”

“Kenapa?”

“Enggak ada yang nganter.”

“Kan ada motor. Biasanya juga sendiri bisa.”

“Ya.”

“Kok cuma iya.”

“Ini kalau didiemin bahaya. Besok periksa ya.”

“Enggak ada bensin.”

“Ya ampun, ini makanya dipegang buat periksa.”

“Kalau siang aku lemes, takut jatuh dijalan.”

Kalau sudah begini pasti susah sekali untuk membujuknya. Akan lebih baik jika aku membuatnya sedikit lebih rilex dengan pijatan ringan di kakinya. Mungkin itu akan sedikit menurunkan tingkat kemarahannya.

“Kamu kenapa sih mau jual mobil? Apa ada sesuatu yang kamu tahu tentang mobil?”

“Kenapa tanya aku? Tanyanya ke keluarga Akang di kampung!”

“Ya, kalau Akang tanya di kampung pasti jawabannya sama. Mobil ada di grasi semua.”

“Ya sudah, kenapa juga tanya. Intinya Akang enggak mau jual.”

“Bukan begitu, tapi tadi Musa bilang masa mobilnya udah enggak ada. Akang pikir kamu tahu sesuatu.”

“Aku tuh sebenarnya capek ngomong sama Akang. Bahkan enggak peduli kalau yang diomongin Ibu benar atau bohong buat Akang semua itu tetaplah sebuah kebenaran. Berbeda dengan kami, Akang enggak akan peduli jika kami berkata jujur, hanya karena itu sedikit menjelakkan keluarga Akang di kampung. Akang ngiranya pasti itu semua bohong. Jadi, untuk hal ini sebaiknya Akang datang dan pastikan sendiri di kampung. Jangan sampai ibu kirim pesan ke aku lagi. Nuduh aku yang macam-macam padahal kenyataannya, apa yang aku tuduhkan memang benar.”

“Tapi, Akang sibuk banget akhir-akhir ini. Sebentar lagi ‘kan lebaran. Kemarin aja Akang abis keluar kota karena ada proyek. Dua hari lagi Akang harus ke luar kota lagi. Mana sempat ke sana. Mana produksi di pabrik juga lagi banyak-banyaknya. Coba sekarang Akang tanya, kamu dapaet informasinya bagaimana?”

“Mobil itu cuma sisa satu yang kredit. Yang 3nya udah dijual. 2 dijual, 1 di over kredit.”

Astaghfirrullah, tapi ibu enggak ada bilang apa pun.”

“Kamu dapat info dari mana sih?”

“Dari Kang Firman, dia ‘kan kerja di sekitar sini.”

“Di mana? Orang Akang enggak pernah ketemu.”

“Seminggu yang lalu dia kerja jadi tukang gali buat saluran pipa gas di depan jalan raya sana.”

Astaghfirrulah.”

Sungguh aku benar-benar shock bukan main. Kenapa ibuku tega memanfaatkanku selama ini. 

“Padahal aku masih bayar cicilan untuk 2 mobil loh Dek, ibu bahkan selalu kirim laporan pendapatannya.”

“Laporan mah bisa ngarang. Kamu lupa Tia sekolah jurusan akuntansi.”

“Ya Allah. Akang enggak bisa kayak gini, Akang harus pulang sekarang juga.”

Saat itu ketika aku panik bukan main, Lara bukannya menenangkanku. Ia malah tersenyum.

“Kamu kok malah senyum?”

“Enggak, enggak enak ‘kan rasanya dikecewakan sama orang yang sudah kita percaya? Itu yang aku rasakan setiap hari. Berbakti boleh Kang, tapi kalau enggak bisa menuhin kebutuhan anak istri. Mau uang sebanyak apa pun, jatuhnya enggak akan berkah. Sudahlah, enggak usah mijit lagi! Aku tahu ini pasti kerjaan Musa, lagian mana mau sih Akang ngelakuin perkejaan haram ini.”

“Haram apa lagi sih, Dek.”

“Ya, ‘kan ibumu yang bilang mijat istri itu haram, jatuhnya mau-mau aja diperbudak istri.”

Astaghfirrullah, mana pernah ibu bilang gitu.”

“Ini!”

“Astaghfirrullah.”

“Ibu tahu dari mana coba.”

“Akang kali yang ngadu.”

“Akang enggak bawa hp.”

Saat itu aku berusaha membaca pesan yang baru saja ibu kirimkan padaku. Itu berisi screenshootan status wa. Atas nama Musa.

“Ada-aja memang anak yang satu itu.”

“Lihat dari status Musa itu.”

“Kamu kenapa enggak pulang ke kampung aja sih Kang, tinggal serumah sama ibumu.”

“Sudahlah blok aja! ribet banget!”

“Tumben!”

Entahlah aku hanya merasa kenapa ibu begitu menyebalkan. Mobil dijual enggak bilang, padahal selama ini aku selalu memperlakukan mereka dengan sangat baik. Bahkan, lebih baik dari pada aku memperlakukan keluargaku sendiri. Jika, semua yang dituduhkan, benar kejam sekali mereka padaku. Apakah selama ini aku hanya dimanfaatkan saja?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Semoga Jimy segera sadar sudah dimanfaatkan oleh keluarga nya
goodnovel comment avatar
dianrahmat
kewajiban laki2 adalah istri & anak2. itu merupakan kewajiban yg melekat. berbakti pada ortu adalah kewajiban setelahnya.
goodnovel comment avatar
Isabella
Berbakti kedua orang tua itu wajib. tapi juga tidak nelantarin anak istri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status