“Akang bawa motornya bakal pelan-pelan kok. Kamu tenang aja! Ayo naik! Kenapa kamu diem aja!” pintaku.
Kami sudah berada di parkiran bukannya langsung sat set Lara malah menatapku sambil terkekeh.
“Hm iya Kang, tapi kayaknya itu Hafsah aku aja yang gendong. Masa Akang mau nyetir sambil gendong bayi?”
“Oh, iya. Astaghfirrullah Akang lupa. Ini kamu yang bawa.”
Saking semangatnya pulang, aku bahkan hampir saja mengabaikan keselamatan anakku sendiri.
Sepanjang perjalanan kami bahkan nyaris tak bicara apa pun. Sampai kemudian kami melewati jalanan yang lumayan rusak parah mau tidak mau meski sudah sangat pelan, tetap saja tubuh Lara ikut terguncang. Saat itu aku baru saja ingin memberi peringatan pada Lara, sampai kemudian aku merasakan tangan Lara sudah melingkar di pundakku.
Bahkan aku bisa merasakan pelukannya menjadi semakin kencang seiring dengan jalanan yang rusak parah. Ah, ternyata ada berkahnya juga jalanan rusak. Aku
Padahal kemarin saat di Garut juga sudah seranjang, tetapi kali ini tetap berbeda. Lara yang minta sendiri. Sayangnya sudah 10 menit berlalu, tak ada yang terjadi pada kami berdua. Aku pikir Lara akan..., ah sudahlah. Kalau begini ceritanya alamat gagal dilecehkan. “Lara!” “Akang!” Ah, kami malah memanggil secara serempak. Memang kalau jodoh mau diterpa ujian sekeras badai atau halilintar tetap saja akan balik lagi. “Akang duluan aja!” “Hm kamu belum tidur?” tanyaku sembari membalikkan tubuh ke arahnya. Di tengah-tengah kami ada Hafsah. Anak itu bahkan begitu tenang ketika kedua orang tuanya tidur bersama. Beda sekali dengan saat kami belum tidur seranjang. Anak pintar. “Belum,” kata Lara yang juga berbalik ke arahku. “Enggak ngantukkah?” “Iya, mendadak hilang ngantuknya.” “Bagaimana kalau kita ngobrol aja.” “Bolehngomong sama kamu.” “Bilang aja kali, Kang.” “Soal nama kamu.
“Buru-buru amat makannya Kang, mau ke mana sih?” tanya Zila.“Biasalah, ada temen yang ngajak ketemu.”“Siapa?”“Cowok.”“Oh.”“Musa lihat! Bunda kamu cemburu.”“Apa sih Akang, siapa yang cemburu. Wajah ‘kan tanya-tanya.”“Enggak wajar Bun, kecuali cemburu,” ucap Musa sambil terkekeh pelan.Anak itu memang bisa diandalkan, kalau begini tidak jadi kuhajar.“Kok malah jadi bela Ayah.”Saat itu aku tahu Zila kesal. Namun, ia juga tidak mampu mengelak tentang apa yang terjadi di dalam hatinya.“Cemburu itu tandanya, Sayang ‘kan?” tanyaku.“Khawatir aja.”“Khawatirin apa orang segede Akang enggak akan ada yang nyulik. Dagingnya juga udah enggak enak.”“Takut Akang diajak tanding lagi. Temen yang ngajak ketemuan pasti anak taekwondo
“Aku enggak mancing kok.” “Ini maksudnya apa bawa susu kambing?” “Ya ‘kan emang Akang suka susu.” “Enggak ah, biasanya juga Akang suka susu. Makanya aku inisiatif beli aja.” “Ya, tapi ‘kan kamu juga biasanya beli yang sapi.” “Tadi lewatnya kambing.” Entah kenapa Zila jadi pandai menjawab pertanyaan, padahal tinggal akui saja jika ia memang sengaja membeli susu kambing. “Kalau Akang engak suka ya sudah besok jangan beli lagi.” “Cie ngambek.” “Siapa juga yang ngambek.” “Enggak apa-apa ngaku aja! Sebenarnya Akang tuh lebih suka kamu kayak gini. Adem aja gitu lihatnya. Sini deketan!” Sembari menepuk-nepuk ranjang, Zila lantas perlahan mendekat dengan ekspresi malu-malunya yang menggemaskan. “Kamu tuh kalau kangen bilang. Akang lebih suka kamu jujur dari pada diem-diem.” “Iya.” “Beli susu di mana? Setahu Akang yang jual susu kambing ‘kan lumayan jauh. Harus naik motor, kamu per
“Ternyata gin iya rasanya punya istri,” ucapku. “Akang enggak usah ngomong aneh-aneh deh, kita teh nikah udah mau 20 tahun. Masih aja bilang gitu.” “Ih, kamu tuh enggak merasa apa bagaimana? kemarin-kemarin kamu dingin banget kayak batu es.” “Ya, maaf.” “Oh ya Zi, setelah nama kamu ganti, Akang merasa karakter kamu juga jadi berubah. Berasa diupgrade aja begitu.” “Memangnya teknologi pakai upgrade segala.” “Serius Sayang, Akang lebih senang aja kamu begini. Enggak malu-malu lagi.” “Proses aja Kang, aku pikir selama ini aku terlalu menutup diri.’ “Baguslah kalau memang perubahannya ke arah yang lebih baik. Oh iya sekalian saja Akang mau izin nanti 2 minggu lagi Akang mau dinas ke luar kota. Paling nanti 3 hari di sana. Kamu enggak apa-apa ‘kan ditinggal sendirian?” “Enggak apa-apa, ‘kan ada anak-anak. Rumah ini juga masih ramai walau Akang pergi.” Maaf ya Zila, aku terpaksa berbohong. Entah
Sebenarnya bukan masalah bagiku jika lawanku nanti memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar. Selagi jam terbangnya masih di bawahku, setidaknya itu tidak akan terlalu berat. Terkadang meski postur tubuh kecil jika pengalaman bertandingnya sudah banyak, malah lebih mengerikan. Di arena banyak sekali penonton yang datang. Aku pikir tidak akan seramai ini. Sejujurnya aku belum terbiasanya bertanding dilihat banyak orang.“Gugup ya, Jim?”“Enggak sih, kaget aja kenapa jadi banyak banget yang nonton. Anak muda lagi kebanyakan.”“Ini baru permulaan nanti kalau mendekati final akan lebih padat lagi.”“Serius? Ini aja udah sesak.”“Ini malah belum ada apa-apanya.”“Kamu sering ya nonton ke sini?”“Lumayan, makanya agak kaget aja sih kamu mau ikutan.”“Kamu itu jangan sering-sering ninggalin istri.”“Alah, mau ngapain juga baw
“Zila.”Begitu melihatku berdiri di depannya Zila langsung memelukku dengan begitu erat. Padahal, saat itu aku tengah menggunakan masker, tetapi wanita itu mampu mengenalinya dengna mudah.“Maafin Akang ya, bikin kamu sedih.”“Jangan ngomong apa-apa!”“Akang enggak maksud bikin kamu khawatir.”“Jahat banget sih, ikut pertandingan kayak gini enggak bilang-bilang.”“Akang cuma pengen belikan kamu rumah.”“Aku enggak butuh rumah di Garut.”“Kok kamu tahu.”“Teman-teman kamu yang cerita semuanya.”“Mereka memang ember.”“Sudahlah bukankah Akang menang.”“Kenapa sih harus berkorban sebesar ini, emang Akang enggak takut mati?”“Akang enggak akan mati sebelum kamu.”“Jangan bilang gitu, Akang ‘kan bukan Tuhan yang bisa nentuin h
“Ya aku mana tahu Ayah, enggak pernah megang begituan.”“Makanya mulai sekarang melek sama teknologi atuh kamu mah.”“Kan CCTV kita juga enggak ada suaranya. Aku mana tahu.”“Iya itu emang perlu diupgrade ke yang baru.”“Nah ‘kan hayu atuh diganti!”Saat itu aku dan Musa mulai merencanakan sesuatu. Setelah diskusi singkat dengan Teh Safira aku mereka pun setuju untuk memasang CCTV di bagian depan rumah. Mengingat akses keluar masuk hanya dari depan.Saat itu aku sengaja tidak memberi tahu tentang apa yang terjadi pada Zila. Aku hanya takut dia akan khawatir berlebihan. Aku juga sudah membicarakan hal ini pada ibu dan yang lainnya untuk tutup mulut. Untungnya mereka juga mau mengerti.“Akang abis dari mana?” tanya Zila saat aku kembali pada pukul 7 malam.“Biasalah tadi ada urusan sebentar.”“Baik-baik aja &lsquo
Sialan memang saat itu sebenarnya aku paling tidak suka menggunakan kekerasan, tetapi emosiku sudah berada di puncak begitu aku menemukan Gedung kosong yang sama dengan di foto yang dikirimkan Abah aku langsung mendobrak pintu itu dengan kasar. Ternyata memang benar ada Yana dan 3 orang lainnya di sana.“Cuih! Datang juga kamu, Jimy. Sayang sekali kamu telat, istrimu ini sudah kulecehkan!”Mendengar hal itu entah kenapa rasanya darahku mendidih bukan main apa lagi melihat ibuku yang tergeletak di depan tubuh Zila dengan posisi memeluk istriku dari depan. Keduanya sudah tidak sadar. Namun, syukurlah dari kejauhan aku masih bisa melihat jika Lara masih bernafas. Namun, entah kenapa dengan ibu yang memeluknya, kenapa ia terlihat begitu kaku.Sayangnya Yana malah memanfaatkan hal itu untuk menyerangku.Buk!Sialnya mereka terus saja mendaratkan pukulan di wajah. Sialnya dia tahu kalau kelamahanku emang di mata.“Matamu pasti be