Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy.
Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan."
"Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran.
"Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang.
"Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas.
Ros mengangguk. "Iya, Tuan."
"Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi.
***
"Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan.
Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera.
"Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras.
"Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hampir tidak bisa didengar orang lain.
Gera mendengus kesal membelakangi Roy. "Untuk apa kau kesini? Bukankah kau sudah memutuskan untuk tidak bertanggung jawab?" Jutek. Dan sangat sensitif.
"Astaga. Nona, sudah kubilang, bukan? Kau tidak akan hamil karena baru melakukannya sekali. Dasar bodoh!" ujar Roy berusaha menjelaskan.
"Kau selalu saja menghinaku. Tidak bisakah sekali saja jangan menyebutku bodoh?" Gera rupanya tak terima akan hal itu.
"Kau memang bodoh!" ujar Roy memaki Gera lagi.
"Tadi aku muntah-muntah, makanya aku mengira kalau aku hamil. Memangnya salah besar kalau aku sendiri takut? Dasar Tuan pemarah," balas Gera tak mau kalah.
"Aw!" Ringisan Gera begitu nyaring saat Roy menjitak kepalanya.
"Apa kau lupa tadi malam kau sangat mabuk, Nona. Tidak aneh jika sekarang kau muntah dan pusing juga," Roy akhirnya memberitahu Gera sebab mengapa dia muntah tadi.
"Begitu, ya? Aku kan tidak tahu karena itu kali pertama aku meneguk minuman keras," jawab Gera sembari berpikir.
Entah kenapa Roy merasa sangat terhibur dengan kehadiran wanita ini. Senyum tipisnya merekah namun tersembunyi.
Roy melangkahkan kakinya pelan menuju Gera. Membuat Gera menjaga jarak. "Mau a-apa kau, Tuan pintar?"
"Aku ingin bermain denganmu lagi, Nona," Roy tak bisa menyembunyikan keinginannya yang sudah memuncak.
"Kau selalu saja membuatku menginginkanmu setiap kali aku melihatmu," tambah Roy.
Gera semakin menjaga jarak. "Ti-tidak, Tuan. Kau tak bisa melakukan ini padaku," timpal Gera takut.
"Aku yang mengambil kesucianmu, secara otomatis, kau adalah milikku," ujar Roy tegas.
Roy sudah sangat tidak tahan. Bahkan jika Gera menolakpun ia tidak akan mengindahkannya. Ia harus bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sigap. Roy langsung melakukan aksinya tanpa memberi celah....
Roy sedikit kesulitan karena Gera masih saja melawan. Namun bukan Roy namanya jika tidak bisa mendapatkan apa yang ia ingin.
Gera memukul dada bidang Roy. Memberi kode kalau ia sudah kehabisan napas. "Ka-kau membuatku tak bisa bernapas," Gera terengah-engah.
Baik Roy maupun Gera terengah-engah. Namun Roy enggan mengakhiri apa yang sudah terlanjur ia mulai.
"Istirahat?" tanya Roy. Gera mengangguk lemah.
"Maaf, sayang. Tapi tidak bisa semudah itu!" geram Roy.
Selesai bermain, Roy meneguk habis air yang ada di atas nakas. Ia tersenyum melihat Gera yang terkulai lemas hingga tertidur.
***
Roy meninggalkan Gera yang tertidur di kamarnya. Sementara itu ia berjalan menuju ruangan dimana Adit dikurung.
"Bagaimana, Luis?" tanya Roy tanpa menatap Luis. Matanya fokus menatap Adit yang lemas karena tak bisa mengendalikan diri. Roy memerintahkan Luis untuk memberi suntikan obat pada Adit.
"Sesuai perintah, Boss!" Luis tersenyum mengingat Adit yang menggelepar tak terkendali setelah ia menyuntikannya obat itu. Obat yang membuat tubuh terasa tersengat listrik di dalamnya.
Masih dengan keadaan tanpa secarik kain, Adit terbujur di atas ranjang mewah itu. Sudah lelah karena permainannya.
Setelah lelah bermain dengan tiga wanita itu, Adit kembali diberi pelajaran oleh Luis. Kejam? Sangat. Ini perintah dan ia harus profesional.
"Benar yang dikatakan wanita-wanita itu. Orang sepertimu mau mencoba meninggi? Tidak tahu malu!" Roy tertawa sinis sambil melihat jijik pada Adit. Sementara Luis menahan tawa di belakang Roy.
"Luis! Jika nanti dia sadar, sebelum kamu melepas dia, ingat beri peringatan keras. Agar dia tidak mengganggu wanita itu lagi," Roy berlalu setelah memberi perintah pada Luis. Luis mengangguk paham.
Tidak sebentar Luis menunggu kesadaran Adit. Namun karena Luis manusia dingin dan tak berperasaan, dia selalu menikmati tugasnya.
"Aduh! Apa orang ini sudah tak bernapas?" gerutu Luis kesal.
Hingga pada akhirnya Adit menggeliat berusaha menyadarkan diri sendiri.
"Bangunlah! Kau membuatku lelah menunggu!" Luis menggerutu sambil menatap Adit nyalang.
"Pakailah baju Anda, Tuan! Sebentar lagi saya antar pulang. Cepatlah jika tidak ingin kuseret dengan kondisi tanpa kain."
"Hentikan! Aku sangat lelah!" pinta Adit. Luis yang tidak sabar menunggu Adit mengganti pakaian hingga ia mengoceh terus menerus.
***
"Ros! Kau sudah memberi Gera makan?"
Ros menggeleng takut. Wajahnya ia sembunyikan sedemikian rupa.
"Kenapa? Cepat antarkan dan bujuk dia untuk makan!" Perintah Roy mau tidak mau harus dituruti.
"Bilang padanya satu jam lagi aku akan menemuinya," Roy berlalu meninggalkan Ros yang masih terpaku di tempat.
Membayangkan Gera membuat Roy tersenyum. Apa iya seorang Roy yang terkenal misterius itu sudah jatuh hati pada Gera? Atau ia menganggap Gera hanya sebagai Friends With Benefit?
***
"Bibi Ros, boleh kuminta kau untuk menyuapiku makan? Aku rindu mendiang mamaku," Air mata Gera menggenang hingga ingin menyeruak tumpah dari hulu danau indah itu.
Mendengar ucapan Gera, Ros tersenyum. Tak akan pernah menyangka bahwa Nona ini akan membuatnya terharu. Ia juga sedih. Karena perangai manja Gera membuatnya ingat dengan buah hatinya yang ada di kampung. Ia tak pernah bisa pulang. Dan hanya bisa berinteraksi via telepon saja.
"Tentu, Nona," Ditengah kesedihannya, Gera merekahkan senyumnya. Ia sangat bahagia bisa seperti ini.
"Terima kasih Bibi," Gera girang, sangat girang.
"Wow! Kau sangat manja!" Roy berjalan menuju ranjang tempat Gera. Namun wanita yang disapa mendelik dan memalingkan wajahnya.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya sudah lancang!" Ros memohon dengan terbata-bata.
"Ingat posisimu, Ros!" Dingin. Roy sangat tak berperasaan berbicara dengan orang tua seperti Ros.
Gera melotot nyalang pada Roy. "Hey! Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu pada Bibi Ros? Aku yang memintanya, jadi bukan salah dia. Kau benar-benar sombong!"
"Jaga bicaramu, Nona! Aku yang mempekerjakan dia disini. Bukan kau!" Gera terdiam, seolah tertampar dengan kata-kata Roy yang memang ada benarnya.
"Ba-baiklah! Lagipula aku disini hanya sebentar. Tak ada salahnya ingin bercengkrama dengan Bibi Ros. Kenapa kau yang keberatan?" Gera benar-benar tak ada takutnya. Semua pelayan di ruangan itu hanya tertunduk takut.
Helaan napas Roy terdengar kasar. "Oke. Dan sekarang, aku yang akan menyuapimu makan." Ujar Roy. Namun tangan dan niat baiknya ditampik oleh Gera.
"Aku sudah kenyang. Dan kau sudah merusak moodku! Pergilah!" bentak Gera kejam. Ia lupa siapa dia di sini.
"Siapa kau? Kenapa jadi kau yang mengusirku? Aku yang menjadi Tuan rumah disini!"
Gera terpaku memegang pipi kanannya yang terasa amat kebas karena Roy. Air mata yang bergelinang, kini sudah mengalir sepenuhnya. Ros yang melihat hanya tertunduk dan sangat sedih melihat Gera menangis seperti itu.
"Baiklah! Aku akan pergi saat ini juga. Kau akan menyesal! Itu sumpahku!" Dengan keadaan kacau Gera berlalu meninggalkan Roy. Bukannya senang akan kepergian Gera, Roy malah merasa ada sesuatu yang salah yang ia lakukan. Namun masih bisa ia tutupi didepan semua orang.
***
"Dasar sombong!" Gera menghapus airmatanya kasar. Ia sangat kesal pada lelaki kasar dan dingin seperti Roy. Dengan langkah cepat Gera kembali menuju rumah yang sudah ia rindukan itu. Rumah kecil tempatnya mengadukan semua masalah.
"Cukup! Besok aku harus mencari kerja dan mengubah semua yang ada dalam diriku. Akan kubuat lelaki sok berkuasa itu menyesal seumur hidup!" Kekesalan Gera memancing tatapan aneh dari orang disekitar.
Langkah Gera terhenti ketika melihat sebuah selebaran yang menempel di tembok rumahnya.
"Sangat pas!" Gera sangat girang melihat isi dari selebaran itu. Lowongan pekerjaan!
"Tapi... ini jauh dari kemampuanku. Dan ini bukan bidang yang kukuasai. Tapi, tidak apa-apa. Asal sudah dicoba. Siapa tahu memang rezekiku." Senyumnya mengembang.
"Aku harus menyiapkan semuanya sekarang juga agar besok pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor ini." Erat sekali ia memegang selebaran itu.
Ternyata di kantor itu menggunakan sistem walk in interview. Jadi mereka yang melamar, akan langsung mengikuti wawancara. Gera sangat deg-degan. Ia gugup ketika melihat wajah kecewa dari para pelamar-pelamar itu.
"Aduh! Kok aku jadi takut sendiri, ya?" gumam Gera ragu.
Satu persatu pelamar keluar dari ruangan interview. Entah apa yang terjadi didalam sana. "Tinggal dua lagi dan giliranku!" Gera berusaha menyemangati diri sendiri.
"Gera Sweeta R." Gera beranjak dari tempat tunggu menuju ruang interview. Pastinya dengan perasaan campur aduk. Jemarinya bertaut dingin.
Ia berusaha menampilkan senyum terbaik dan termanis yang dimiliki. Setelah duduk, ia berdeham dan memancing tatapan Bapak penyeleksi.
"Ada sesuatu, Nona?" tanya Bapak itu.
Gera menggeleng. " Tidak, Tuan. Silahkan dilihat dulu CV saya."
"Tunggu, bagaimana bisa Anda melamar disini sedang jurusan Anda sangat jauh dari yang kami butuhkan? Apa Anda sudah kehilangan akal?" Apa yang harus Gera katakan sekarang? Astaga!
"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa. Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan! *** Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas. "Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main. Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy. "Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya. "Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya. "Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus. Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar. "Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera. "Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan. &
Menunggu Luis membuat Gera mengingat kembali Roy. Ia menghela lelah jika mengingat tugas membosankan itu. Ingin sekali berhenti tapi Roy sudah memikirkan semuanya selangkah lebih maju. "Dasar laki-laki labil!" Gera terus saja merutuki Roy. Kesal dengan sikap Roy yang membuatnya terus saja jengkel. Gera ingin sekali menangis. Tapi tak bisa karena masih ada Luis. Dia terlihat sudah kembali. "Ini untukmu, Ge!" "Ini untukmu!" Luis menyadarkan lamunan Gera. "Makanlah. Aku yakin kamu lapar sekarang," ujar Luis. Namun Gera menatap aneh cup makanan siap saji itu. "Apa kau yakin makanan ini tidak ada apa-apanya?" Luis dibuat bingung dengan pertanyaan Gera. "Maksudnya?" "Apa Roy tak menyuruhmu membubuhi makananku dengan obat lagi?" Luis terkekeh. "Tidak, Gera. Percayalah! Roy sedang di kantor. Mana mungkin menyuruhku membubuhi makananmu," ujar Luis. "Baiklah. Akan kumakan.
"Aku tanya apa kau siap?" Roy menegaskan pada Gera karena ia hanya memutar bola matanya lemas.Tapi bukannya membuat Roy marah atau sedikit malas dengannya, Roy malah tak peduli dan ia menjadi semakin gemas dengan tingkah Gera."Lets go to the hot game!" Terlihat sangat enteng saat Roy membopong tubuh Gera."Roy! Ini sangat geli." Rambut Roy yang sebelumnya rapi sekarang berantakan karena dijambak oleh Gera.Bukannya menuruti keinginan Gera, Roy malah mengangkat kaki Gera setinggi yang ia bisa. "Masih ingat? Kau tak boleh menolak, Nona.""Apa yang akan kau lakukan, Roy?""Cerewet! Aku jadi tidak fokus karena dirimu!" Gera terkesiap mendengarnya. Ia sangat malu, berusaha ia tutupi namun nihil, Roy tak akan memberi celah.Ternyata stamina Roy tak bisa diremehkan. Gera kewalahan me
Sampai kantor, Roy langsung berlari menuju sofa tempat Gera biasa duduk menantinya dengan bosan. Roy terkekeh pilu mengingat bagaimana Gera yang kesal menemaninya."Ge... ." Suara Roy tercekat saat melihat kotak makan yang berisi brownise coklat yang Gera bawa tadi.Roy langsung memakannya. "Ini enak sekali, Ge. Seharusnya kau menyuapiku sekarang." Seorang Boss yang dingin dan kejam ini sekarang berubah sendu hanya karena satu wanita. Ia ingin sekali mencari Gera, namun takut kalau ini bukan waktu yang tepat."Lebih baik aku tidur di sini saja dan menunggu kehadiran Gera besok pagi." Dengan keyakinan yang sebenarnya tidak ada, Roy meyakinkan dirinya bahwa Gera akan tetap bekerja untuknya esok pagi."Ge... ." Roy terus saja meracau menyebut nama Gera dan Gera. Ia lebih terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya
Dinda terkejut melihat kedatangan Luis yang tiba-tiba. "Dasar wanita gila!" "Keluar kau!" teriak Dinda pada Luis. Ia kesal diganggu. Kesempatannya untuk merasakan privasi bersama Roy jadi hangus begitu saja. "Kubilang keluar!" Dinda menjerit. Bukannya malu, ia bahkan tak berniat menutupi tubuhnya bahkan hanya dengan seutas benang pun itu. "Boss! Bangunlah! Apa Anda sudah gila? Sadar Boss... sadar!" Luis terus saja berusaha menyadarkan Roy. Biarlah Tuannya akan memarahi dirinya sebab dengan sangat lancang berani berbuat kasar pada Roy. Luis benar-benar tak akan diam melihat Bossnya yang hampir saja dinodai wanita gila seperti Dinda. Melihat Roy masih terdiam saja, Luis memutuskan untuk menyiram wajah Roy dengan segelas air yang tersedia di atas nakas. "Sadarlah Boss!" teriak Luis. Roy tersentak, seolah kesadarannya datang kembali dan membuat dia bertanya-