"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa.
Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan!
***
Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas.
"Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main.
Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy.
"Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya. "Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya. "Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus. Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar. "Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera. "Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan. &
Menunggu Luis membuat Gera mengingat kembali Roy. Ia menghela lelah jika mengingat tugas membosankan itu. Ingin sekali berhenti tapi Roy sudah memikirkan semuanya selangkah lebih maju. "Dasar laki-laki labil!" Gera terus saja merutuki Roy. Kesal dengan sikap Roy yang membuatnya terus saja jengkel. Gera ingin sekali menangis. Tapi tak bisa karena masih ada Luis. Dia terlihat sudah kembali. "Ini untukmu, Ge!" "Ini untukmu!" Luis menyadarkan lamunan Gera. "Makanlah. Aku yakin kamu lapar sekarang," ujar Luis. Namun Gera menatap aneh cup makanan siap saji itu. "Apa kau yakin makanan ini tidak ada apa-apanya?" Luis dibuat bingung dengan pertanyaan Gera. "Maksudnya?" "Apa Roy tak menyuruhmu membubuhi makananku dengan obat lagi?" Luis terkekeh. "Tidak, Gera. Percayalah! Roy sedang di kantor. Mana mungkin menyuruhku membubuhi makananmu," ujar Luis. "Baiklah. Akan kumakan.
"Aku tanya apa kau siap?" Roy menegaskan pada Gera karena ia hanya memutar bola matanya lemas.Tapi bukannya membuat Roy marah atau sedikit malas dengannya, Roy malah tak peduli dan ia menjadi semakin gemas dengan tingkah Gera."Lets go to the hot game!" Terlihat sangat enteng saat Roy membopong tubuh Gera."Roy! Ini sangat geli." Rambut Roy yang sebelumnya rapi sekarang berantakan karena dijambak oleh Gera.Bukannya menuruti keinginan Gera, Roy malah mengangkat kaki Gera setinggi yang ia bisa. "Masih ingat? Kau tak boleh menolak, Nona.""Apa yang akan kau lakukan, Roy?""Cerewet! Aku jadi tidak fokus karena dirimu!" Gera terkesiap mendengarnya. Ia sangat malu, berusaha ia tutupi namun nihil, Roy tak akan memberi celah.Ternyata stamina Roy tak bisa diremehkan. Gera kewalahan me
Sampai kantor, Roy langsung berlari menuju sofa tempat Gera biasa duduk menantinya dengan bosan. Roy terkekeh pilu mengingat bagaimana Gera yang kesal menemaninya."Ge... ." Suara Roy tercekat saat melihat kotak makan yang berisi brownise coklat yang Gera bawa tadi.Roy langsung memakannya. "Ini enak sekali, Ge. Seharusnya kau menyuapiku sekarang." Seorang Boss yang dingin dan kejam ini sekarang berubah sendu hanya karena satu wanita. Ia ingin sekali mencari Gera, namun takut kalau ini bukan waktu yang tepat."Lebih baik aku tidur di sini saja dan menunggu kehadiran Gera besok pagi." Dengan keyakinan yang sebenarnya tidak ada, Roy meyakinkan dirinya bahwa Gera akan tetap bekerja untuknya esok pagi."Ge... ." Roy terus saja meracau menyebut nama Gera dan Gera. Ia lebih terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya
Dinda terkejut melihat kedatangan Luis yang tiba-tiba. "Dasar wanita gila!" "Keluar kau!" teriak Dinda pada Luis. Ia kesal diganggu. Kesempatannya untuk merasakan privasi bersama Roy jadi hangus begitu saja. "Kubilang keluar!" Dinda menjerit. Bukannya malu, ia bahkan tak berniat menutupi tubuhnya bahkan hanya dengan seutas benang pun itu. "Boss! Bangunlah! Apa Anda sudah gila? Sadar Boss... sadar!" Luis terus saja berusaha menyadarkan Roy. Biarlah Tuannya akan memarahi dirinya sebab dengan sangat lancang berani berbuat kasar pada Roy. Luis benar-benar tak akan diam melihat Bossnya yang hampir saja dinodai wanita gila seperti Dinda. Melihat Roy masih terdiam saja, Luis memutuskan untuk menyiram wajah Roy dengan segelas air yang tersedia di atas nakas. "Sadarlah Boss!" teriak Luis. Roy tersentak, seolah kesadarannya datang kembali dan membuat dia bertanya-
"Cepat katakan! Apa kau yang menyembunyikan Geraku?" Roy menggoyang-goyang tubuh Dewi, melupakan rasa jijiknya akan menyentuh wanita itu. Dewi menggeleng santai. "Sama sekali tidak, Roy. Lagian siapa wanita itu hingga membuatmu sampai sekacau ini? Pasti hanya seorang wanita biasa, bukan?" "Kenapa kau berbuat kasar padaku, Roy?" Dewi menatap Roy nyalang sembari memegang pipi kirinya. "Kau pantas mendapatkan itu!" "Ya, karena apa? Kau main kasar saja. Orang tuaku saja tidak pernah seperti itu," Dewi meringis sambil mengelus lembut pipinya yang memerah. "Karena kau sudah dengan sangat berani mengatai Geraku! Sekali lagi kau katakan, aku tak akan segan-segan menyiksamu tanpa ampun," Roy benar-benar geram karena Dewi. Di tengah kondisinya yang sedang mabuk, emosinya menjadi sulit terkendali. Dewi tertawa sinis melihat Roy. "Hm, lalu Geramu suci. Begitu? Tahu darimana kau anak orang suci? Tak masuk akal!"