Laila meringkuk di pojokan mushola rumah sakit. Tempat shalat khusus untuk wanita, ditandai dengan sebuah sekat dari kain berwarna hijau.
Tak ada siapa pun, hanya ia seorang diri, mungkin banyak yang enggan shalat atau hanya tidur di mushola yang letaknya tak jauh dari ruang penyimpanan jenazah itu, apalagi malam-malam seperti sekarang ini, pukul dua dini hari.
Bayangan kejadian tadi siang, seolah menari di dalam benak Laila, mengejeknya dan mengatainya sebagai pecundang.
Bagaimana mungkin ia harus menikah dengan lelaki yang seharusnya pantas menjadi kakeknya itu! Hanya demi mendapat biaya untuk operasi Nisa.
"Dasar, tak tahu diri! Miskin aja belagu banget ... mau dapat dari mana coba, uang sebanyak itu? Adik kamu akan mati, jika kamu menolak menikah dengan juragan Sudibyo!" Dirman bertolak pinggang di hadapan Laila yang terduduk di sebuah kursi plastik di dalam ruangan dapur rumah mewah milik Dirman
Laila meringkuk di pojokan mushola rumah sakit. Tempat shalat khusus untuk wanita, ditandai dengan sebuah sekat dari kain berwarna hijau.Tak ada siapa pun, hanya ia seorang diri, mungkin banyak yang enggan shalat atau hanya tidur di mushola yang letaknya tak jauh dari ruang penyimpanan jenazah itu, apalagi malam-malam seperti sekarang ini, pukul dua dini hari.Bayangan kejadian tadi siang, seolah menari di dalam benak Laila, mengejeknya dan mengatainya sebagai pecundang.Bagaimana mungkin ia harus menikah dengan lelaki yang seharusnya pantas menjadi kakeknya itu! Hanya demi mendapat biaya untuk operasi Nisa."Dasar, tak tahu diri! Miskin aja belagu banget ... mau dapat dari mana coba, uang sebanyak itu? Adik kamu akan mati, jika kamu menolak menikah dengan juragan Sudibyo!" Dirman bertolak pinggang di hadapan Laila yang terduduk di sebuah kursi plastik di dalam ruangan dapur rumah mewah milik Dirman
"Bos, orangnya gak ada di kosan, ini nasinya kemanain?" Seorang driver ojek online tampak sedang berbicara dengan seseorang di telepon."Ok, baik Bos! Terimakasih." Dengan senyum lebar, pria tersebut segera mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Ia baru saja dapat rezeki nomplok dua bungkus nasi, dengan lauk ayam goring dan rendang. Satu bungkusnya, akan ia bawa pulang untuk istrinya.Setiap hari ia bertugas membeli nasi beserta lauknya dan memberikannya pada seorang gadis di sebuah kosan, ia mengerjakan pekerjaan ini sudah hampir setahun lebih.Tapi hari ini, gadis yang biasanya selalu ada di kosannya tidak ada. Pintu dan jendelanya semua tertutup, ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Nasi yang sudah ia beli, diberikan begitu saja oleh yang menyuruhnya. Dia sangat bersyukur untuk rezeki yang Allah berikan hari ini.Gaji yang ia dapatkan pun sangat lumayan, cukup untuk membeli kebutuhan anaknya, sep
Operasi pertama Nisa berjalan dengan lancar, walau keadaannya masih koma. Laila masih terus berharap dan berdo'a untuk keselamatan adiknya itu, karena masih banyak rangkaian operasi yang harus dijalani. Laila bersyukur, Nisa masih bertahan hingga saat ini. Setelah kemarin kondisinya menurun dan kritis, hampir tidak dapat diselamatkan.Rosma telah menyelesaikan ujian akhirnya. Dalam kondisi berduka dan cobaan yang terus mendera silih berganti. Rosma bertahan,melanjutkan pendidikannya, karena dorongan Laila, yang terus meneyemangati dan berjuang untuk biayanya. Sekarang tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja.Suasana rumah sakit sedikit lenggang, karena jam besuk sudah berlalu. Laila duduk di bawah ranjang Nisa, ia bersandar pada dinding seraya menahan kantuk. Rosma berbaring di atas tikar yan warnanya sudah memudar, sedangkan Narti duduk di hadapan Laila yang kondisinya tampak kelelahan."Bu, kenapa wajah Ibu pucat ba
Laila mencari ponsel yang sudah seminggu lebih tak ia hidupkan. Ia harus segera menghubungi Narti dan mengabari keadaan Nisa yang sebenarnya. Walau terasa berat, ia terpaksa harus memberitahu ibunya agar menyiapkan pemakaman Nisa, dan mengabari warga kampung Cibodas.Baterai sudah kosong, ponselnya dalam keadaan mati. Tubuh Laila masih terasa lemas, dengan sisa tenaganya ia segera mencari charger untuk mengisi daya benda elektronik berbentuk persegi panjang itu.Setelah batrainya lumayan terisi, Laila menghidupkan ponselnya dan mendapati puluhan pesan masuk dan panggilan telepon memenuhi layar berukuran kurang lebih 5x2 inchi itu. Namun, Laila tak membukanya. Fokusnya tertuju pada nomor ponsel Rosma.Laila berkali-kali menghubungi Rosma, namun yang menjawabnya hanya layanan operator saja.Ia mencoba lagi dan lagi, masih tetap sama. Hingga putus asa, Laila memutuskan akan pulang sebentar untuk mengaba
Arsen memukul stir mobilnya murka. Gadis yang ia cintai kini telah menjadi milik orang lain. Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil, menarik-narik rambutnya dengan frustasi.Sebentar saja, hatinya merasa senang, karena lima menit yang lalu dirinya berhasil menelpon Laila, setelah seminggu lamanya pesan dan panggilannya tak jua mendapat balasan.‘Tapi, mengapa Laila membohonginya dengan mengatakan sedang berduka? Apakah pernikahannya dijodohkan? Hingga Laila merasakan sedang berduka?' batin Arsen bertanya-tanya. Tapi, sudahlah! Itu bukan urusannya lagi.Rasa kecewa memenuhi rongga hatinya. Ia menarik napas sedalam mungkin, untuk melonggarkan saluran nafasnya yang terasa sesak.Harapan akan hari esok, merajut ikatan cinta yang indah dengan seseorang yang istimewa, tiba-tiba mati begitu saja, seperti bara api yang sedang menyala, lalu disiram air, membuat nyala apinya benar-benar mati s
Laila dengan tergesa keluar dari rumah sakit. Setelah berpamitan pada suster Rahma. Tapi sekian lama menunggu, angkot yang biasa melewati kampungnya, tak kunjung lewat juga. Tak jauh dari tempat Laila berdiri, di pangkalan ojek online terlihat seorang perempuan sedang memperhatikannya, lalu mendekati Laila."Mbak, lagi nunggu angkot?" tanyanya dan dibalas anggukan Laila."Gak bakalan ada, Mbak. Lagi demo menuntut kebijakan pemerintah, yang membatasi rute angkot. Kalau mbak buru-buru saya bisa antar." Perempuan yang ternyata driver ojek ini menawarkan diri dengan ramah.“Saya gak punya kuota untuk membuka aplikasi, Mbak.”“Santai, Mbak. Saya antar langsung. Yuk!” Perempuan itu menyodorkan helm. Ia sepertinya tahu, Laila sedang kebingungan, sudah sejak tadi ia memperhatikannya. Ia berniat menolongnya, dengan menawarkan diri mengantar Laila.Laila mengangguk,
Bandara Internasional Cairo, Abizar tengah menunggu rombongan jama’ah umroh yang dipimpin abinya, ustadz Amir. Ia dan dua orang temannya juga sopir bus sudah cukup lama menunggu pesawat milik maskapai Mesir yaitu Egypt Air.“Pesawatnya kok belum mendarat, Mas Abi? Udah telat lima belas menit.” Rasyid yang merupakan rekan Abizar, nampak tak sabar.“Sepertinya pesawatnya mengalami delay,” jawab Abizar, ia juga tak sabar dan sedikit cemas. Namun, kecemasan itu segera berlalu, setelah ia mendengar sebuah pengumuman yang menyatakan pesawat abinya sudah mendarat.“Alhamdulillah … pesawatnya sudah landing,” lanjut Abizar, ia segera bersiap menyambut abi dan uminya yang sangat ia nantikan.Jama’ah umroh yang dibawa abinya lumayan banyak, kurang lebih lima puluh orang, Abizar harus sabar menunggu mereka keluar dari ruang imigrasi.&ld
"Ibu! Ibu kenapa?" Laila mengguncang tubuh Narti, kenapa ibunya tiba-tiba napasnya tersengal, lalu tak sadarkan diri."Ros, gimana ini, kenapa ibu pingsan?" Laila tak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya.Soraya yang hendak makan menuju meja prasmanan, melihat Narti pingsan, dirinya tergerak untuk memeriksa, ia ingin menunjukan dirinya kalau ia calon dokter."Awas minggir! Biar aku periksa," katanya dengan mendorong tubuh Laila dan hampir terjengkang."Kamu kenapa, sih?" Laila tak terima. Kesal sekali mendapat perlakuan Soraya yang kasar, hatinya lagi tersayat ditambah lagi dengan sikap Soraya yang menyakitkan."Aku ini calon dokter, jadi tahu apa yang terjadi pada ibu kamu.” Soraya mengambil stetoskop dan memeriksa nadi Narti.“Ini sih udah mati, palingan terkena serangan jantung," kata Soraya dengan santainya.“Yang b