"Tak salah aku mengincarmu, Rani! Melihat begitu mesranya perlakuanmu kepada suamimu, membuatku menjadi semakin berhasrat untuk memilikimu," gumamnya. Ternyata seseorang yang mengintai Rani dari balik pohon itu adalah seorang lelaki. Ia keluar dari tempat persembunyiannya tapi masih terus memandang ke arah tempat tinggal Rani. Setelah cukup puas memandang, ia kemudian memasang kacamata hitamnya dan pergi meninggalkan tempat itu. ****Rani bergegas berkemas. Ia menyelesaikan pekerjaan rumahnya begitu cepat supaya sebelum pergi mengantarkan pesanan ia sempat menulis kelanjutan novelnya. Tiga puluh menit kemudian.... "Alhamdulillah, selesai juga." Rani melihat jam di dinding. "Oh, masih ada waktu sebelum pengantaran. Mau nulis kelanjutan novel dulu, deh! Soalnya kalau ada Mas Irwan nggak bisa nulis. Mumpung juga sekarang ada ide, otak lagi lancar." Rani pun mengambil ponselnya dan mulai menulis.Saat lagi asyik-asyiknya menulis tiba-tiba sebuah pesan masuk. Tingg... [ Mbak, jam b
"Hape... Terooosss....! Baguuss, ya! Jadi istri, di rumah bukannya kerjain kerjaan rumah, malah main hape. Enak banget, ya, jadi kamu?Kerjaannya di rumah main hape aja!""Assalamu'alaikum," Rani seolah sengaja menyindir mertuanya itu. Tatapannya seperti ingin mengatakan 'Kalau masuk itu, ucapkan salam dulu!'"Wa'alaikumussalam." Bu Husna sedikit merasa malu. Tapi malunya itu tak lama. "Kamu itu, suami lagi kerja. Kamu malah enak-enakan main hape di rumah. Ngabisin uang aja!"Rani yang sudah jengkel dengan ucapan Bu Husna, saat terakhir kali mertuanya itu berkunjung langsung membalas perkataannya. Beruntung anaknya Naufal sedang tidur jadi tak mendengar tentang perdebatan nenek dan ibunya. "Oh..! Iya, Bu! Rani memang kerjaannya santai saja di rumah," sarkasnya. "Ayo! Coba sini dulu, Ibu ikut Rani!" Rani menggandeng tangan mertuanya. Pertama, Rani membawa mertuanya menuju dapur. Bu Husna bingung dengan tujuan Rani. "Kenapa, kamu membawa saya kemari?" tanya Bu Husna heran. "Ibu liat
Bu Husna berpikir untuk menyuruh Irwan dan Rani tinggal di rumahnya saja, daripada mereka mengontrak, pikirnya. "Baiklah! Nanti aku bujuk saja Irwan untuk tinggal di rumah," batinnya. "Irwan 'kan tak bisa menolak permintaanku." Rani membereskan meja makan, kemudian dia ingin mencuci piring bekas mereka makan tadi. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Rani yang baru saja menggapai cucian dan belum memakai jilbab menjadi kerepotan. "Biar Mas saja yang ambil jemuran di depan!" Irwan menawarkan dirinya untuk membantu Rani. "Makasih ya, Sayang!" ucap Rani. Entah kenapa Irwan merasa sangat senang ketika istrinya mengatakan sayang. Dia merasa seperti remaja yang baru puber. "Sama-sama, Istriku yang cantik," balasnya. Saat Irwan ke depan dan ingin mengambil jemuran di tali. Tiba-tiba Bu Husna berteriak sementara hujan di luar masih deras, " Eh, mau ngapain kamu, Irwan?"Irwan bingung. "Mau ambilin jemuran 'lah, Bu! Emang mau ngapain lagi!""Pamali, Irwan! Rani mana? Ngapain Rani? Bukann
"Ya, adalah! Kamu 'kan tau, kamar kamu yang dulu masih kosong!"Irwan menggelengkan kepalanya. "Bukan itu maksud Irwan, Bu!"Bu Husna menyerngitkan keningnya. "Bukan tempat di rumah itu yang Irwan maksud," ucapnya. "Jadi, apa maksud kamu?""Apa ada tempat di rumah itu untuk kami? Tempat untuk kami diperlakukan sama seperti yang lain." Irwan tak tahan lagi sudah. Andai saja ibunya tak memaksa, mungkin kata-kata itu tak akan keluar dari bibirnya. Karena bagaimana pun Bu Husna memperlakukannya tak adil, ia tetap menghormati ibunya itu. Bu Husna terdiam mendengar ucapan Irwan. "Haaa...." Irwan menghela nafas. "Yang jelas Irwan nggak bisa ikut Ibu di rumah itu. Irwan sudah enak di sini bersama keluarga kecil Irwan. Irwan pengen hidup mandiri. Jangan paksa Irwan!""Dan satu lagi, Bu! Tolong! Ibu coba berdamailah dengan Rani. Dia sudah berusaha menjadi menantu yang baik untuk Ibu! Hargailah usahanya." Setelah mengatakan itu, Irwan pergi berlalu.Rani sempat syok saat mendengar suaminya
"Mau bicara apa, Mas?" Rani bertanya sekali lagi saat mereka berada di dalam kamar. "Kamu ingat kemarin, yang Mas mengatakan ada seorang pria yang terlihat tertarik sama kamu?""Yang kata Mas waktu di pasar itu?""Iya!""Ada apa memangnya, Mas?""Siang tadi, Mas ada lihat dia ada lagi, Yank!""Terus?""Dia melihat terus ke arah kios kita! Seperti lagi nyariin kamu!""Mungkin cuma kebetulan aja kali! Mas, aja yang terlalu parnoan!""Masa sih? Orang itu sampai celingak celinguk, loh!""Mungkin orang iseng aja, Mas, pengen lihat-lihat.""Sudah ah, Mas! Nggak usah dipikirin. Kalau pun orang itu beneran ngincar aku! Percayalah! Cintaku hanya untukmu!" Rani menggoda suaminya. "Jadi, Mas nggak perlu takut kalau aku tergoda. Mau setampan dan sekaya apapun dia, tetap suamiku ini yang paling tampan."Irwan sedikit tenang setelah mendengar gombalan istrinya. Entah kenapa akhir-akhir ini dia selalu terpikirkan hal yang tidak penting."Mas kelihatan banyak pikiran, makanya bawaannya negatif terus
[Mas yakin? Jangan bohong deh, Mas! ][Iya, yakin! Mas nggak bohong, kok! ][Kalau bukan, Mas, terus paket ini dari siapa, dong?][Nggak tau]Rani sempat berpikir positif, mungkin suaminya memang berniat mengerjainya saja. Tidak mungkin paket ini nyasar begitu saja, sudah dibayar pula. Apalagi, Rani tak memiliki teman dekat, baik pria maupun wanita. Jadi, sudah pasti ini dari suaminya. Habis, siapa lagi! [Oh, ya udah aku simpan aja dulu paketnya. Siapa tahu beneran punya orang! Kurirnya salah alamat][Iya, Yank! Ini, Mas ada pembeli, nanti kalau ada apa-apa hubungi, Mas,lagi. ][Iya, Mas! ]Sebenarnya Rani penasaran dengan isi paket itu. Tetapi, ia ingin membukanya saat suaminya sudah pulang nanti. ****Jantung Adi berdegup kencang. Ia sangat terpesona melihat wajah Rani dari dekat. Setelah masuk ke dalam mobil dia melepas kacamata, kumis palsu dan topi hitamnya. "Seperti bidadari surga. Cantik banget orangnya.""Sudah kupastikan, dia lah yang aku inginkan menjadi istriku," gumamn
"Naufal minta hadiah apa sama kamu?""Naufal minta...." Rani sedikit malu untuk mengatakannya, wajahnya merah. "Kamu kenapa? Wajah kamu, kok, tiba-tiba merah gitu?""Ih.., Mas! Aku lagi malu tau!""Loh, malu kenapa?""Malu bilang sama Mas tentang permintaan Naufal tadi.""Memangnya Naufal minta apa, sih?""Naufal minta adek, katanya!" lirih Rani. "Kamu atau Naufal, nih, yang minta?" ledek Irwan. "Mas, kok, malah ledekin aku sih?" Rani terlihat kesal. Ia memukul pelan lengan suaminya. "Hahaha... Nggak, Yank! Maaf.. Maaf..!""Tumben dia mintanya gitu?" tanya Irwan lagi. "Awalnya aku juga terkejut, Mas! Tapi, pas aku tanyain, katanya dia kesepian. Nggak ada yang nemenin kalau mau main. 'Seru kayaknya, Mah, kalau Naufal punya adek' gitu katanya.""Mas, sih! Oke, oke aja. Suka malahan, kamunya aja lagi yang gimana?""Aku terserah aja, Mas! Mau dikasih sama Allah, Alhamdulillah. Kalau nggak, ya juga nggak apa-apa! Cuma kasihan sih, ngelihat Naufal sering kesepian. Di kampung ini juga n
"Siapa ya, laki-laki itu?" bisik anak-anak gadis di situ, mereka sangat heboh ketika melihat kedatangan Andra. "Iya, ganteng banget, ya?" ucap salah satu gadis. "Aku pengen nyapa dia, ah! Eh, guys! Aku udah cantik belum?""Yee.. Centil banget sih, lo? Lu goda juga, gue jamin tu cowok nggak bakalan suka sama, loe!" sahut yang lain. "Loe iri 'kan sama gue? Karena gue, gadis paling cantik di sini?" Gadis itu mengangkat sudut bibir atasnya. "Ngapain iri? Di banding loe! Mbak Rani itu yang paling cantik di sini. Loe mah, nggak ada apa-apanya."Seakan ditampar oleh fakta. Gadis itu mencebikkan bibirnya. "Sebentar lagi selesai. Kamu duduk aja dulu!""Biar aku bantu, Kak, mengeluarkan barang-barangnya, biar cepat selesai dan cepat juga nanti pulangnya."Rani mengangguk. Andra masuk ke rumah Rani dan mulai mengangkat barang yang akan diantar. "Untung motor aku matic. Kalau nggak, sudah pasti bingung ini mau diletakkan di mana!""Ini mau diantar kemana aja, Kak?""Nih, kamu liat sendiri aj