Sekesal-kesalnya Fatih pada Zulfa, laki-laki itu tidak bisa berlama-lama marah kepadanya. Sejak perbincangan terakhir mereka yang membuat Fatih meninggalkan Zulfa sendiri di dalam kamar, Fatih terus menyibukkan diri dengan urusan pesantren. Ia tidak kembali ke ndalem sama sekali karena tidak ingin melihat Zulfa kemudian meluapkan kemarahannya di depan istrinya itu.
Fatih memang kecewa dengan keputusan dan permintaan Zulfa, tetapi Fatih tidak bisa menolaknya karena Zulfa yang menginginkannya. Sekali lagi, Fatih benar-benar mencintainya. Fatih tidak ingin Zulfa bersedih dan menangis lagi karenanya. Ya, meski pada kenyatanya ia telah membuat Zulfa menangis lagi tadi. Namun, mau bagaimana lagi, Fatih benar-benar kesal karena Zulfa yang seolah tidak memedulikan kebahagiaannya sendiri dan lebih mementingakan kebahagiaan orang lain.Perempuan itu sangat baik.Fatih terpaksa meninggalkan Zulfa yang menangis sendirian di kamar mereka karena Fatih tidak mau dirinyaZulfa Zahra El-FazaJika Gus Fatih mengira aku sudah tidur, dia salah. Aku tidak tidur. Mataku memang terpejam, tapi aku tidak benar-benar terlelap sama sepertinya.Sejak tadi aku bisa merasakan Gus Fatih yang berulang kali mencium kepalaku. Menyelipkan hidungnya di antara surai-surai rambutku juga dirinya yang semakin erat memelukku. Beberapa kali aku juga merasakan hidungnya yang bergesekan dengan leherku. Aku bisa merasakan semuanya. Napas hangatnya, juga air matanya.Sama seperti Gus Fatih, aku juga masih terjaga.Saat Gus Fatih dengan hari-hati melingkarkan tangannya di perutku dan kembali menciumi puncak kepalaku, aku semakin bersusah payah menahan isakku. Gus Fatih tidak boleh tahu jika aku masih bangun dan ikut menangis bersamanya.Malam ini adalah malam terakhir kami. Malam perpisahan kami. Tentu saja aku juga merasa sedih.Air mataku tidak bisa kutahan. Untung saja aku dan Gus Fatih tidak saling berhadapan. Setelah maka
Perempuan itu terlihat begitu damai dalam tidurnya. Tidak ada raut kebahagiaan. Namun, juga tidak ada raut kesedihan. Seperti kertas kosong, wajah cantik itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain damai, tenang, dan kepasrahan.Sabrina dalam bahasa Arab berarti mawar putih. Dalam bahasa Inggris, Sabrina berarti putri legendaris. Namun, Sabrina yang satu ini, ia hanya putri malang yang bukan hanya kehilangan cinta, tetapi kehilangan segalanya dalam hidupnya.***“Mas. Ada satu hal lagi yang Zulfa inginkan.”“Apa?”Zulfa menatap dalam kedua mata jelaga suaminya. “Kalau boleh, Zulfa mau bawa semua seri Supernova yang njenengan punya. Zulfa ingin membacanya selama di Lamongan nanti.”Fatih langsung tertegun menatap istrinya. Laki-laki itu membuka mulutnya hendak bersuara, tetapi tak lama mengatupkan bibirnya kembali. Fatih akhirnya hanya mengerjapkan matanya sekali. “Semuanya?” tanya Fatih.“Nggeh.” Zulfa mengangguk. “Sem
Debur ombak menghantam pasir putih pantai. Matahari bersinar terang di singgasananya. Pepohonan kelapa diterpa angin kemudian menari syahdu bersamanya.Zulfa membawa kaki telanjangnya melangkah menyusuri bibir pantai berpasir putih itu. Pelan-pelan. Membiarkan ombak mendera kakinya dan membuat basah ujung gamis berwarna biru yang dikenakannya. Perempuan itu terus berjalan sembari memegangi perut besarnya.Seperti yang Zulfa minta, selama dirinya menetap di Lamongan, di salah satu pondok pesantren salaf ternama asuhan Kiai Muza dan Nyai Alimah yang berdiri di dekat laut, Fatih tidak pernah datang untuk menemui atau menghubunginya. Keduanya sudah berpisah selama lima bulan lamanya.Zulfa tentu merindu. Namun, mengingat perpisahan mereka dan semua ini terjadi karena keputusannya, ia sendiri yang meminta dan menginginkannya, Zulfa tidak bisa mengeluhkan apa-apa selain terus merindukan Fatih dan mendoakan kebahagiaannya.Dalam perpisahan ini, Zulfa bel
Zulfa dan Mila masih berjalan bersisian menuju pesantren selepas dari pantai. Beberapa meter dari mereka, gerbang masuk pesantren yang dicat warna hijau sudah terlihat di depan sana, berdiri dengan gagah.“Akh!” Tiba-tiba Zulfa berhenti berjalan sambil meringis memegangi perut.“Kenapa, Neng?” tanya Mila yang merasa terkejut.Mereka baru saja masuk beberapa langkah dari gerbang saat tiba-tiba Zulfa merintih seperti itu. Dengan cekatan, Mila kemudian memegangi lengan Zulfa yang ada di sisi kanannya.“Njenengan kenapa?” cemas Mila kembali bertanya.Zulfa tak kunjung menjawab. Ia masih memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa begitu mulas.“Akh ….” Zulfa meringis lagi. “Pe-perutku … perutku sakit, Mil,” lirihnya.Mila langsung membolakan kedua mata dan terserang panik mendengarnya. “Nje-njengan mau melahirkan, Neng?!” tanya Mila yang masih merasa terkejut, panik sekaligus bingung secara bersamaan.Zulfa sudah tidak
Zulfa Zahra El-FazaSetelah kelahiran bayi kami, aku bisa melihat wajah Gus Fatih yang begitu bahagia. Dia langsung mencium dalam keningku dan aku bisa merasakan air matanya yang jatuh di wajahku. Dia juga mengatakan kalau dirinya sangat mencintaiku.Sungguh, aku selalu bisa melihat ketulusan dan kesungguhan di mata hitam Gus Fatih saat dia mengungkapkan cintanya. Aku mempercayainya.Namun, mengingat jika selain aku, ada Sabrina juga dalam hidupnya, aku merasa aku harus pandai-pandai merasa cukup dengan apa yang kudapat. Aku tidak boleh serakah akan diri Gus Fatih dan aku harus pandai-pandai mengolah hati. Ada perempuan lain yang berhak akan diri Gus Fatih selain aku. Dan sama halnya seperti kepadaku, Gus Fatih juga memiliki kewajiban yang sama terhadap perempuan itu.Selama lima bulan tidak bersama, aku selalu penasaran apa yang terjadi antara Gus Fatih dan Sabrina. Apakah mereka bahagia? Apakah Gus Fatih bisa kembali mencintai cinta pertamanya?
Kubakar cintaku Dalam hening nafas-Mu Perlahan lagu menyayat Nasibku yang penat Kubakar cintaku Dalam sampai sunyi-Mu _ "Woi!" Tubuh seorang laki-laki dengan surai hitam dan panjang tersentak sesaat setelah seseorang menepuk keras pundaknya. "Lihat apaan?" tanya seseorang yang baru saja mengejutkan laki-laki bersurai panjang itu. Seorang lelaki bertubuh jangkung atletis dengan potongan rambut cepak. Tato berbentuk jangkar mencuat di lengan kanan laki-laki berambut cepak itu yang hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam. Di lehernya, melingkar kalung rantai yang di ujungnya berbandulkan cincin berbahan lempengan besi tipis sepanjang tiga sentimeter---bahan yang sama sekai tak senilai dengan rantai kalungnya yang terbuat dari emas murni berwarna putih. Sedangkan laki-laki berambut panjang sendiri---yang bisa juga disebut gondrong, ia mengenakan setelan celana jins biru tua dengan atasan kaos abu-abu yang di bagian luarnya dilapisi kemeja levis warna hijau
"Eh, Bang. Btw, adek lo yang cantik itu siapa namanya?" tanya Aldo. Laki-laki berambut gondrong langsung mengernyitkan dahinya. "Kenapa lo tanya-tanya nama adek gue?" tanyanya sembari memicingkan mata tajam. "He he. Ya kepo aja gue sama nama adek sohib gue sendiri. Emang salah? Mau gue gebet juga kan, udah nggak mungkin, udah punya suami." Laki-laki berambut gondrong terkekeh lagi. "Zulfa. Nama adek gue Zulfa," katanya begitu berhenti tertawa. Aldo manggut-manggut mendengarnya. "Zulfa ...," ulangnya seolah memproses nama itu agar terpatri kuat dalam ingatannya yang sebenarnya cukup sulit untuk mengingat-ingat nama perempuan. Buktinya, coba tanyakan saja nama-nama mantannya, sembilan puluh persen laki-laki itu tidak bisa mengingatnya---khas seorang Casanova. "Bagus, Bang, namanya," komentar Aldo setelah beberapa lama. "Emang lo tahu artinya apa?" Aldo langsung menatap sengit. "Ya tahu lah. Gini-gini, gue pernah mahir belajar bahasa Arab waktu masuk pesantren meski bertahan
- Flashback - "Eh, ciye .... Happy ending nih ceritanya. Syukur deh, pembacamu nggak akan ada yang kecewa kali ini." Pelita terhenyak. Arina, temannya yang membawa segelas thai tea di tangan kanannya mendatangi meja Pelita dan berceletuk tepat di samping telinga gadis itu sambil mencondongkan tubuh ke layar laptop Pelita, membaca beberapa kalimat terakhir yang ada di layar itu sebelum menarik sebuah kursi kayu yang ada di samping Pelita dan mendudukkan diri di sana. Pelita melirik temannya itu sekilas kemudian menghela napas lirih. Ia kembali fokus pada layar laptop lalu membubuhkan kata 'SELESAI' di bawah tulisan terakhirnya lantas menyimpan perubahan terakhir di dokumen word itu dan menutup aplikasi Microsoft Word-nya. Gadis itu baru saja mengeksekusi salah satu ceritanya. Jam di pergelangan tangan Pelita masih menunjukkan pukul 08.03 pagi. Sekali lagi Pelita menatap Arina yang kini sudah asyik memainkan ponsel sembari menyesap minumannya kemudian meraih cangkir teh miliknya s