Belum juga lama aku mengobrol dengan Tante Erin, Ibu memintaku cepat-cepat pulang. Kadang menyebalkan sekali wanita itu, andai bukan karena aku mencintai anaknya, malas sekali berhubungan dengan wanita itu.Lama-lama risih juga akhirnya aku berpamitan, Tante Erin hanya tertawa mendengar ceritaku tentang ibu mertuaku itu.Keluar dari cafe segera kulajukan kembali mobilku ke arah pulang. Sedari tadi ponselku tak berhenti berbunyi. Sayang sih sayang, tapi kalau caranya begini, buat pusing.Baru mobilku menepi akan masuk halaman, Ibu mertuaku sudah berdiri di depan pagar. Ya ampun Ibu-Ibu satu ini, benar-benar tidak sabaran sekali. Melihat mobilku datang lekas ia menghampiri dan naik di jok belakang. Sudah persis sopirnya aku dibuat."Kemana Bu? Ke pasar yang dekat simpang tiga saja ya Bu, disana pasarnya bersih kata Bi Eti." Aku melihat Ibu dari spion tengah."Nggak mau, yang Ibu cari gak ada di sana. Cuma ada di pasar yang dekat terminal," jawab perempuan setengah baya itu.Pasar kumuh,
Pov Rena•••Aku masih fokus dengan tumpukan berkas di atas meja, saat terdengar beberapa notif pesan masuk ke ponselku. Tanganku meraih laci dan menariknya. Ponsel kembali bergetar saat aku mengambilnya.Pesan gambar di aplikasi WA dari Ibu, sedikit menunggu karena aku tak mensetting unduh otomatis. Tawa tak dapat kutahan saat melihat gambar-gambar yang Ibu kirimkan. Terlihat foto Indah yang lucu sekaligus menyedihkan. Salut dengan Ibu, yang seakan tak pernah kehilangan akal untuk mengerjai menantu keduanya itu.Aku masih benar-benar tak habis pikir, kenapa ada gadis bodoh seperti Indah. Apa yang diharapkan dari sosok Mas Aris. Apalagi sekarang aku sudah mengunci suamiku itu, yang otomatis hanya bisa bangun saat denganku saja. Indah cantik, kaya, dan masih muda, Mas Aris juga abai padanya.Kalau hanya soal rupa, banyak pria lebih tampan dari Mas Aris. Apa gadis itu terobsesi karena Mas Aris menolaknya. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tau, apa yang Ia pikirkan. Sekarang lebih baik a
••Sepanjang perjalanan tadi, Ibu juga hanya berdiam. Tak bicara apapun padaku atau Bunda juga. Itu terjadi sampai sekarang, ketika kami berkumpul di ruang tengah selepas sholat isya."Rena, Ibu memiliki firasat tak nyaman, dengan kondisi ini," ucap Ibu tiba-tiba.Aku dan Bunda menoleh bersamaan ke arah Ibu, yang terlihat lebih serius dari biasanya. "Dengan ketiadaan Papanya, anak itu akan semakin bergantung pada Aris. Dia akan mencari perhatian Aris dengan alasan karena Papanya sudah meninggal, dan dia sedang berduka." Ibu menjeda kalimatnya."Surat perjanjian itu sudah ada di tangan kita. Sebelum terlambat kita pergi dari sini, kita pulang saja. Setelah itu kalian pindah lagi ke kota lain, dan mulailah kehidupan baru kalian," tambah Ibu lagi."Tapi, Mas Aris …." "Ibu yang urus Aris. Ibu tak ingin kita terlibat terlalu jauh dengan gadis itu. Dia tak sebodoh yang kita pikirkan seperti sebelumnya," lanjut Ibu lagi.
"Aris tak mau pergi?" tanya Ibu padaku. Aku mengangguk. Pagi-pagi sekali, Mas Aris sudah pergi. Indah menghubunginya, meski tau aku tak suka, Mas Aris tetap pergi. Dia telah memilih jalannya, dia tak ingin pergi. Mas Aris lebih memilih duniawi daripada hidup dengan cintaku. "Maafkan Aris," ucap Ibu kemudian. Aku memeluk Ibu mertuaku itu, tangisku pecah. Saat semua daya upaya yang dilakukan ternyata sia-sia, yang tersisa hanya rasa kecewa."Rena … Ah, sakit sekali rasanya Bu. Segala usaha kita, tak ada nilainya. Semua sia-sia, kalah dengan harta dan silaunya dunia." Sesak sekali rasanya dadaku, mengingat semua hal yang tengah terjadi.Bunda mengusap punggungku pelan. Kami semua terluka, oleh pilihan yang diambil Mas Aris. Semua kecewa, sangat kecewa. "Sudah, jangan menangis seperti ini. Hati bunda tambah sakit rasanya." Bunda terisak, pasti sama yang ia rasakan sekarang denganku."Ibu minta maaf, benar-benar minta maaf," ucap
Aku mengatur dan mempersiapkan hatiku, malam ini. Bukan hal yang mudah memang. Tapi, semua sudah menjadi keputusanku. Aku tak ingin melanjutkan rasa yang timpang ini, sendiri akan lebih baik. Daripada menggenggam bara untuk selamanya. Meski semua hal tercukupi dan aku bisa berfoya-foya, hatiku tetap tak akan bahagia.Semua sudah duduk di ruang tengah, ada rasa tegang di wajah Ibu yang jelas terpancar. Bunda hanya terdiam, menutup mulutnya rapat-rapat. Mas Aris terlihat lebih rileks dari pada Ibu serta Bunda. Semua pandangan mengarah padaku, karena aku yang meminta semua berkumpul. Guna menyampaikan tentang gugatan cerai yang akan aku ajukan."Ibu, maafkan Rena," ucapku mengawali pembicaraan malam ini. "Bukannya Rena sudah tidak sayang pada Ibu, hanya saja ini sudah menjadi keputusan Rena sekarang."Semua terdiam, masih menatap ke arahku. Pandangan Ibu mengisyaratkan dia tau apa yang akan aku sampaikan. Mas Aris juga terlihat mulai tegang."Rena i
Memutuskan untuk tetap tinggal di kota yang sama dengan Mas Aris, sempat membuat Bunda kuatir. Aku perlu meyakinkan aku baik - baik saja, meski kenyataan tak sepenuhnya seperti itu. Hanya saja S2 - ku sebentar lagi selesai, sayang sekali kalau sampai aku tak meneruskan kuliahku.Perlu waktu untuk merasa semua baik - baik saja, dan aku bisa sendiri tanpa Mas Aris. Dua bulan selepas sidang putusan, baru aku mulai terbiasa. Bayang Mas Aris juga berangsur - angsur memudar dari angan dan pikiran. Sudah mulai bisa tersenyum dan menikmati hidup. Semua yang berhubungan dengan Mas Aris sebisa mungkin aku singkirkan. Termasuk rumah dan mobil. Aku menganti mobil dari pembagian harta gono-gini, begitu juga dengan rumah yang telah Mas Aris selesaikan cicilan nya. Aku ingin menghapus pelan segala kenangan yang pernah ada. Karena mengingat hal bahagia di masa lampau menjadi hal yang paling menyakitkan untuk saat ini.Menata hati dan hidupku kembali. Karena aku tinggal s
Siapa lagi, kalau bukan Mas Aris yang juga atasan Pak Aldi. Dunia ternyata sempit, tapi, semua hal sudah aku pikirkan. Begitu juga kemungkinan aku akan berjumpa lagi dengan mantan suamiku ini."Rena …." Sama seperti Pak Aldi, Mas Aris juga terkejut saat melihatku.Ampun, apanya yang aneh. Kenapa mereka terlihat kaget dan syok seperti itu. Aku melihat kearah pakaianku, tak ada yang aneh. Wajahku juga tidak menakutkan, malah sekarang aku rajin perawatan dan juga sering ke salon. Apanya yang salah coba?"Kok, kamu di sini. Sama siapa?" tanya Mas Aris. Dia mendorong kembali kursi yang baru di tariknya, diurungkan niatnya untuk duduk. Mas Aris menoleh ke kanan dan kiri."Iya, disini memang." Aku spontan saja menjawab. Melihat mereka kaget, malah membuat aku ikut bingung menjawab."Mba, pesanan Bapaknya." Sania datang, di belakangnya Rudi membawa nampan berisi pesanan Pak Aldi. Aku melirik Sania yang menyipitkan mata ke arah Mas Aris
Kejadian tadi siang, dengan Mas Aris aku ceritakan ke Bunda. Tak ada respon berlebihan, dari Bunda. Hanya saja pasti dia langsung membahas masalah pendamping. Bunda beberapa minggu terakhir ini memaksa ingin memperkenalkan anak dari sahabat Ayah. Katanya bekerja di sini, di kota yang sama denganku."Ish, Rena masih ingin sendiri Bund. Menikmati hari - hari Rena, lepas tanpa beban." Aku beralasan seperti biasa. Aku belum mau memikirkan rumitnya sebuah hubungan. Pasca berpisah hampir setahun yang lalu dengan Mas Aris, aku menutup rapat hatiku untuk pria manapun."Jangan - jangan kamu masih ngarep, rujuk sama si Aris," celetuk Ibu, di sambungan telepon."Ish, amit - amit." Aku mengetuk kepala dan meja bergantian. "Dah kapok Bund, nggak mau lagi Rena. Cukup sudah."Terdengar tawa Bunda, saat mendengar jawabanku. Aku tidak pernah membenci Mas Aris hanya saja rasa di hati yang dulu pernah ada. Kini, semakin lama semakin layu dan mati.•••