"Aris tak mau pergi?" tanya Ibu padaku. Aku mengangguk.
Pagi-pagi sekali, Mas Aris sudah pergi. Indah menghubunginya, meski tau aku tak suka, Mas Aris tetap pergi. Dia telah memilih jalannya, dia tak ingin pergi. Mas Aris lebih memilih duniawi daripada hidup dengan cintaku."Maafkan Aris," ucap Ibu kemudian. Aku memeluk Ibu mertuaku itu, tangisku pecah. Saat semua daya upaya yang dilakukan ternyata sia-sia, yang tersisa hanya rasa kecewa."Rena … Ah, sakit sekali rasanya Bu. Segala usaha kita, tak ada nilainya. Semua sia-sia, kalah dengan harta dan silaunya dunia." Sesak sekali rasanya dadaku, mengingat semua hal yang tengah terjadi.Bunda mengusap punggungku pelan. Kami semua terluka, oleh pilihan yang diambil Mas Aris. Semua kecewa, sangat kecewa."Sudah, jangan menangis seperti ini. Hati bunda tambah sakit rasanya." Bunda terisak, pasti sama yang ia rasakan sekarang denganku."Ibu minta maaf, benar-benar minta maaf," ucapAku mengatur dan mempersiapkan hatiku, malam ini. Bukan hal yang mudah memang. Tapi, semua sudah menjadi keputusanku. Aku tak ingin melanjutkan rasa yang timpang ini, sendiri akan lebih baik. Daripada menggenggam bara untuk selamanya. Meski semua hal tercukupi dan aku bisa berfoya-foya, hatiku tetap tak akan bahagia.Semua sudah duduk di ruang tengah, ada rasa tegang di wajah Ibu yang jelas terpancar. Bunda hanya terdiam, menutup mulutnya rapat-rapat. Mas Aris terlihat lebih rileks dari pada Ibu serta Bunda. Semua pandangan mengarah padaku, karena aku yang meminta semua berkumpul. Guna menyampaikan tentang gugatan cerai yang akan aku ajukan."Ibu, maafkan Rena," ucapku mengawali pembicaraan malam ini. "Bukannya Rena sudah tidak sayang pada Ibu, hanya saja ini sudah menjadi keputusan Rena sekarang."Semua terdiam, masih menatap ke arahku. Pandangan Ibu mengisyaratkan dia tau apa yang akan aku sampaikan. Mas Aris juga terlihat mulai tegang."Rena i
Memutuskan untuk tetap tinggal di kota yang sama dengan Mas Aris, sempat membuat Bunda kuatir. Aku perlu meyakinkan aku baik - baik saja, meski kenyataan tak sepenuhnya seperti itu. Hanya saja S2 - ku sebentar lagi selesai, sayang sekali kalau sampai aku tak meneruskan kuliahku.Perlu waktu untuk merasa semua baik - baik saja, dan aku bisa sendiri tanpa Mas Aris. Dua bulan selepas sidang putusan, baru aku mulai terbiasa. Bayang Mas Aris juga berangsur - angsur memudar dari angan dan pikiran. Sudah mulai bisa tersenyum dan menikmati hidup. Semua yang berhubungan dengan Mas Aris sebisa mungkin aku singkirkan. Termasuk rumah dan mobil. Aku menganti mobil dari pembagian harta gono-gini, begitu juga dengan rumah yang telah Mas Aris selesaikan cicilan nya. Aku ingin menghapus pelan segala kenangan yang pernah ada. Karena mengingat hal bahagia di masa lampau menjadi hal yang paling menyakitkan untuk saat ini.Menata hati dan hidupku kembali. Karena aku tinggal s
Siapa lagi, kalau bukan Mas Aris yang juga atasan Pak Aldi. Dunia ternyata sempit, tapi, semua hal sudah aku pikirkan. Begitu juga kemungkinan aku akan berjumpa lagi dengan mantan suamiku ini."Rena …." Sama seperti Pak Aldi, Mas Aris juga terkejut saat melihatku.Ampun, apanya yang aneh. Kenapa mereka terlihat kaget dan syok seperti itu. Aku melihat kearah pakaianku, tak ada yang aneh. Wajahku juga tidak menakutkan, malah sekarang aku rajin perawatan dan juga sering ke salon. Apanya yang salah coba?"Kok, kamu di sini. Sama siapa?" tanya Mas Aris. Dia mendorong kembali kursi yang baru di tariknya, diurungkan niatnya untuk duduk. Mas Aris menoleh ke kanan dan kiri."Iya, disini memang." Aku spontan saja menjawab. Melihat mereka kaget, malah membuat aku ikut bingung menjawab."Mba, pesanan Bapaknya." Sania datang, di belakangnya Rudi membawa nampan berisi pesanan Pak Aldi. Aku melirik Sania yang menyipitkan mata ke arah Mas Aris
Kejadian tadi siang, dengan Mas Aris aku ceritakan ke Bunda. Tak ada respon berlebihan, dari Bunda. Hanya saja pasti dia langsung membahas masalah pendamping. Bunda beberapa minggu terakhir ini memaksa ingin memperkenalkan anak dari sahabat Ayah. Katanya bekerja di sini, di kota yang sama denganku."Ish, Rena masih ingin sendiri Bund. Menikmati hari - hari Rena, lepas tanpa beban." Aku beralasan seperti biasa. Aku belum mau memikirkan rumitnya sebuah hubungan. Pasca berpisah hampir setahun yang lalu dengan Mas Aris, aku menutup rapat hatiku untuk pria manapun."Jangan - jangan kamu masih ngarep, rujuk sama si Aris," celetuk Ibu, di sambungan telepon."Ish, amit - amit." Aku mengetuk kepala dan meja bergantian. "Dah kapok Bund, nggak mau lagi Rena. Cukup sudah."Terdengar tawa Bunda, saat mendengar jawabanku. Aku tidak pernah membenci Mas Aris hanya saja rasa di hati yang dulu pernah ada. Kini, semakin lama semakin layu dan mati.•••
"Kamu juga tau, aku cinta pertama Mas Aris, dia mencintaiku. Dia memilih bersamamu, karena harta dan jabatan bukan karena dia lebih mencintaimu. Apa satu tahun telah membuatmu amnesia, lupa kenyataan sebenarnya." Aku tersenyum sinis dan puas bisa kembali mengingatkan Indah pada kenyataan yang sebenarnya.Wajah wanita muda itu memerah dadanya terlihat naik turun, ada amarah dalam dirinya. Tapi, apa peduliku. Aku kembali meneruskan langkahku untuk keluar dari salon. Aku menarik napas dan menghembuskan cepat sesampainya di luar salon. Sesaat aku berhenti untuk mengatur napas dan hatiku. Untung aku bisa mengendalikan diri, cukup menamparnya dengan kata - kata. Sekarang pasti dia semakin membenciku. Untuk apa aku pikirkan …Kembali kakiku berayun, berjalan menuju mobil. Segera aku memasuki mobil, dan mulai menyalakannya. Mobil bergerak pelan keluar dari barisan parkir, sesuai arahan petugas. Selembar uang dua puluh ribuan kuberikan, petugas itu mengembalikan
Aku buru - buru menghadap kembali ke depan, ke arah jalanan yang belum juga sepi. Dokter Kelvin ternyata yang akan membantuku menyeberang. Rena … tenang! Sisi hati yang lain coba meredam."Ayok." Pikiranku belum fokus, saat pria itu menepuk lenganku aku cukup kaget."Kalau bengong aja, kapan nyebrangnya?" Aku menoleh ke arah pria itu, saat dia kembali bicara."I … iya." Aku gugup, selain karena takut menyeberang, juga karena pria itu. Ish ...Aku mengambil nafas dan menghembuskan perlahan."Ini, cuma mau nyebrang jalan." Dia terlihat bingung melihatku. Mungkin ketakutanku berlebihan, tapi namanya trauma mau gimana lagi. Tapi, kalau sekarang bukan karena rasa takut itu. Lebih karena ada yang berdebar kencang di dadaku."Saya, takut nyebrang." Aku beralasan. Kelvin terlihat manggut-manggut."Maaf." Ucapan itu menyertai tangannya yang memegang pergelangan tanganku dan menarikku menyeberang saat kendaraan lenggang.
Mataku langsung tertuju ke meja kerja saat pintu ruangan terbuka. Tak ada bunga seperti kemarin, aku menggigit bibir, kenapa ada rasa kecewa. Aku berjalan tak sesemangat tadi saat baru keluar dari mobil.Tas aku letakkan di meja samping kursi. Tanganku menarik kursi kerja, dan pelan mulai duduk kemudian bersandar sedikit malas. Rena apa - apaan coba? Sisi hati yang lain mulai memprotes reaksiku sendiri. Siapa suruh berharap, pas nggak sesuai harapan kecewa sendiri. Ada apa denganku?Kenapa senyum dokter itu tak mau pergi dari benakku dari semalam. Aku memukul pelan kepalaku, dulu sewaktu Mas Bagas mendekatiku di tempat kerja lama. Rasanya tak seperti ini, aku bahkan menghindarinya. "Pagi, Mbak." Seperti biasa sebotol air putih dan teh hangat Sania bawakan untukku."Kenapa pagi - pagi dah kusut gitu mukanya?" tanya Sania sambil meletakkan bawaannya di atas meja. Aku hanya menggeleng malas, dengan bibir sedikit manyun."Cie
"Aku serius, mau ajak kamu sarapan." Kembali dia menjawab, hanya dengan kalimat berbeda. Mungkin aku hanya salah dengar."Beneran? Biar aku minta karyawanku buatkan," ucapku kemudian."Lebih asyik, kalau di saung sepertinya," jawabnya."Em, boleh," jawabku lalu berdiri.Kami bergegas keluar menuju salah satu gazebo yang disebutnya saung. Setelah memesan terlebih dahulu ke pegawaiku."Pak Dokter, gak praktek?" tanyaku sesaat, setelah kami duduk di dalam salah satu gazebo."Satu jam an lagi." Kelvin menjawab.Suasana sudah mulai rileks."Sampai jam berapa kalau pagi?" Aku kembali bertanya, sekedar menciptakan obrolan."Jam sepuluh, abis itu ke rumah sakit sampai jam satu. Baru sore praktek lagi." Kelvin menjelaskan.Tak berapa lama, Rahmad salah satu pegawaiku mengantar menu yang tadi aku pesan. Dilengkapi dengan teh hangat."Pernah coba?" tanyaku padanya, sambil menggeser pelan piring