Mataku langsung tertuju ke meja kerja saat pintu ruangan terbuka. Tak ada bunga seperti kemarin, aku menggigit bibir, kenapa ada rasa kecewa. Aku berjalan tak sesemangat tadi saat baru keluar dari mobil.
Tas aku letakkan di meja samping kursi. Tanganku menarik kursi kerja, dan pelan mulai duduk kemudian bersandar sedikit malas. Rena apa - apaan coba? Sisi hati yang lain mulai memprotes reaksiku sendiri. Siapa suruh berharap, pas nggak sesuai harapan kecewa sendiri. Ada apa denganku?Kenapa senyum dokter itu tak mau pergi dari benakku dari semalam. Aku memukul pelan kepalaku, dulu sewaktu Mas Bagas mendekatiku di tempat kerja lama. Rasanya tak seperti ini, aku bahkan menghindarinya."Pagi, Mbak."Seperti biasa sebotol air putih dan teh hangat Sania bawakan untukku."Kenapa pagi - pagi dah kusut gitu mukanya?" tanya Sania sambil meletakkan bawaannya di atas meja.Aku hanya menggeleng malas, dengan bibir sedikit manyun."Cie"Aku serius, mau ajak kamu sarapan." Kembali dia menjawab, hanya dengan kalimat berbeda. Mungkin aku hanya salah dengar."Beneran? Biar aku minta karyawanku buatkan," ucapku kemudian."Lebih asyik, kalau di saung sepertinya," jawabnya."Em, boleh," jawabku lalu berdiri.Kami bergegas keluar menuju salah satu gazebo yang disebutnya saung. Setelah memesan terlebih dahulu ke pegawaiku."Pak Dokter, gak praktek?" tanyaku sesaat, setelah kami duduk di dalam salah satu gazebo."Satu jam an lagi." Kelvin menjawab.Suasana sudah mulai rileks."Sampai jam berapa kalau pagi?" Aku kembali bertanya, sekedar menciptakan obrolan."Jam sepuluh, abis itu ke rumah sakit sampai jam satu. Baru sore praktek lagi." Kelvin menjelaskan.Tak berapa lama, Rahmad salah satu pegawaiku mengantar menu yang tadi aku pesan. Dilengkapi dengan teh hangat."Pernah coba?" tanyaku padanya, sambil menggeser pelan piring
"Pantas, bisa ke salon mahal, ternyata jadi parasit. Kamu pasti merayu Mas Aris kan, buat beli - beli ginian juga." Indah masih dengan teriakannya. Diangkatnya paper bag di meja, kemudian dibantingnya."Indah, apa - apaan ini?" Seru Mas Aris sambil memegangi istrinya tersebut."Apa?" Indah berteriak ke Mas Aris. "Dia pasti rayu - rayu kamu kan, Mas?! Minta uang, minta dibelanjakan ini itu. Ingat Mas itu semua uangku, uang Papaku.""Cukup!"Teriakku kemudian. Mas Aris dan Indah melihat bersamaan ke arahku. Emosiku hari ini masih terkontrol cukup bagus. "Kalau aku mau duit kamu, aku nggak bakalan minta cerai dari Mas Aris. Tuduhan itu amat sangat tidak berdasar. Dan, bukan aku yang deketin suami kamu. Suami kamu yang masih cinta sama aku, tanyakan aja sendiri. Dan, ini ambil … aku nggak butuh apapun dari suamimu. Dia yang maksa memberikannya, iya kan, Mas?!Aku melempar paper bag itu ke arah Indah dan Mas Aris. Pria itu nampak gelagapan."Bohong." Indah kembali berteriak. "Ada cctv di
Sudah dua hari, aku tak melihat mobil Kelvin di tempat prakteknya. Begitu juga dengan sosok dari dokter itu. Entahlah, kenapa ada yang terasa kosong dalam hatiku. Bahkan aku belum mengenalnya lebih jauh, hanya buket bunga, ikan hias dan sarapan. Tapi, kenapa ada kesan yang begitu mendalam aku dapatkan dari sosoknya. Ada perasaan yang tak aku mengerti, rasa ingin tahu tentang kabarnya. Ada rasa tak tenang, berharap dia baik-baik saja. Aku menertawakan diriku sendiri, yang terlalu cepat menyimpulkan dan menganggap diriku spesial bagi pria itu. Mungkin aku yang berlebihan menanggapi perhatian yang Kelvin berikan beberapa hari ini.•••Pagi sekali aku datang ke restoran hari ini. Kegiatan sudah dimulai lebih pagi dari biasanya. Ada banyak pesanan hari ini, khususnya untuk nasi kotak. Sebelum jam sembilan harus sudah terkirim. Semua dibuat sibuk tak terkecuali denganku. Masih aku sempatkan melihat ke arah tempat praktek dokter Kelvin pagi ini. Tak terlihat juga mobilnya, berarti orangny
"Kenapa?" tanyanya terdengar sengaja menggodaku.Aku menurunkan daftar menu di wajah, hingga hanya nampak kedua mataku saja. Tuh … kan senyumnya lebar banget."Aku suka, merasa ada yang ngangenin." Alis pria itu terangkat, dengan senyum di bibir yang masih mengembang. Aku menggigit bibirku pelan, rasanya nano nano dalam hatiku. Tapi, beneran kali ini, rasa malu yang lebih mendominasi."Nggak seperti itu, Pak Man lebay." Aku berkilah, masih dengan menutup sebagian wajahku. Mendengar pembelaanku, Kelvin tertawa."Terus kenapa pakai ditutup segala?" Tangannya meraih daftar menu yang aku pegang dan menariknya. "Kan, matahari langsung bersinar, cerah banget," ucapnya saat berhasil menarik daftar menu itu dari wajahku."Hem, demi apa coba pagi - pagi dah di gombalin tukang suntik," celetekku sambil mengendalikan hatiku, yang terlanjur berbunga - bunga bahagia. Aku mengatur napas, agar tidak grogi."Tukang suntik? Lucu juga ya hahaha." Pria itu tertawa mendengar sebutanku padanya.Obrolan
"Malah bengong." Ucapan Kelvin menyadarkan dari lamunku. Aku mengangguk kemudian, menerima ajakannya. Senyum terbit di bibir pria manis itu. Dia segera membukakan pintu mobil untukku.Aku mengecek kembali kunci mobilku, setelah aman, baru aku masuk ke mobil Kelvin. Kelvin menyusul, masuk kemudian dan duduk di belakang kemudi. Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan area parkir resto, memasuki jalan beraspal."Sudah makan?" tanyan Kelvin padaku. "Udah, tadi sore. Jarang makan malam sekarang." Aku menjawab."Takut gendut ya?""Nggak, aku susah naikin berat badan. Segini aja, kalau turun cepet banget," jawabku. Aku memang susah gemuk, meski banyak makan. Tapi, kalau sedang banyak masalah cepat sekali turun berat badanku."Dokter sudah makan?" tanyaku balik."Sudah, sore tadi. Bunda masak soto daging." Kelvin menjawab.Bunda? Berarti Kelvin tinggal bersama dengan keluarganya. Panggilannya sama denganku, Bunda."Tinggal dimana?" tanyaku kemudian."Nggak jauh, dari tempat kost kamu, pe
"Kenapa harus mundur? Yah, cukup terkejut. Tapi, apa salahnya dengan status janda. Single, lajang, bukan istri orang … itu yang terpenting kan?!""Kamu yakin?" "Tolong dijawab, apa masalahnya dengan status janda?" Kelvin menanyakan balik."Ya, nggak ada. Tapi, pasti bedalah gadis dengan janda," jawabku."Masalah se*? Ada jaminan yang belum pernah menikah tidak melakukannya? Ga ada, atau ada hal lainnya? Kalau aku, selama bukan istri orang bukan suatu hal yang pantas dipermasalahkan." Sesaat aku terdiam, tetap saja ada rasa tak nyaman. Meski dia benar, tak ada yang salah dengan status janda. Kelvin meraih tanganku dan menggenggamnya. Sesaat kemudian dia mengangkat dan mengecupnya."Aku tak akan mundur. Sudah jelas kan sekarang?!" ucap Kelvin kemudian."Terima kasih.""Untuk apa?" tanyanya kemudian."Untuk semuanya," jawabku."Kalau, aku juga seorang duda. Kamu masih mau sama aku?" Kelvin kembali bertanya. Sesaat aku terdiam."Kenapa nggak mau? Lajangkan? Bukan suami orang?!" Aku
Siang ini, aku dikejutkan dengan kedatangan Ibu. Yah, Ibu Mas Aris menghubungiku, memintaku menemuinya di sebuah hotel. Sedikit ragu, akhirnya aku mengiyakan untuk menemuinya. Bagaimanapun, aku tau wanita itu sangat sayang padaku. Setelah mengiyakan, aku menelpon Bunda. Sekedar meminta pendapat, Bunda menjawab tak mengapa.Setelah, berpisah dengan Mas Aris, aku belum pernah bertemu Ibu lagi. Yah, ini pertemuan pertama setelah perceraian. Ibu juga tak mau bertemu Mas Aris, Bunda yang cerita. Tapi, ada urusan apa kira - kira Ibu datang ke kota ini?Aku merapikan meja, dari tumpukan berkas. Memasukkan ponsel ke dalam tas , dan beranjak keluar ruangan. Setelah berpamitan dengan Sania, aku melangkah keluar resto. Sekilas melihat ke arah klinik, jam segini Kelvin pasti di rumah sakit. Iya, mobilnya tak terlihat di depan klinik.Hotel Horison tak terlalu jauh, dari resto. Sekitar sepuluh menit perjalanan, bila kondisi jalan normal, tidak macet. Aku mengarahkan mobilku ke jalan besar, dan me
Sesampainya di restoran, parkiran nampak penuh. Di seberang terlihat Pak Man mengangkat tangannya. Pasti dia meminta aku parkir di sana. Aku turunkan kaca jendela dan mengacungkan jempol. Pak Man segera beraksi, menyetop kendaraan lainnya untuk membantuku."Pak, terima kasih," ucapku setelah keluar dari mobil."Sama - sama. Ramai restorannya, parkiran sampai penuh," balas Pak Man kemudian."Alhamdulillah, tambah ramai.""Terimakasih, tiap hari dapat kiriman makan siang, semoga tambah laris dan berkah." Doa, Pak Man kemudian."Amin, terimakasih doanya." Aku mengaminkan doa pria berkumis tebal itu. "Pak, bantu nyebrang." Aku meminta tolong pada pria itu untuk diseberangkan.Baru aku akan beranjak, sebuah mobil terlihat mengarah ke depan klinik, tempatku berdiri sekarang. Aku segera beralih berjalan ke arah kanan. Pak Man juga masih mengarahkan mobil yang akan masuk itu."Nggak parkir, Pak. Ngantar pak dokter aja." Wajah seorang wanita cantik berambut coklat muncul dari balik jendela y