Share

Bab 5

 

Diandra memejamkan matanya, perkataan Wira itu benar, aku tak boleh egois, fikirnya.

 

"Kamu ga mau 'kan kehilangan anak lagi, sabar ya demi anak kita."

 

Mereka berpelukan dalam tangisan, sementara di lantai atas Rara menyaksikan dengan hati berantakan.

 

'Kamu udah berzina selama masih bersamaku, Mas, tega!' 

 

Ratap hati Rara.

 

Ia segera berlari ke kamar meredam segala emosi dan tangisnya, tak berguna mengeluarkan air mata, Rara menghapus lelehan yang membuat pipinya basah itu dengan cepat.

 

Tapi tak bisa, kelopak mata itu terus saja melelahkan cairan hingga ia sesenggukan.

 

***

 

Aroma ayam goreng dan kangkung belacan sukses membuat Indra penciuman Wira dan Diandra tergugah, kebetulan sekali mereka belum makan malam.

 

"Kayanya si Rara lagi masak tuh," celetuk Diandra, perutnya keroncongan karena tadi siang hanya makan mie instan.

 

"Kita samperin yuk," ajak Wira.

 

Diandra diam gengsi sebenarnya, tapi bagaimana lagi di luar hujan tak memungkinkan beli makanan, ia pun terpaksa bangkit dan mengikuti suaminya ke arah dapur.

 

Di sana ada Rara yang baru selesai masak ayam goreng, dan sedang makan dengan lahapnya.

 

"Loh mana makanannya?" tanya Diandra sambil mengedarkan pandangan.

 

Di atas meja makan berbahan kaca dan  berukuran persegi panjang itu tak ada apa-apa, selain sepiring makanan yang sedang disantap oleh Rara.

 

"Kalian mau makan?" tanya Rara, suasana hatinya sudah membaik.

 

Ia ikhlas dikhianati, semoga saja rasa sakit yang dirasa bisa melunturkan dosa.

 

"Iya, Ra. Kirain masak banyak." Wira menyeringai terpaksa, padahal sudah ngayal ingin makan enak.

 

"Kalau mau masak aja sendiri, istrimu lagi nganggur tuh." Rara menunjuk Diandra dengan mulut penuh.

 

Diandra melengos membuang muka, malas banget harus masak segala, itu kerjaan pembantu!

 

"Emang ayamnya masih ada?" tanya Wira antusias.

 

"Mana kutahu, liat aja sendiri," jawab Rara dingin.

 

Wira gegas membuka kulkas, sayang sekali di sana hanya ada beberapa buah wortel, tak ada telur ataupun ayam yang habis diungkep seperti biasanya.

 

"Kok ga ada apa-apa ya?" tanya Wira sambil garuk-garuk kepala.

 

"Ya kalau ga ada berarti habis, suruh istri barumu itu belanja, terus masak, jangan bisanya cuma dandan aja." Rara mendelikkan mata.

 

Percuma cantik dan pinter dandan tapi masak aja ga bisa, apa gunanya punya istri begitu.

 

Rara merutuk dalam hati.

 

"Ga usah sok nasihatin ya, kita itu berbeda gue dari keluarga kaya nah elo, anak kampung!" balas Diandra sengit.

 

Sebenarnya Rara pun terpancing emosi, tapi cepat-cepat ia mengucapkan istighfar dalam hati.

 

"Kata siapa aku anak kampung? jangan sotoy!" tegas Rara tak mau kalah.

 

Hahahaha

 

Diandra tertawa lebar lalu berkata. "Udah kelihatan dari penampilannya."

 

Rara tak mempedulikan hinaan demi hinaan yang terlontar dari mulut sexy milik Diandra, ia berprinsip takkan terbang saat dipuji dan takkan tumbang saat dicaci.

 

Biar saja, Allah tak tidur kok.

 

"Alhamdulilah kenyang," tutur Rara, lekas itu ia membuang tulang ayam ke dalam tong sampah lalu mencuci piringnya.

 

Dengan santai ia mengayunkan langkah keluar dari dapur, saat melewati Diandra wanita berhijab itu berbisik. "Laper 'kan? kasihan deh lo ga bisa makan, mau order makanan pasti ga ada duit 'kan, hihi."

 

Telinga Diandra memanas mendengar celoteh perempuan yang menurutnya kampungan itu, ia menoleh lalu mendorong tubuh ramping milik Rara hingga tersungkur ke pojokan.

 

"Awww!" Rara berteriak memekik.

 

Seketika Wira yang sedang memotong bawang hendak membuat nasi goreng itu panik.

 

"Ya ampuun, Diandra, apa-apaan sih kamu pake dorong tubuh Rara segala, kasihan tahu." Reflex Wira berlari dan membantu membangunkan istri yang sudah ditalak olehnya.

 

"Kamu ga apa-apa 'kan?" tanya Wira.

 

"Wiraa!" jerit Diandra cemburu.

 

"Ini punggung aku sakit, Mas, abis dorongannya keras banget." 

 

Rara tak menghiraukan jeritan perempuan penggoda itu, ia malah sengaja bermanja-manja untuk membuat hati si gundik terbakar hebat, kali ini Rara hilaf.

 

"Keterlaluan kamu, Wira!" jerit Diandra lagi membuat Rara terkesiap.

 

"Oh maaf, Mas. Kita bukan mahrom lagi." Dengan cepat Rara menepis sentuhan lelaki yang sebentar lagi sah menjadi mantannya.

 

Lalu berlari kecil menghindari mereka yang dipastikan akan bertengkar.

 

Diandra menyusul lalu menghalangi langkah Rara dan berkata. "Eh udik! Elo sengaja 'kan mau rebut Wira lagi? atau jangan-jangan dugaan gue bener kalau elo belum mau pergi dari sini karena masih ngarepin Wira, belum siap kembali ke rumah orang tua Lo yang reot itu?!" 

 

"Dasar cewe matre! Mata duitan!" 

 

"Sadar diri dong, elo itu mandul! Apa lo ga mau pergi dari sini karena takut hidup miskin lagi? iya?!"

 

Rara kembali terpancing emosi, tak terima dikatakan mandul padahal selama wanita memiliki rahim maka ia berpeluang untuk melahirkan seorang anak.

 

Apalagi dikatakan mata duitan dan takut miskin, harga dirinya terasa diinjak-injak pelakor burik ini.

 

"Fikir dong, emang sekarang Mas Wira masih kaya? udah bangkrut kamu harus sadar, aku masih tinggal di sini karena menunggu masa Iddah, makanya belajar agama, biar paham," sergah Rara menahan jengkel di dada.

 

"Sudah dong jangan ribut. Kamu juga, Diandra, udahlah jangan dibesar-besarkan." Wira menyusul dan berusaha melerai.

 

"Aku ga terima ya, Mas, dikatain cewe mata duitan dan takut miskin sama istrimu ini. Aku punya bukti kalian tunggu di sini sebentar."

 

Rara melangkah penuh emosi ke dalam kamarnya hendak mengambil sesuatu, lalu kembali membawa sebuah amplop besar berwarna putih.

 

"Ini baca, itu surat undangan dari pihak panti asuhan anak yatim Darut taqwa, untuk kita berdua sebagai donatur tetap," ucap Rara sambil menyodorkan amplop itu pada Wira 

 

Lelaki berperawakan tinggi semampai itu membeliak saat membacanya, tak menyangka ada undangan seperti ini, padahal ia tak pernah merasa menyedekahkan uangnya ke sana.

 

Karena penasaran Diandra merebut surat itu dan membacanya, sontak mereka berdua memandang Rara keheranan.

 

"Iya, Mas. Selama tiga tahun uang bulanan darimu yang sebesar lima puluh juta itu, sebagiannya aku sedekahkan ke panti asuhan khusus anak yatim, mereka semua penghafal Alquran aku berharap kita dapat amal jariyah."

 

"Dan kamu Diandra, lihat sendiri 'kan aku itu ga matre dan mata duitan, lain kali kalau ngomong hati-hati!" tegas Rara dengan rasa puas.

 

Sedangkan Wira dan Diandra masih diam sambil menganga tak menyangka.

 

"Dan satu lagi, kapan-kapan aku ajak kamu main ke rumah orang tuaku ya." Rara menyeringai lalu pergi meninggalkan mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Matre teriak matre
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status