Zahra kemudian mengangguk, "Baiklah, mungkin kita memang membutuhkan penengah dan pengambil keputusan terbaik dari sisi agama!" Ridwan menatap istrinya dalam.Ridwan begitu berat dengan keputusan apa yang ada diluar kendalinya. "Berjanjilah padaku, Mas!" kata Zahra. "Apa?" tanya Ridwan pada Zahra. Zahra menggenggam tangan suaminya, "Mari kita berjanji, apapun keputusan Habib Usman kita harus menerima dan saling menguatkan!" Ridwan tersenyum dan mengangguk, "Mas berjanji! Berjanjilah kamu juga akan ikhlas!" Zahra diam merasakan dadanya. "Berjanjilah juga, tidak akan berfikir bunuh diri, jika kejadian Bibimu juga terjadi padaku!" pinta Zahra. Ridwan diam menatap mata istrinya. Mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Zahra, melumat lembut bibir ranum istrinya. Namun sensasi kali ini sangat menyakitkan, balasan ciuman Zahra membuat Ridwan dan Zahra meneteskan satu bulir air mata.
Selepas itu, Zahra dan Ridwan kembali ke rumahnya. Rumah yang bersebelahan dengan Habib Usman, hanya tersekat satu tembok. Zahra memasuki rumah yang sudah satu minggu dia tinggal. "Rasanya rindu dengan suasana di rumah, ini!" gumam Zahra sambil memasuki kamarnya. Ridwan kemudian memeluk istrinya, "Iya rindu suasana tentram ini, sebelum badai datang!" Zahra mengangguk. Zahra juga merindukan saat suaminya seperti biasa tanpa beban seperti saat ini. "Mari kita lapangkan dada kita, Mas! Serahkan saja sama Allah! Hidup mati kita!" Zahra berbalik dan menangkup wajah suaminya."Bukankah cepat atau lambat kita akan kembali?" kata Zahra. Ridwan tersenyum dan mengangguk. "Semoga Allah mengabulkan doa, Mas! Dan kita bersatu di akhirat kelak, Ra!" kata Ridwan. "Aamiin! Emang doa Mas apa semalam?" tanya Zahra sambil memainkan rahang suaminya. Ridwan mengecup bibir Zahr
"Apa maksudmu, Mas? Mas tak menginginkan Zahra lagi?" tanya Zahra. Ridwan menggeleng, "Hatiku tak bisa mencumbumu dalam keadaan seperti ini, Sakit sekali, Ra!" Zahra mendengar degup jantung suaminya dan nafas berat suaminya. Zahra beranjak dan mengambil inhaler dari balik laci nakas sebelah kasurnya. Menyemprotkan pada mulut Ridwan beberapa kali. Zahra tidak ingin suaminya anfal. Ridwan hanya menurut dengan mata yang masih tertutup. Zahra mengusap pipi Ridwan, kemudian mengecup pipinya beberapa kali. Zahra tau Ridwan tengah menyembunyikan matanya. Zahra juga bisa melihat bekas air mata yang jatuh. "Aku mencintaimu, Mas! Aku beruntung bisa dinikahi laki-laki sepertimu! Laki-laki yang sangat mencintaiku!" lahir Zahra di depan telinga Ridwan. Kemudian beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi. Sedangkan Ridwan meringkuk dibawah selimutnya.Mengistirahatkan h
Jantung Zahra dan Ridwan berpacu sangat kencang. Nyatanya Ridwan juga sangat sedih mendengar jawaban Habib Usman. Hati seorang Ayah juga tersayat saat harus mengangkat calon jabang bayinya, walaupun berawal dari idenya. Ridwan menoleh pada Zahra yang pasti sudah menunduk dalam, menyembunyikan air matanya. Ridwan buru-buru merengkuh tubuh Zahra. "Baik Habib, Terima kasih banyak!" ucap Ridwan dengan suara tercekat. Zahra tau, suaminya juga berat. Suaminya tetaplah laki-laki yang hatinya sangat lembut, Zahra mendekap Ridwan semakin erat. Habib Usman mengangguk, "Akan tetapi keputusan saya kembalikan lagi padamu, Ridwan!" "Iya, Bib! Saya permisi sekalian pamit langsung pulang ke Turki, Bib, Umi, Habib Ali!" pamit Ridwan. Mereka semua mengangguk dan mendoakan yang terbaik untuk Zahra dan Ridwan. Sejujurnya mereka juga sangat sedih, jalan yang harus Zahra lewati begitu terjal. Ridwan membawa Zahra untuk pulang ke Turki hari itu juga. Karena harus menyiapkan tubuh Zahra untuk ope
Zahra mengangguk mendengar pertanyaan Papa Ameer, namun tak ada suara yang bisa Zahra keluarkan. Membahas tentang ini, masih sangat membuatku Zahra sedih. "Apa kamu yakin, Ra? Apa ini paksaan Ridwan? Mamah hanya tidak ingin kamu menyesal!" tanya Mama Sofiya. "Mah, Pah! Aku tidak memaksa! Aku juga mencintai anak-anakku! Kenapa kalian seperti memojokkan aku!" kesal Ridwan. Mamah Sofiya menyeringai, "Memang!" "Mah, keputusan ini tidak datang dari kami! Kami menyerahkan keputusan ini pada Habib Usman!" jawab Ridwan. Papa Ameer dan Mama Sofiya mengangguk lega, walau dalam hati sangat sedih. Namun, keselamatan Zahra lebih penting. Apalagi pernah ada pengalaman yang sama dan berakhir tragis dalam keluarga. "Baiklah! Mama sedih, tapi Mama senang keputusan kalian! Mama tidak lagi berfikir tentang kakak Mamah!" jawab Mama Sofiya."Istirahatlah, Ra! Besok kami semua akan menemanimu! Kamu harus kuat!" kata
Pandangan mata Ridwan dan Zahra yang saling mengunci seolah sedang saling menyemangati satu sama lain. Dengan tangan yang saling ber genggaman erat. Hingga Akhirnya terhalang oleh pintu saat dokter menutup ruang operasi. Indikator pintu operasi berubah menjadi hijau, pertanda sedang mulai melewati sterilisasi dan penyuntikan bius total. Ridwan duduk di kursi tunggu dengan memejamkan mata terus merapalkan doa.Begitu juga Papa Ameer, Mama Sofiya, dan Oma yang sibuk dengan doa masing-masing. Berharap pelita dalam keluarga mereka bisa kembali dalam keadaan selamat. Lima jam yang sangat menegangkan, sebelum akhirnya indikator pintu berubah menjadi merah. Dan pintu ruang operasi terbuka. Bangkar tempat tidur Zahra didorong dan disambut keluarga dengan antusias. "Alhamdulillah Tuan-tuan dan Nyonya! Operasi berhasil dan pasien harus masuk ruang ICU untuk observasi pasca operasi!" kata Dokter
Ridwan kini tidak bisa tidur lagi setelah mimpi. Ridwan berfikir, mimpi itu nyata atau hanya hasil dari pemikirannya saja tentang dua anaknya. Entah itu hasil dari pemikiran atau benar putra putrinya hadir, Ridwan sangat senang bisa menatap Zahra kecil dan Fatih dalam balutan bahagia. "Semoga senyummu itu yang selalu menghiasi wajah cantikmu, Na!" batin Ridwan. Entah kenapa, Ridwan seolah langsung jatuh cinta saat pertama menatap Ena kecil dengan senyum indah itu. Hari berganti dan Ridwan masih setia di depan ruang ICU menunggu istrinya bangun. Sedangkan Papa Ameer menyusul istri dan Ibunya di ruang rawat inap. Ridwan berdiri dan menatap Zahra bari balik kaca, "Apa kamu begitu betah tidur, Sayang!" gumam Ridwan.Pagi itu Mama Sofiya, Papa Ameer dan Oma pamit harus pulang karena harus mengurus perusahaan. Ridwan mengiyakan dan menunggui Zahra seorang diri. Hingga sore hari, dokter menga
Selepas membeli bunga dan berziarah ke makam anak-anaknya, Zahra dan Ridwan memutuskan untuk segera pulang. Karena hari ini jadwal berkunjung ke Tarim karena akhir pekan, dan Zahra tak bisa bepergian jauh. Ridwan menyuruh Zen untuk menjemput putranya dan membawa ke Turki. Jika Ridwan dan Zahra tak bisa kesana, Fatih yang akan Ridwan boyong ke rumah selama satu hari. Ridwan ingin memberikan kejutan untuk istrinya. Saat sampai di Masion, keluarganya menyambut dengan hangat didepan. Hati Zahra selalu menghangat dengan cinta yang keluarga Kahraman berikan. Setelah makan sebentar, Ridwan membawa Zahra masuk ke dalam kamar. "Tidurlah, Sayang! Mas ada urusan sebentar dengan Papa, ya?" pamit Ridwan. Zahra mengangguk dan berbaring, dia sangat merindukan kamar mereka ini. Zahra tidur menerawang ke langit-langit kamar. "Apa benar setelah tiga bulan rahimku sudah pulih? Apa aku harus me