"Jangan lari," seruku ke anak-anak. Tapi tetap saja mereka berlarian.Baru saja anak-anak duduk, makanan yang kami pesan sudah diantar oleh pelayan. "Jangan lupa berdoa, makannya pelan-pelan," ucapku saat semua sudah bersiap dengan makanannya. Setelah berdoa semua sudah fokus pada makanannya sendiri-sendiri."Terima kasih ya, atas bantuannya." Entah ucapan terima kasih yang keberapa, yang Mas Bima ucapkan. Kami baru saja sampai di rumah."Sama-sama, Mas," jawabku kemudian. "Ya udah, Hana masuk dulu ya, Mas." "Oh, Iya. Makasih ya.""Iyah … hehehe," jawabku smbil tertawa kecil. Aku beranjak sambil mengandeng Al dan Luna untuk masuk ke dalam."Cuci kaki, tangan tidur siang yah," ucapku pada Abang Al dan Luna. Keduanya langsung bergegas masuk kedalam kamarnya. Aku menghempas pelan diri di sofa ruang tivi. Sejenak menyandarkan tubuh lelahku, hatiku juga. Mencoba terlihat kuat dan terlihat semua baik-baik saja itu sangat berat. Tapi, aku harus tetap waras untuk anak-anakku. 'Drttt'Seper
Kondisi Amak semakin menurun, setelah hampir semua berkumpul baru Amak mau dipaksa, untuk dibawa ke rumah sakit. Sebuah Ambulan telah dipanggil oleh Mas Akbar suami dari Mbak Yanti. Tinggal Mbak Cahya yang belum datang, kakak perempuanku itu masih dalam perjalanan. Serta Mas Ifan anak bude, masih ada pekerjaan di Makassar."Satu mobil aja, anak-anak biar dirumah. Yang kecil-kecil nggak rewel kan?" Mbak Yanti anak tertua Bude memberi arahan. Al dan Luna terkecil di keluarga ini."Minta tolong Firda jagain ya, Mbak?!" Mendengar permintaanku, Firda mengangguk.Kami berangkat dengan dua mobil, mobil milik Mbak Yanti dan juga milik Mbak Mirna. Aku dan Mas Andrian menumpang di mobil Mbak Mirna bersama Mama dan Bude.Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, aku duduk bersisian dengan Mas Andrian di kursi paling belakang. Harus mengabaikan rasaku, meski sangat sakit sekali rasanya hatiku.Sesampainya di rumah sakit Amak langsung masuk ke ICU karena kondisinya yang tambah menurun. Rasa cema
"Apa yang nggak mungkin, kalian sudah biasa melakukannya bukan?! Mas tau yang Mas lakukan itu bukan khilaf. Mas melakukannya dengan sadar, bahkan Mas mau bunuh aku perlahan dengan obat tidur itu juga penuh kesadaran. Khilaf tak mungkin berulang dan selama itu." Mas Andrian terdiam tak mengatakan apapun hanya isaknya yang mulai terdengar. Pelukannya belum dia lepaskan, bahkan sekarang seolah menumpu padaku. Mengapa jadi seperti ini, aku juga tak ingin seperti ini. Tapi, semua yang dia lakukan itu fatal. Hatiku sebagai seorang wanita yang mencintainya mungkin bisa menerima dia kembali, meski sakit terasa. Tapi, kewarasanku sebagai seorang manusia menolaknya. Tak ada jaminan di tak mengulanginya suatu saat."Hana, mas mohon maafkan mas." Kembali untuk kesekian kalinya hanya ucapan itu yang terdengar. "Mas nggak mau pisah sama kamu, sama anak-anak.""Tapi, mas sendiri yang membuatnya jadi seperti ini. Hana bisa mengurus anak-anak, Mas urus saja Raya dan calon bayi kalian." Sesak sekali sa
Aku terdiam, sejauh mana aku bisa terus menutupinya dan sampai kapan. Tapi, dengan kondisi Amak seperti sekarang apa masalah yang sedang aku hadapi tidak menambah berat pikiran Mama? Ini masalah besar.Tapi, tidak mungkin juga aku akan dapat terus menutupi semua ini. Cepat atau lambat hal ini harus diungkap. "Kalian ada masalah?" tanya Mbak Cahya padaku."Masalah biasa, Mbak," jawabku pelan."Kalau kamu tak mau cerita, biar mama tanya Andrian saja." Mama masih terus mendesak. Aku ingin sekali bercerita, tapi, aku benar-benar takut ini akan mempengaruhi kesehatan Mama."Setiap orang tua, pasti akan merasakan perasaan tidak nyaman saat anaknya sedang ada masalah, dan itu yang mama rasakan sekarang." Aku masih terdiam, tak tau harus memulai dari mana."Mas Andrian … dia … dia memiliki wanita lain." Akhirnya keluar juga apa yang sebenarnya ingin aku tutupi untuk sementara."Jangan mengada-ada, Andrian sangat mencintaimu dan anak-anakmu." Mama menggeleng tak percaya."Hana bukan hanya men
Aku hanya berharap Al dan Luna tidak mendengar dan melihat pertengkaran ini. Mudah-mudahan mereka masih tertidur. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Mas Andrian. Dia terlihat sangat syok, Mbak Cahya mendorong Mas Andrian sampai keluar ruang tamu.Mama memelukku, kami sama-sama menangis. Aku bersyukur, Mama tidak kenapa-napa seperti yang aku takutkan. Mama lebih kuat dari dugaanku.Berakhir sudah, sepertinya semua benar-benar berakhir. Sebuah kenyataan buruk yang harus diterima oleh keluargaku. Duka karena masalahku dengan Mas Andrian bertambah, saat Rendi mengabarkan Amak meninggal dunia. Sepertinya lengkap sudah kesedihan yang kami hadapi sekarang.Papa sedang bekerja, ada hal penting yang harus Papa kerjakan. Sebuah alasan klasik untuk menenangkan Al dan Luna. Keduanya nampak kecewa karena hanya sebentar bersama Papanya. Tapi, aku beruntung memiliki Al dan Luna yang selalu menjadi anak yang penurut.••Selama tiga hari aku dan anak-anak tinggal di Mama. Dan, aku harus kembali
Aku tidak tau kedepannya seperti apa. Dan, Mas Bima … bukannya aku tidak peka. Hanya saja sekarang bukan waktunya memikirkan hal lain selain anak-anak dan masalahku dengan Mas Andrian."Entahlah," ucapku kemudian dan kembali membalikkan badan berjalan menuju ke dalam rumah."Abang dukung." Masih kudengar suara Bang Fian, aku hanya menggeleng sambil tersenyum hambar."Kenapa Fian?" tanya Mbak Cahya saat aku masuk ke dalam rumah. Aku hanya menggeleng. "Dukung apa?" tanyanya lagi."Nggak tau tuh Bang Fian. Mbak tanya sendiri aja deh," jawabku, sambil berjalan ke ruang tengah. Al dan Luna nampak tidur-tiduran bersama kedua sepupunya, anak Mbak Cahya. Mama berada di tengah-tengah cucunya. Aku melangkah mendekat, dan duduk di sofa, yang lain tidur-tiduran di lantai."Kenapa itu anak kecil tadi panggil kamu Bunda?" Mama beranjak dari atas karpet dan duduk di sampingku."Ikut-ikutan Al sama Luna, Mah." Aku menjawab pelan."Terus, kenapa Al sama Luna juga panggil temannya Fian tadi Papa Bima?"
"Mbak Wati, saya ngerti paham. Tapi, saya juga nggak rela kalau sampai terjadi sesuatu dengan Hana anak saya. Anak Mbak Wati, berani bawa selingkuhannya kerumah. Andrian juga mau bunuh anak saya pelan-pelan. Dia cekoki Hana dengan obat tidur, agar dia bisa tidur dengan selingkuhannya. Saya nggak rela, Mbak. Saya nggak ridho anak saya diperlakukan seperti itu." Mama terlihat mulai emosi, Mbak Cakya mengusap punggung Mama untuk menenangkannya."Andrian khilaf, Ma. Andrian bersalah, mohon maaf atas kesalahan Andrian." Masih dengan pembelaan yang sama khilaf. "Hana, Ibu mohon. Beri kesepatan untuk Andrian." Tangis Ibu semakin kentara.Mataku memanas,kenapa harus seperti ini. Aku juga tak ingin seperti ini. Tapi, untuk menerima Mas Andrian lagi, sungguh aku tak bisa. Bukan hanya rasa sakit karena begitu dalamnya luka, tapi aku seolah sudah tak mengenalnya lagi. Masih belum menerima sepenuhnya, bahwa pria yang aku cintai tega berbuat seperti itu."Maafkan, Hana Pak, Bu. Hana belum bisa meme
Ragu apa harus kubawa serta dan mengembalikannya. Atau, memasukkan kembali dalam lemari dan meninggalkannya begitu saja. Sesaat aku mengatur hatiku, air mata Mas Andrian dan kedua mertuaku tadi pagi sungguh membuat dadaku sesak. Luka yang sama kini kami dapatkan, luka akibat sebuah perpisahan.Aku tersenyum hambar, mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tak ada yang berubah masih tetap sama. Dikamar ini awal dari sebuah penyatuan diri dua insan yang saling mencintai. Sebuah pengabdian seorang istri dan kewajiban seorang suami.Segera kuhalau segala bayangan masa lalu yang semakin menyesakkan dada. Mengubur dalam semua kenangan yang pernah ada. Menepis rasa yang masih membelenggu jiwa. Menarik kembali kewarasan yang hampir tenggelam dalam buai kenangan. Aku melangkah keluar meninggalkan kamar, di ruang tamu tampak Mas Bima yang terlihat mulai cukup akrab dengan Mama dan Mbak Cahya. Melihatku datang semua langsung berdiri dan kemudian beranjak keluar menuju mobil. Anak-anak langsun