Perlahan-lahan mata gadis itu terbuka. Dengan tatapan sayu, dia menatap tepat ke mata obsidian Hagen yang mengkilat. Bahkan, masih dalam pengaruh ciuman keduanya, gadis itu seakan terpaku.
Remasan tangannya yang tadi memegangi jas pria itu akhirnya merenggang. Dengan tangan sedikit gemetar, dia mencoba terus memegangi baju Blake Hagen.
Ketika bulu matanya mengipas hingga rebah di pipi, barulah Camellia bisa menemukan suaranya kembali.
“Apa...,” gumamnya, sedikit kebingungan.
Begitu otaknya mulai bekerja dan mencerna yang barusan terjadi, seketika tangan gadis itu berada di udara dan sebuah tamparan pun mendarat di permukaan pipi maskulin pria itu, yang pada akhirnya membuat Camellia harus menutup mulut dengan kedua tangan.
Dikarenakan dia juga tidak mengira bisa serefleks itu.
“Oh, ma-maaf kan aku!” pekiknya dengan ekspresi terkejut.
Buru-buru Camellia memegangi wajah Hagen untuk memerikasa pipi pria itu, namun
Camellia diperkenalkan dengan dua kepala pelayan di kastil Petunia. Mereka adalah Hestia dan Baron. Namun, keduanya diam-diam menatap ke arah Camellia dengan ekspresi yang menunjukkan ketidaksukaan.Dan anehnya, saat di depan Blake Hagen, pandangan kedua orang itu pun berubah, seolah-olah mereka menerima dan menyambut Camellia dengan suka cita.Tetapi, ketika pria itu berbalik, wajah-wajah yang terpasang di sana seakan memusuhi dirinya. Membuat Camellia bertanya-tanya, apa yang salah.Dan barulah saat mereka tiba di kamar yang hendak Camellia tempati, Blake Hagen sedikit memberikan jawaban melalui percakapan mereka.“Hestia sudah membesarkanku sejak aku masih balita, begitu pula dengan Baron yang sudah bekerja dalam keluarga ini selama puluhan tahun sejak kakekku ada.&rdqu
“Sampai kapan kau menahanku di sini?”Suara sendok dan garpu yang tadinya mengisi kesunyian di ruang makan akhirnya diinterupsi oleh pertanyaan barusan.Hagen yang sejak tadi fokus pada makanan di depan perlahan-lahan mengangkat kepala dan menoleh ke arah Camellia yang menunggu jawaban.Ini adalah hari ke tiga dia menahan gadis itu di Kastil Petunia, dan tampaknya bibir ranum itu tiada henti menyuarakan protes.“Apa kau sengaja membawaku ke sini untuk menahanku lagi?” tanya gadis itu.Bahkan, pria itu juga membatalkan pesta yang seharusnya mereka hadiri dua hari yang lalu dengan alasan sangat klasik.Malam sebelum acara pesta Hagen mengatakan; “Ka
Tangan Camellia memegangi genggaman Hagen dengan erat, sedangkan matanya melirik ke sekitar, pada beberapa pria yang memadati ruangan.Gadis itu tidak mengerti, mengapa Hagen membawanya ke sebuah pertemuan rahasia yang hanya dihadiri beberapa pria elit di kota.“Kenapa kau membawaku ke sini?” bisik gadis itu sembari menatap sekitar, pada wajah-wajah yang familiar.Mereka adalah orang-orang yang cukup dikenal di Lancaster dan juga Denver. Bahkan ada beberapa pria yang sangat dekat dengan ayah Camellia, tetapi setelah skandal korupsi yang mencuat di media, entah mengapa orang-orang ini tidak tampak batang hidungnya.“Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjadi teman kencanku,” ucap pria itu sembari merendahkan tubuh agar bisa berbisik dengannya.
Camellia merasakan sakit di sekujur tubuh, terutama pada bagian lengan dan kepala. Belum lagi punggungnya yang terasa seperti dikuliti, membuat gadis itu menangis tertahan karena kesakitan.Hanya suara Hagenlah yang memenangkan gadis itu, meredakan tangisan yang tadinya hendak pecah.“Apa lagi yang terluka, Princess? Beritahu aku bagian mana yang sakit,” ucap Hagen cemas sembari memeriksa setiap jengkal tubuh Camellia.Dengan sedikit tersedu, gadis itu mengulurkan tangannya ke depan untuk memperlihatkan beberapa cakaran di tangan.Melihat itu, seketika Hagen ingin mencari wanita-wanita tadi. Dia tidak terima melihat luka dan goresan di tubuh Camellia.“Kepalaku sangat sakit,” isak gadis itu yang menyadarkan Hagen bahwa ada beberapa helai rambut di lantai.Pria itu pun memegangi kepala Camellia dan memeriksanya cepat. Meskipun rambut gadis itu tampak acak-acakan, tetapi untungnya tidak ada yang botak sehingga dia berna
Wajah Edgar Duncan yang terlelap melegakan hati Camellia. Setidaknya dia dapat melihat sang ayah untuk waktu yang cukup lama, meskipun dalam keadaan tertidur pulas setiap harinya.Untuk sesaat, Camellia merasa sedikit terbantu dengan biaya pengobatan yang Hagen berikan bagi sang ayah, namun gadis itu tahu bahwa tidak ada makan siang yang gratis. Sehinga Camellia pun masih dibayangi oleh kemungkinan terburuk di masa depan.Mungkin setelah dari sana, dia akan pergi ke tempat Brandon untuk membicarakan tentang apa yang hendak dia lakukan ke depannya.Dan baru saja gadis itu beranjak dari kamar perawatan tersebut saat tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sangat familiar tengah duduk di bangku tunggu, tepat di luar kamar perawatan ayahnya.Seketika rasa marah menguasai hati Came
Setelah kepulangannya ke rumah, Camellia pun lebih banyak istirahat di dalam kamar. Dikarenakan Hagen memutuskan untuk menemaninya selama beberapa hari sampai gadis itu benar-benar pulih kembali. Namun, bukannya terkesan akan keputusan tersebut, Camellia malah melemparkan delikan tajam pada pria yang kini menginvasi kamarnya.“Apa kau akan tidur di sini sampai kau merasa bosan?” sindir gadis itu dengan raut kesal, karena sejak tadi dia merasa tidurnya telah diinterupsi.Kehadiran Hagen dalan ruangan itu benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman.Blake Hagen yang mendengar keluhan Camellia seolah tidak beranjak dari sofa yang sengaja pria itu seret dari ruangan di sebelah.Kini, pria itu seakan-akan memenuhi kamar gadis itu dengan beberapa furniture, yang tentu saja menjadi alasan pertengkaran keduanya.“Princess, tidurlah. Kau membutuhkan itu saat ini, dan aku tidak akan melakukan apa pun.”Lagi-lagi Hagen mengabaika
Suara ketukan di depan pintu membuat gadis itu berlari-lari kecil menuju ruang tamu. Namun, baru saja dia hendak ke sana, saat tiba-tiba sosok Hagen sudah lebih dulu membukakan pintu untuk siapa pun yang berada di luar rumah.Gadis itu hanya memerhatikan dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Sedangkan fokusnya jatuh pada punggung pria itu yang sempurna dari belakang.Ketika suara maskulinnya yang terdengar merdu mengatakan sesuatu pada siapa pun di luar sana, barulah Camellia benar-benar mendengarkan percakapan mereka.“Apa ini sudah semua?” tanya pria itu yang masih menghalangi pintu, sehingga Camellia tidak bisa melihat sosok di luar sana.Namun, begitu mendengar suara feminim yang memberikan jawaban, seketika bahu tegang Camellia menjadi rileks kembali.Gadis itu pun diam sembari mendengarkan.“Sudah, Sir. Semua dokumen yang perlu ditandatangani ada di sana, termasuk proposal yang tadi anda minta untuk dikirimkan.&
Siang itu Hagen pun berpamitan untuk kembali ke apartemennya. Setelah gadis itu membaik beberapa hari ini, keduanya memutuskan agar Hagen kembali ke rumah. Dan gadis itu juga menolak untuk ikut bersama pria itu ketika diberi tawaran.“Tidak, aku lebih nyaman di rumahku.” Adalah jawaban Camellia setiap kali Hagen memberi usulan. Bahkan gadis itu tidak memberikan kesempatan untuk kompromi.Dan tampaknya Hagen merasa berat begitu pria itu melangkahkan kaki ke luar dari rumah. Beberapa kali pria itu menoleh kea rah Camellia yang mengintip dari jendela di lantai dua. Gadis itu bahkan menggigit kuku pada ibu jari dengan pandangan penuh gelisah.Saat pria itu hendak tiba di mobil yang berada di parkiran, langkah pria itu pun terhenti. Dengan tatapan lurus ke arahnya berdiri, Hagen melambai kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.Begitu kendaraan roda empat itu menghilang dari pandangan, barulah Camellia dapat bernapas.Namun entah mengapa