Siang itu Hagen pun berpamitan untuk kembali ke apartemennya. Setelah gadis itu membaik beberapa hari ini, keduanya memutuskan agar Hagen kembali ke rumah. Dan gadis itu juga menolak untuk ikut bersama pria itu ketika diberi tawaran.
“Tidak, aku lebih nyaman di rumahku.” Adalah jawaban Camellia setiap kali Hagen memberi usulan. Bahkan gadis itu tidak memberikan kesempatan untuk kompromi.
Dan tampaknya Hagen merasa berat begitu pria itu melangkahkan kaki ke luar dari rumah. Beberapa kali pria itu menoleh kea rah Camellia yang mengintip dari jendela di lantai dua. Gadis itu bahkan menggigit kuku pada ibu jari dengan pandangan penuh gelisah.
Saat pria itu hendak tiba di mobil yang berada di parkiran, langkah pria itu pun terhenti. Dengan tatapan lurus ke arahnya berdiri, Hagen melambai kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
Begitu kendaraan roda empat itu menghilang dari pandangan, barulah Camellia dapat bernapas.
Namun entah mengapa
Lama Camellia memikirkan isi dalam dokumen yang baru saja dia bawa pulang. Dan dengan penuh kehati-hatian, gadis itu menyembunyikan dokumen tersebut di tempat yang aman untuk menghindari seseorang menemukannya.Dia baru saja duduk di atas ranjang setelah menaruh benda itu ke tempat yang aman sebelum akhirnya dering ponsel menarik perhatian gadis itu, dan nama Hagen pun muncul di layar sebagai orang yang menghubungi.Baru saja mereka berpisah tadi pagi, tetapi sepertinya pria itu tidak pernah puas mengganggu gadis itu.“Apa ada barangmu yang ketinggalan?” tanya Camellia, mencoba menyindir dengan sebuah dugaan.Tentu saja pria itu terkekeh pelan. Karena jelas sekali Hagen tidak membawa banyak barang saat ke sana.“Tidak, Princess,” ucap pria itu yang terdengar seperti sedang melakukan sesuatu di seberang. “Aku hanya ingin memastikan keadaanmu.”“Keadaanku baik-baik saja. Kau bahkan sudah lihat tadi pag
Cinta.Satu kata yang Camellia juga tidak pernah tahu makna serta rasanya, karena dia juga tidak pernah mengalami dan menemukan itu. Baik dalam keluarganya sendiri maupun diri sendiri.Jika dia mencintai dirinya, tidak mungkin dia harus menjual diri. Tetapi, apakah dia mencintai ayahnya sehingga apa pun dia korbankan?Mungkin saja, atau mungkin dia berharap sang ayah dapat pulih sehingga dia juga dicintai layaknya seorang anak.Selama ini dia hidup di tengah-tengah permasalahan kedua orang tuanya yang tidak pernah berhenti saling menyalahi.Hidupnya bahkan tidak pernah terasa sempurna.Dengan tatapan sendu, Camellia pun berjongkok di hadapan pria yang matanya perlahan mulai terpejam.“Kau dapat dicintai oleh banyak orang. Dan bagimu itu bukan hal yang sulit,” gumam Camellia sembari menatap wajah rupawan yang telah kembali terlelap di hadapan.Gadis itu pun mengusap wajah maskulin tersebut dengan jemari-jemarinya men
Camellia datang ke acara pemotretan dalam keadaan pipi bengkak dan wajah sembab. Gadis itu bahkan tidak peduli akan tatapan yang selalu mengarah padanya selama di studio.Brandon bahkan memberi tatapan bertanya dengan sebelah alis mendekati dahi pada wajah Camellia yang memerah.“Ada apa dengan pipimu? Kau menangis?” tanya pria itu sembari meperhatikan Camellia dengan seksama.Gadis itu hanya menundukkan kepala sembari mengusap beberapa air mata yang jatuh di pipi.“Maaf,” bisiknya parau, membuat Brandon hanya bisa menghela napas sembari mendekati gadis itu.“Tidak apa-apa, kita bisa menutupinya dengan make up,” ucap pria itu sembari memanggil seorang wanita muda yang tampak berpakaian sangat professional.“Bantu Camellia untuk berdandan lebih cantik,” ucap pria itu, mengalihkan perhatian dari tangis gadis tersebut.“Ayana,” ucap wanita itu sembari mengulurkan tangan, memperk
Camellia menatap sekitarnya dengan pandangan gugup. Dia bahkan berkali-kali melirik ke arah Brandon yang menyetir di depan.“Apa tempatnya sangat jauh?” tanya Camellia sembari melirik ke sekitar, pada pepohonan dan hutan lebat yang menutup pandangan. “Ini sudah dua jam.”Brandon dapat melihat kegelisahan Camellia, namun dia tidak tahu bagaiman caranya menenangkan gadis itu.“Masih ada satu jam lagi,” ucap Brandon, semakin membingungkan Camellia.Mengapa tempatnya harus sejauh itu.“Kenapa di tengah-tengah hutan belantara?” tanya Camellia dengan polosnya.Brandon hanya terkekeh pelan.“Ini event rahasia, Camellia. Semua orang yang akan menghadirinya lebih suka privasi mereka dijaga sehingga dipilih lah tempat yang sempurna,” jelas pria itu, semakin menambah dalam kerutan di dahi gadis itu.“Di tengah-tengah hutan belantara?”Lagi-lagi Camellia merasa
“Dua juta dollar!”Seketika semua mata tertuju pada seorang pria berusia empat puluh yang berada di sudut ruangan.Yang tadinya semua orang tampak memberi penawaran, mereka pun memutuskan mundur satu per satu.Jaxon yang berada di bangku paling belakang hanya menatap ke arah Camellia dengan penuh simpati, karena sejak pelelangan dimulai, tidak terlihat sedikit pun terlihat Hagen bergerak atau pun menyuarakan penawaran juga. Bahkan pria itu lebih banyak diam sembari mengawasi sekitar. Gesture nya yang lebih banyak diam jelas sekali menunjukkan ada ketidaksukaan dari diri pria itu.Begitu pula dengan Brandon dan beberapa anggota Red Cage lainnya.Pada awalnya mereka mengira Hagen juga akan ikut serta memberi penawaran
Tubuh Camellia tampak lunglai ketika hendak berjalan menuju mobil yang akan membawanya ke rumah baru. Gadis itu bahkan tidak mau melihat ke arah pria yang berada di balik kemudi. Dia bahkan menundukkan kepala dan berusaha untuk tidak menatap pada siapa pun di sekitar. Meski hanya ada satu pria di mobil itu.Dan selama perjalanan menuju ke kota, mobil itu dipenuhi oleh keheningan. Kini, gadis itu merasa tidak ada artinya semua hal yang dia miliki disaat dirinya tidak berada di dalam lingkungan yang familiar.Dengan perasaan cemas dan campur aduk, Camellia pun menyandarkan kepala pada kaca mobil sembari mendengarkan suara detak jantungnya sendiri.Dia bahkan tidak peduli apa pun pada pria yang juga memilih diam di depan.Dan ketika mata gadis itu terpejam, entah mengapa dia dapat mencium aroma parfum yang sangat familiar, namu
“Ba-bagaimana setelah ini?” tanya Camellia saat berada di kamar pria itu.Keduanya berada pada jarak yang cukup jauh. Di mana Camellia duduk di atas ranjang, ketika Blake Hagen di tengah-tengah ruangan dengan mata menatap ke luar jendela.Sejak awal pria itu terlihat enggan menatap mata Camellia, membuat gadis itu merasa berkecil hati dan sedikit melankolis. Bahkan, pria itu hanya mau melihatnya saat dia mengatakan sesuatu yang memancing amarah.Seketika Hagen pun berbalik dan melemparkan ponsel pribadinya ke sebelah gadis itu. Dengan suara dingin, dia pun berkata; “Kau sudah membaca semua dokumen itu, tapi sepertinya kau lupa.”Setelah mengatakan hal demikian, Hagen berjalan menuju ke luar ruangan. Meninggalkan Camellia sendirian.Kepergiannya meninggalkan keheningan panjang, hingga pada akhirnya Camellia meremas seprei yang sedang dia duduki.Dengan tubuh sedikit lemas, gadis itu pun menoleh pada ponsel yang Hagen l
Setelah selesai membersihkan diri di kamar mandi, Camellia keluar hanya dengan handuk yang melilit.Tubuh setengah basahnya tampak sedikit berkilau dari paparan cahaya dari kisi-kisi jendela dan lampu di atas kepala. Dia mengeringkan rambut menggunakan handuk putih yang berbeda, dan begitu kakinya melangkah melewati batas pintu kamar mandi, tiba-tiba saja sebuah jeritan lolos dari mulut gadis itu. Karena tepat di tengah-tengah ruangan terlihat Hagen yang berdiri sembari menatap ke arahnya.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya gadis itu setengah histeris sembari berlari kembali ke kamar mandi.Kepalanya terlihat mengintip di celah pintu, pada Hagen yang berdiri dengan kedua lengan terlipat di depan tubuh.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, sedangkan kepalanya tampak miring sedikit ke kiri dengan pandangan mata mengamati.“Kau tidak perlu menutupi tubuhmu. Setelah ini aku bisa melihat seluruhnya, sehingga kau tidak perlu be