Kantin sekolah ramai seperti biasanya, jam istirahat pertama sudah terlewati lima menit yang lalu. Minuman milk tea milik Aira justru masih berisi satu gelas penuh. Sementara minuman Daffa di depannya sudah hampir tandas, karena benaknya yang sudah pening dengan berbagai pikiran serta atensi.
"Duh, Daf. Rencana pertama aja belum tentu berhasil sepenuhnya, masa udah mikirin rencana kedua, sih?" gerutu Aira ketika tadi Daffa membahas mengenai rencana ke dua.
"Justru kita mulai mikirin rencana kedua sambil nungguin rencana pertama berhasil, Ra. Waktu kita nggak banyak, inget itu," jawab Daffa, dia sepertinya sudah pening dengan semuanya. Kentara jika rautnya dipenuhi peluh, padahal AC menyala di penjuru kantin.
Aira tetap tidak yakin, jujur saya dia merasa lelah dengan rencana pertama yang entah bagaimana ke depannya. "Iya gue tau, tapi masa lo nggak pusing, sih? Apa lo nggak capek? Dan, mikirin rencana nggak semudah itu, Daf. Harus bener-bener matang."
"Gue
"Kak, menurut lo, mama sebenernya setuju nggak sama perjodohan itu?"Aira berucap, menanyakan pertanyaan yang baru-baru ini cukup menganggu benaknya. Serin di depannya mengerutkan kening. Jarang sekali membicarakan mama, sekalinya bertanya, Aira langsung merujuk soal perjodohan itu. Ada sesuatu dalam diri Serin yang cukup tertegun."Tiba-tiba lo nanyain dia, ada rencana apa lagi?" tanya Serin, Aira mengangkat bahu, dia hanya menebak, dan bertanya kepada Serin siapa tahu dia juga berpikiran sama."Menurut gue, mama nggak setuju," jawab Aira. Di kelas masih sepi, membuatnya bebas untuk membahas rencana dengan Serin."Tunggu, jadi lo mau ajak mama kerja sama juga? Lo, nggak serius, kan?" Ada sedikit kejut yang kentara, meski demikian, ada hal lain yang membuatnya merasa cemas. Dan Aira, tidak mengetahuinya."Gue nemuin lo justru mau bahas soal itu, Kak."Serin menggeleng cepat, dia enggan melakukan hal yang diucapkann Aira bersusan. "Mend
"Aira!" Tubuh Aira terhuyung, kehilangan keseimbangan tepat di depan kelas, Serin spontan membulatkan matanya. Baru hendak menuju lapangan, tanpa diduga, Aira terjatuh pingsan. Beberapa murid di lapangan seketika buyar."Daf, Aira pingsan!" pekik Serin, Daffa yang datang dari arah Utara langsung berlari menghampiri."Kok bisa, sih?" Daffa cemas, namun juga kesal bercampur khawatir. Dia hendak mengangkat tubuh Aira, namun sebuah suara sesaat mengurungkan niatnya."Kita harus bawa dia—""Kenapa Aira?" potong Rehan, yang baru saja sampai depan kelas setelah berlari dengan napas terengah-engah.Serin menatapnya tajam. "Ini gara-gara lo!""Kok gue?" Rehan langsung mendelik ketika baru tiba sudah mendapat tuduhan."Ya karena lo Aira pingsan, Re! Dia belum sarapan seharian, dan lo malah nyuruh dia ke lapangan! Di siang hari yang panasnya minta ampun ini! Lo gila, hah?" teriak Serin, aktingnya memang benar-benar bagus.
Malam ini, masih dengan rencana Aira yang ingin berbicara dengan sang mama. Menanyakan perihal tidak atau setujunya sang mama dengan perjodohan itu, dan mengajak untuk bekerja sama dengannya agar meyakinkan sang papa supaya membatalkan perjodohannya dengan Rehan."Lo beneran mau bicara sama mama? Kalo dia—""Gue rasa mama nggak bakal sejahat itu, Kak. Nggak ada salahnya juga kita nyoba, kan?"Di kamar Serin, Aira dengan penuh yakin, sem nyata Serin yang tidak menemukan keyakinan jika rencana itu akan berhasil. Aira yang tetap kekeuh membuat Serin merasa khawatir. Cemas. Jika saja dugaannya yang negatif itu benar akan terjadi."Tapi itu beresiko banget, Ra. Mama udah berubah." Serin dengan rautnya yang tidak setuju menatap Aira, perasaan cemas dan berusaha mencegah masih kentara di wajahnya.Namun, Aira tersenyum, hatinya mengatakan jika sang mama tidaklah seburuk itu. Dia masih sama, pikirnya. "Gue tau, tapi dia nggak bakalan lupa kalo gue an
Siang menjelang sore ini, Aira mengajak Daffa ke tempat biasanya, tepi danau. Setelah pulang sekolah, mereka tidak ke rumah, anggap saja karena terlalu malas untuk sekadar berganti baju dan sandal. Udara yang tidak terlalu dingin, menemani mereka yang duduk sembari memakan beberapa camilan.Aira tersenyum tipis, menikmati alam lepas memang menjadi kesenangannya sendiri. Dia tidak bisa jika hanya sekadar memandang, melainkan juga membeli beberapa camilan. Perpaduan healing yang tepat. Makanan, dan ketenangan. Bagi Aira, itu sudah cukup membuatnya merasa damai.Tidak terlalu banyak orang di sana, sebab tidak banyak yang bisa menikmati alam sepenuhnya. Entah karena memang tidak bisa memahami alam itu sendiri, tapi terkadang kesibukan membuat mereka seolah lupa dengan kondisi lingkungan yang ditinggali.Aira ke danau itu, lalu duduk di kursi yang berada di tepi, serta sedikit pembatas yang tidak terlalu tinggi, hanya untuk membuat benaknya istirahat. Dia hanya
Serin menuruni anak tangga menuju dapur. Langkah kakinya berhenti di meja makan dan mendudukkan diri. Sang papa yang sudah mulai menyantap makanannya, tampak sekilas melihat Serin. Serin sendiri tersenyum hangat seperti biasanya untuk menyapa."Pagi, Pa? Mama nggak pulang?" tanya Serin ketika melihat sang mama tidak berada di samping papa.Andi menggeleng. "Mana kamu lembur di kantor, Serin. Dia akhir-akhir ini memang banyak pekerjaan. Ada apa, tumben nanyain mama?" tanyanya heran.Serin menggeleng pelan tanda paham, pantas saja tadi malam dia tunggu bersama Aira tidak kunjung datang. Padahal dia sudah berharap malam tadi bisa menjadi rencana kedua yang berhasil. Nyatanya tidak. Dugaannya belum bisa dipastikan apakah mamanya akan menyetujui."Nggak, kok, Pa. Cuma heran aja, biasanya mama selalu sama papa," balas Serin dengan senyum. Jemarinya mulai mengambil nasi beserta lauk."Gih, sarapan. Papa nggak mau kamu sakit dan tidak masuk sekolah." Andi
Aira melangkahkan kakinya menuju keluar gerbang setelah tadi menelepon Daffa untuk menjemputnya. Malam ini, Aira memutuskan untuk tidak tidur rumah. Dia sudah pamit kepada Serin, berharap gadis itu tidak khawatir—mungkin—bisa merahasiakannya dari sang papa."Please, bawa gue kabur, Daf!" desis Aira saat sudah duduk di kursi samping Daffa. Cowok itu reflek mengerutkan kening. Bingung."Dih, lo kesurupan apa, Ra?" tanya Daffa, menempelkan telapak tangan ke depan dahi Aira guna mengecek suhu tubuhnya.Aira langsung mendengkus mendapat respon demikian. "Gue serius! Gue mau pergi dari rumah!""Tiba-tiba?" Tertegun, Daffa sempat melebarkan matanya untuk beberapa saat sebelum mulai menyalakan mesin mobilnya."Buruan!" desak Aira, dia padahal sudah diam-diam keluar rumah agar tidak ketahuan sang papa."Lo kenapa, sih? Kalo ada masalah cerita, Ra. Jangan gegabah gini," jawab Daffa, masih berusaha menasehati meskipun dia juga tidak m
Aira baru saja menginjakkan kakinya ke lantai rumah Daffa, di ruang tamu, tiba-tiba dari arah dapur sudah terdengar derap langkah kaki. Aida sudah menebak, itu pasti mamanya Daffa. Dan benar, wanita itu menatap antusias terhadapnya. Bahkan, hingga memeluknya erat.Akhirnya mereka memutuskan untuk berbincang, sementara Daffa kembali ke kamarnya. Tidur, katanya. Aira dan mama Daffa berada di ruang tamu, dengan tangan wanita itu yang menggenggam jemarinya dan mengusap pelan setelah mendengar alasan mengaoa dirinya akan menginap di sini."Kenapa kamu nggak cerita ke tante, sih? Tau gini, tante bakal bantu kamu, Aira."Menanggapi kekhawatiran sang mama Daffa, Aira tertawa kecil. "Aira udah banyak ngerepotin, Tante. Aira juga nggak mau tante merasa terbebani karena harus bantu Aira.""Justru kalo kamu nggak cerita, tante bakal semakin khawatir," jawab wanita itu sembari mengusap lembut rambut Aira. Dia benar-benar terlihat menyayangi gadis itu.Aria memb
"Ra, mama udah pulang!"Pekikan dari sang kakak tirinya itu spontan membuat gerakan jemari Aira pada bolpoin yang tengah menulis seketika terhenti. Harusnya dia senang, namun dia justru mengernyit. Bangkit dari duduknya, dan ikut menghampiri Serin di ambang pintu."Serius? Kok, gue nggak denger suara mobilnya?" tanya Aira, saat sudah melihat Serin kembali masuk."Dia pake mobil beda, Ra. Udah cepet siap-siap. Gue khawatir kalo dia bakal balik kerja lagi. Mumpung papa belum pulang, Ra!" desak Serin, segera menyuruh Aira untuk menyiapkan diri."Iya, sabar, dong," decak Aira, dia menjadi bingung sendiri karena ini terlalu mendadak. Alhasil setelah merapikan alat tulisnya kembali, dia mengambil sisir rambut di meja rias."Nanti, pokoknya lo harus berani jawab. Maksud gue, kalo lo harus sampein semuanya tentang perjodohan itu. Dan pastiin, lo waspada sama gerak-geriknya," peringat Serin, mondar-mandir sembari bersedakap dada. Gelisah sendiri.Air