"Mama boleh kok ke kota, biar Qilla tetep di sini. Nggak apa-apa," ucap putriku lagi dengan senyum mengembang di wajahnya. "Qilla serius??" Aku bangkit dari kursi dan melangkah mendekati gadis kecil yang masih berdiri di ambang pintu. Wajah mungil itu masih tetap tersenyum dengan penuh kepasrahan, yang membuat hatiku seketika haru.Ya Allah, ternyata bayi kecil yang kutimang-timang dulu sudah bertumbuh sedewasa ini. Air mataku luruh sambil kudekap tubuh mungil putriku. Jika dia sanggup berpisah dariku, maka artinya aku juga harus sanggup meninggalkannya."Mama kok malah nangis? Kan Aqilla udah izinin Mama kerja ke kota, ikut Om Farid." Mendengar ucapan putriku, aku segera menyeka air mata dengan ujung jilbab yang kupakai. "Mama nggak nangis kok, Sayang. Mata Mama kemasukan debu kayaknya."Sekeras mungkin aku menyembunyikan kesedihan, putriku tampaknya begitu paham dengan apa yang terjadi. Mungkin, karena apa yang telah terjadi pada kami membuat putriku berpikiran kritis, dan kuakui
"Bisa-bisanya Farid membawamu ke sini dan menjadikan kamu karyawan. Tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung menjadikanmu desainer interior yang seharusnya pekerjaan itu untuk orang-orang profesional yang berpendidikan tinggi! Sedangkan kamu apa?! Cuma lulusan SMP! Kalau cuman SMP sih, seharusnya cuma jadi OB." Seorang perempuan yang tidak kukenal memberiku beberapa kalimat pedas.Ya, dia menghinaku yang hanya lulusan SMP ini. Sabar, Kanaya ... sabar. "Maaf, Mbak. Saya mau permisi kembali ke ruangan." Meskipun nyeri menusuk ke ulu hati, aku tetap membalas perempuan itu dengan berusaha tersenyum."Sombong banget kamu! Aku belum selesai ngomong ini!" teriaknya lagi dengan suara menggema memenuhi lorong. Entah siapa dia, aku tidak kenal. Yang kutahu, dia memiliki kedengkian terhadapku. Ya Allah ... kuatkan hamba. Tiba di ruangan, ternyata Farid sudah menunggu. Dia tersenyum ketika melihatku masuk dan segera memberitahukan tujuannya. Beberapa sampel furnitur yang akan kami beli ad
"Kamu tahu dari mana?" tanya Farid dengan serius. Mungkin saat ini di benaknya sedang menebak-nebak. "Nggak perlu tahu dari mana, tapi kenapa kamu nggak jujur sama aku?" Pria itu menghela napas dalam-dalam. "Iya, maaf. Awalnya aku mau jujur, tapi melihat keadaanmu Aku jadi tidak nyaman. Aku cuma nggak mau kamu semakin merasa rendah diri. Saat aku ajak kamu untuk ikut kerja aja kamu gitu, minder-minder karena hanya lulusan SMP.""Oh, jadi maksudmu Aku terlihat semenyedihkan itu? Sampai-sampai aku akan iri melihat keberhasilan teman sendiri?" Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran pria ini. Farid segera mengelak. "Nggak, nggak. Maksudku enggak gitu, Kan. Aku cuma pengen nolong kamu tanpa kamu tahu posisiku di perusahaan."Dengan penuh semangat, Farid mengisahkan kisahnya membangun perusahaan. Bermula dari sebuah kontrakan kecil yang dibelikan orang tua, dia memulai usaha dengan hanya bermodalkan laptop tua dan ide-ide cemerlang. Setiap hari, dia bekerja hingga larut malam, menelusuri
"Maafkan aku, Kan. Aku nggak tahu kalau kamu kamu berhenti ternyata karena Novita." Farid berkata dengan penuh keseriusan.Apa dia tahu tentang Novita yang menghinaku di hari pertama kerja?"Aku sudah memecat Novita dari kantor. Jadi, kamu bisa kembali bekerja. Kamu nggak usah khawatir lagi tentang karyawan lain, mereka sudah kuberi tahu alasanku memasukkan kamu sebagai karyawan karena kamu layak, bukan karena hal lain," jelas Farid lagi yang membuatku terkejut. "Kenapa Novita harus kamu pecat? Seharusnya tidak perlu sampai begitu." Bukankah, Novita adalah tunangannya? Atau mungkin Farid tidak ingin Novita terlalu capek sehingga menyuruhnya duduk manis di rumah. Mendengar ucapanku, Farid malah tertawa kecil. "Santai aja, Kan. Aku memang sudah lama pengen mecat dia, cuma nggak enak aja. Sebenarnya aku masih kasihan sama dia karena bapaknya sakit-sakitan, tapi kali ini aku tidak bisa tinggal diam." Kedua netraku kembali terbelalak. "Jadi, kamu benar-benar memecat tunanganmu hanya k
"Wanita berambut pirang tadi siapa, Kan?" tanya Farid ketika kami sudah kembali ke mobil. Pria itu tidak menoleh ke arahku dan segera menyalakan mesin. Mobil pun perlahan mulai bergerak maju. "Oh, wanita tadi. Dia istri kedua mantan suamiku." Aku menjawab dengan santai, tetapi mampu membuat Farid menoleh seketika. "Maksud kamu?" tanyanya dengan penuh kebingungan. "Iya, aku dan suamiku bercerai karena dia."Farid mulai paham. "Aku pikir kalian bercerai karena ketidakcocokan, tapi ternyata karena ada wanita lain.""Iya, begitulah. Itupun bisa disebut ketidakcocokan, Rid. Karena artinya pria yang dulu bergelar suamiku itu sudah tidak cocok lagi denganku, makanya dia menikahi wanita lain," terangku dengan masih sangat santai. Emosiku sama sekali tidak terpancing meskipun setelah mendapat hinaan dari Jamilah. Semua masalahku sudah kupasrahkan kepada Allah. Bagiku, waktuku menangis karena pria yang berkhianat itu sudah terlalu banyak hingga membuatku sadar bahwa sesakit apa pun luka yan
"Kanaya?"Mas Abi tak henti-henti menatap lekat padaku. Aku yakin dia pasti terkejut dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa bertransformasi menjadi seperti saat ini. "Maaf, apa kalian saling kenal?" tanya Farid seraya berjalan menghampiriku. Matanya tertuju pada Mas Abi, kemudian berpindah padaku. Dengan cepat aku menggeleng. "Enggak, enggak ... sepertinya tuan ini hanya salah orang." "Oh," balas Farid, kemudian kembali menoleh ke arah Mas Abi. "Maklum, Pak. Wajah karyawan saya ini memang pasaran, jadi wajar kalau mirip sama seseorang yang Anda kenal."Mas Abi tampak syok melihat reaksiku yang berlagak tak mengenalinya. Pria itu tersenyum ragu pada Farid. "Iya, dia sangat mirip dengan seseorang yang saya kenal."Farid hanya menanggapi ucapan Mas Abi dengan mengangguk paham. Rapat pun dimulai, dan aku memberikan beberapa contoh desain interior yang kubuat pada mereka. Mas Abi masih terlihat kaku, dan sesekali curi pandang padaku. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini, yang pa
Aku benar-benar terkejut ketika melihat wanita yang menjadi desainer interior di perusahaan besar yang akan bekerja sama dengan kami adalah dia. Melihat hanya sekilas pun aku sudah sangat yakin bahwa wanita itu adalah Kanaya, mantan istri yang telah kusia-siakan dulu. Ya, benar. Dia Kanaya, ibu dari putri kecilku yang entah sekarang sudah sebesar apa, secantik apa dan sepintar apa, aku tidak tahu. Tiga tahun lebih aku melewati hari-hariku tanpa dua wanita yang teramat aku cintai. Oh, tidak. Aku tidak layak berkata seperti itu karena aku sudah melukai hati keduanya. Penyesalan memang selalu datang belakangan, seperti yang kualami saat ini. Hanya karena harta dan kedudukan aku rela melepaskan Kanaya dan putri kami. Jamilah sudah berhasil menggoyahkan imanku hingga hidupku berakhir seperti ini. Jamilah adalah putri tunggal penerus takhta kekayaan keluarganya. Aku tidak tahu mengapa wanita muda yang cantik itu bisa begitu tertarik padaku. Seorang pria beristri yang bekerja di perusaha
Aqilla, Papa kangen banget sama kamu, Nak.... Aku hanya bisa mengatakan itu dalam hati, tanpa pernah mengatakannya secara langsung. Bagaimana akan menyampaikan rasa rindu pada putriku, sementara Mila memblokir semuanya. Wanita itu benar-benar memegang kendali atas seluruh kehidupanku. Dulu aku pernah berusaha mencari Kanaya dan Aqilla di rumah kami dulu, tetapi tidak membuahkan hasil. Rumah kami ternyata sudah dijual oleh Kanaya dan mereka berdua pindah ke desa. Aku sangat kecewa, tetapi aku sadar aku tidak berhak untuk itu, karena semuanya memang salahku. Aku yang sudah membuat mereka menjauh pergi dan menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Waktu terus berlalu hingga tadi siang ketika aku akan bekerja sama dengan salah satu perusahaan kontraktor terbesar di kota ini, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok Kanaya., mantan istri yang sebenarnya hatiku masih sangat berharap kembali bersamanya. Karena saking terkejutnya, hinggau aku tak sengaja memanggilnya, tetapi dia hanya diam dan be