Mahluk buruk rupa itu membawanya ke sebuah tempat di depan sebuah tebing gunung batu yang sangat tinggi dan curam. “Tempat apa ini!” bentak Panji Jagat geram karena merasa dibohongi dan mencengkerang belakang leher mahluk itu. “Sabar, Tuan Pendekar, biarkan saja melakukan sesuatu dulu.” Panji Jagat melepaskan cengkeramannya. Mahluk itu menatapnya sekilas dengan wajah gugup, sebelum merapalkan sebuah mantra. Tiba-tiba dinding batu di hadapan mereka bergeser ke samping. Ternyata itu sebuah pintu gua yang sangat luas. Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Macan Tutul, langsung melangkah dan memasuki ruangan gua itu. Begitu ia telah berada di dalam, pintu gua batu itu bergeser kembali dan menutp mulut gua rapat-rapat. Tak ada rasa takut sedikit pun di wajag Panji Jagat. Justru ia dibuat terkagum-kagum oleh ruangan gua yang bergitu luas dan dihiasi oleh berbagai ribuan batu permata yang berwarna warni yang memancarkan berbagai warna cahaya. Cahaya-cahaya itula
“Baiklah, Kebo Ireng, aku akan membebaskanmu dengan sebuah syarat,” kata Panji Jagat. “Apakah syarat itu?” tanya Kebo Ireng. “Sini, mendekatlah di hadapanku.” Wajah si raja sihir itu terlihat sedikit ragu untuk mendekat, karena ia mengira pemuda sakti itu akan memusnahkannya. “Ke sini, Kebo Ireng. Jika aku mau menghancurkanmu aku tak perlu menyuruhmu untuk mendekatiku. Dalam jarak jauh pun aku bisa melakukannya.” Mendengar ucapan Panji Jagat itu, Kebo Ireng langsung mengikuti perintah itu dan duduk bersila di hadapannya. Belum begitu mapan Kebo Ireng dengan duduk bersilanya, Panji Jagat langsung memukul dadanya itu dengan menggunakan tapak tangan kanannya. Spontan mahluk dari jenis manusia itu langsung menjerit kepanasan. Gua terasa bergetar oleh suaranya. Namun sesaat kemudian rasa panas itu tiba-tiba berhenti dan hilang yang membuatnya juga berhenti berteriak. “Apa yang baru kamu lakukan terhadapku, Bocah Sakti?” tanya Kebo Ireng dengan waj
Sengatan tawon api yang sangat beracun itu telah melumpuhkan saraf otaknya dan mengacaukan aliran darah ke bagian itu tersumbat yang menyebabkan pembuluh darahnya pecah. Lalu tak menunggu waktu lama, sang putra mahkota itu kejang-kejang cukup lama sebelum meregang nyawa. Dan dahsyatnya, wajah jenazah putra mahkota seketika berwarna biru. Melihat kondisi anaknya yang tewas dengan cara yang sangat mudah dan mengenaskan seperti itu, sontak membuat Prabu Nata dan permaisuri langsung menangis meraung-rauh karena tak mampu menahan duka lara yang teramat dalam di hatinya. Belahan jiwa dan pewaris mereka s satu-satunya telah tewas tanpa bisa ditolong sedikit pun. Pada saat Prabu Nata dan permaisurinya terus menangisi jenazah anaknya sembari tak lepas menatap wajah sang buah hati, warna membiru terus bergerak ke bagian bawah tubuh anaknya. Dan tiba-tiba dari sudut mata jenazah sang putra melesat keluar seekor tawon berwarna merah menyala dengan suaranya yang mendengung khas
Panji Jagat alias Pangeran Sandaka bukan menjawab pertanyaan Prabu Nala, melainkan mengeluargan gerungan panjang sebagai cetusan amarahnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan. Dengan gerakannya yang sangat cepat ia langsung berikan beberapa totokan di beberapa bagian tubuh Prabu Nala, sehingga manusia yang sangat licik itu langsung lemas dan tak mampu menggerakkan tubuhnya. Laki-laki itu tak ubahnya sebagai seorang yang menderita kelumpuhan. Hanya matanya yang masih bergerak liar dan mulutnya yang sekali-sekali membentak dan mengacam. “Heh manusia licik dan rendah!” bentak Panji Jagat, “Kamu bertanya siapa aku, baiklah, aku akan menjawabnya. Ini aku katakan agar kamu tidak mati penasaran. Dengarkan baik-baik. Aku adalah Pangeran Sandaka, putra dari Prabu Kertadana Adijaya yang telah kamu bunuh secara licik. Pangeran Prabaswari ini adalah adikku, dan Biung Dewi yang kamu rasukkan penyakit ke dalam tubuhnya melalui jasa seorang tukang sihirmu, adalah biungku! Dulu k
Di bawah kepemimpinan Prabu Kertabhumi Adijaya alias Pangeran Sandaka alias Panji Jagat, dalam waktu beberapa tahun saja Kerajaan Gundala mampu menapak ke arah puncak masa keajayaannya. Kemakmuran, ketentraman, serta keadilan benar-benar telah dirasakan oleh segenap rakyat. Pertanian dan peternakan tumbuh dengan pesat, begitu pun di dunia perdagangan. Untuk urusan antar kerajaan, Kerajaan Gundala melakukan hubungan dengan berbagai kerajaan, sehingga hubungan perdagangan antar negeri pun berjalan lancar. Ketika usia kepemimpinannya memasuki tahun kelima, Prabu Kertabhumi Adijaya kedatangan seseorang yang sangat dikenang dan dirindukannya. Ia adalah sang guru, Ki Raksa Jagat. Beliau tidak datang sendiri, melainkan ditemani oleh dua orang muridnya, yaitu Karta dan Golong, adik seperguruannya sendiri. Kehadiran sang guru dan kedua adik seperguruannya itu membuat sang prabu sangat senang. Pelukan erat penuh kerinduan terjadi di antara keempatnya. “Maafkan Ananda,
Panji Jagat atau Prabu Kertabhumi Adijaya terbangun saat dirasakan wajahnya ditimpa oleh sinar matahari. Ternyata matahari memang sudah naik ke sepertiga bola langit di arah terbitnya. “Ya Tuhan, lelap sekali tidurku,” gumamnya sembari bangun dan menghalangi sinar matahari yang masuk ke matanya dengan tangannya. Pandangannya diarahkan ke arah bawah, ke hamparan persawahan yang cukup luas. Tampaknya persawahan itu belum lama dipanen, sehingga yang terlihat adalah batang-batang padi yang tak berbulir lagi. Selanjutnya pandangan mata Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi diarahkan ke sebuah pondok di tengah persawahan yang tadi malam dilihatnya ada nyala apinya. Ia melihat dari pondok itu mengepulkan asap dan terlihat seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan kegiatan di sekitar pondok. Mungkin keduanya adalah suami istri. Lalu sesaat kemudian terlihat seorang laki-laki muda. Mungkin ia adalah anak laki-laki dari sepasang suami istri itu. Panji Jagat menebarka
“Jadi Angger Panji ini berasal dari Kerajaan Gundala Brajanegara yang sedang melakukan pengembaraan?” tanya Ki Martani saat mereka menikmati lezatnya daging rusa yang dimasak dengan kuat dan juga dibakar siang itu di beranda dangau. Nyi Utari rupanya seorang pengolah makanan yang hebat. Panji Jagat pun sangat menikmati hasil olahannya itu. “Benar sekali, Ki,” sahut Panji Jagat. “Semalam saya tiba di atas punggung bukit itu, tapi sudah hampir larut malam. Saya melihat ke bawah sini dan melihat di dangau ini ada nyala apinya? Dan herannya, yang saya lihat hanya dangau ini yang terlihat kelap-kelip nyala apinya.” “Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya. Iya benar, Ngger, hanya kami saja yang tinggal di kawasan persawahan ini,” sahut Nyi Utari pula sembari menambahkan daging kuah ke dalam mangkuk yang terbuat dari gerabah. “Lantas mengapa AnggerPanji tidak langsung turun dan tidur di sini? Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya, jadi sangat bu
Terenyuh sekaligus geram hati Panji Jagat mendengar cerita laki-laki yang malang di depannya. “Lalu dangau dan sawah yang Ki Martani tanami dan jaga ini milik siapa?” “Ini milik saudara laki-laki saya, Ngger. Dia seorang perwira di kerajaan. Dia menyerahkan kepada saya untuk menggarapnya.” “Saudara laki-laki Ki Martani seorang perwira kerajaan? Mengapa dia tak turun tangan untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh Ki Martani?” “Pastinya dia sangat ingin melakukannya,” sahut Ki Martani sembari menyelesaikan makanannya. “Tapi dia tak memiliki kuasa apa pun, kendati ia seorang perwira kerajaan. Sementara Ki Lurah Arga Seta masih merupakan kerabat istana. Tentu raja akan membela trahnya sendiri. Salah-salah saudara saya justru mendapat masalah. Raja kami bukanlah seorang raja yang adil dan bijaksana, Ngger.” Kendati dirinya juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar, namun Panji Jagat belum begitu paham dan kenal tentang kerajaan-kerajaan lain beriku