Tanpa berpikir panjang Jalu pun melesat menuju titik pertarungan yang terjadi. Dia merasa Dharmawangsa membutuhkan bantuannya untuk segera menghabisi kedua lawan. "Apa kalian berdua tidak memiliki rasa malu sehingga sampai bermain keroyokan?" ejek Jalu selepas berada di dekat mereka bertiga yang masih bertarung sengit. Pertarungan itupun terhenti seketika. Ageng Wicaksono dan Nyi Saraswati menoleh ke belakang. Keduanya melihat sesosok lelaki muda berwajah tampan yang tengah menatap tajam. Nyi Saraswati mendengus. Sengaja dia melihat ke arah pertarungan para bawahannya yang ternyata sudah berakhir. Dan pendekar muda yang saat ini berada di dekat dirinya dan Ageng Wicaksono pastilah sudah menghabisi semua anggotanya Namun yang membuatnya heran, dia tidak merasakan adanya sedikitpun energi yang merembes keluar dari tubuh pemuda tersebut. Apakah dirinya yang tidak bisa merasakan, atau karena memang pemuda itu tidak memiliki tenaga dalam. Tapi jika tidak memiliki energi tenaga dalam
Nyi Saraswati terpental balik belasan langkah. Beruntung dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya hingga tidak sampai bergulingan di tanah. Kelopak matanya menyipit menatap kepulan asap hasil pertemuan dua energi yang menutupi pandangan. Rahangnya mengeras dengan genggaman tangan yang kuat di gagang tongkat hijaunya. Serasa sulit dipercaya jika dirinya sampai harus terpental balik cukup jauh ketika posisinya yang dalam keadaan menyerang. Logikanya, lawanlah yang minimal harus terdorong mundur, sebab dirinya sudah mengeluarkan sebagian besar tenaga dalamnya untuk sesegera mungkin bisa mengalahkan lawannya kali ini. Rasa penasarannya perlahan menjadi senyuman, ketika dia tidak merasakan adanya energi sedikitpun dari lawannya. 'Apa mungkin dia sudah tewas?' batin Nyi Saraswati bertanya-tanya. Dalam posisi masih tetap menatap kepulan asap yang tak kunjung menghilang, Nyi Saraswati melangkah maju. Namun, baru tiga langkah kakinya terayun, angin yang cukup kencang berhembus dan membawa k
Nyi Saraswati terpental balik belasan langkah. Beruntung dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya hingga tidak sampai bergulingan di tanah. Kelopak matanya menyipit menatap kepulan asap hasil pertemuan dua energi yang menutupi pandangan. Rahangnya mengeras dengan genggaman tangan yang kuat di gagang tongkat hijaunya. Serasa sulit dipercaya jika dirinya sampai harus terpental balik cukup jauh ketika posisinya yang dalam keadaan menyerang. Logikanya, lawanlah yang minimal harus terdorong mundur, sebab dirinya sudah mengeluarkan sebagian besar tenaga dalamnya untuk sesegera mungkin bisa mengalahkan lawannya kali ini. Rasa penasarannya perlahan menjadi senyuman, ketika dia tidak merasakan adanya energi sedikitpun dari lawannya. 'Apa mungkin dia sudah tewas?' batin Nyi Saraswati bertanya-tanya. Dalam posisi masih tetap menatap kepulan asap yang tak kunjung menghilang, Nyi Saraswati melangkah maju. Namun, baru tiga langkah kakinya terayun, angin yang cukup kencang berhembus dan membawa k
Kebingungan Nyi Saraswati semakin menjadi-jadi, tatkala ia melihat pertarungan yang terjadi antara Dharmawangsa melawan Ageng Wicaksono ternyata masih berlangsung seru. Bahkan Dharmawangsa sudah berhasil merebut Pedang Perak dari tangan Ageng Wicaksono dan mulai bisa mengendalikan pertarungan. Wanita ketua perguruan Lembah Ular yang sudah kehilangan cukup banyak tenaga dalam itu lantas merasakan adanya energi yang datang. Dan benar saja, ketika dia menoleh pandangannya, sosok pendekar muda yang menjadi lawannya telah melesat dengan kecepatan tinggi. Pendekar wanita yang harus berjuang sendiri membesarkan perguruan Lembah Ular pasca ditinggal mati suaminya itu lantas mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Ia merasa sudah saatnya untuk menggunakan jurus pamungkas yang belum sempat digunakannya selama pertarungan berlangsung. Dalam waktu relatif singkat, aura pekat berwarna hijau tua mengepul tebal keluar dari pori-pori di sekujur tubuh wanita tua itu. Tongkatnya yang kaku dan terpot
Nyi Saraswati terkesiap. Refleksnya bekerja untuk menghindari ujung pedang yang sesaat lagi menembus batang lehernya. Namun rupanya pergerakan wanita tua itu terlambat sepersekian detik. Ujung Pedang Halilintar sudah menembus kerongkongannya hingga keluar dari belakang. Aaaakh! Pekikan menyayat hati keluar dari mulut Nyi Saraswati yang seketika bercucuran darah. Kedua bola mata Ketua perguruan Lembah Ular itu membelalak lebar menatap Dewa kematian yang tersenyum menyeringai ke arahnya. "Selamat datang di alam keabadian!" Jalu berucap pelan, kemudian menarik bilah pedangnya hingga lepas dari leher Nyi Saraswati. Wanita berjuluk Pendekar Ular Hijau itu tubuhnya terhuyung-huyung sambil kedua tangan memegangi lehernya yang sudah bersimbah darah. Untuk sesaat dia masih sempat berpikir jika pendekar muda yang berhasil membuatnya mengalami sakaratul maut itu kelak akan menguasai dunia persilatan. Tarikan napas Nyi Saraswati terasa berat akibat saluran pernapasannya yang terhambat darah
Dharmawangsa merasa kagum dengan ketahanan tubuh Jalu yang mampu menahan efek racun milik Nyi Saraswati. Meski tidak tahu persis jenis racun apa yang ada di dalam tubuh Jalu, tapi dia sudah bisa memperkirakan berapa daya dan kekuatan racun tersebut. Itu dia lihat dari pucatnya wajah Jalu, serta munculnya beberapa urat berwarna hijau di wajah pemuda tampan tersebut. Tidak ingin Jalu berjuang sendirian melawan racun yang bersarang di tubuhnya, Dharmawangsa pun mencoba mengalirkan energinya untuk membantu mengeluarkan racun tersebut. Namun yang terjadi membuatnya sampai mengernyitkan dahi. "Tidak mungkin! Pasti ada yang salah." Dharmawangsa penasaran, sebab ternyata tubuh Jalu menolak energi yang dialirkannya, dan itu jelas membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Bagaimana mungkin tubuh pendekar muda yang telah membuat heboh dunia persilatan itu tidak mau menerima aliran energi miliknya. Bukan Dharmawangsa namanya jika menyerah begitu saja. Untuk yang kedua kalinya dia mengalirkan l
"Kakek, maafkan aku harus pergi dari sini. Masih banyak tugas yang harus kulakukan untuk menyatukan dunia persilatan," ucapnya dalam hati. Sementara itu di sebuah penginapan. Ayu Wulandari tampak uring-uringan di dalam kamar yang disewanya. Gadis cantik itu marah karena tiba-tiba saja Jalu pergi tanpa berpamitan kepadanya. Kalaupun Jalu pamit, dia tidak akan pernah membiarkan pemuda yang sudah membuat jatuh cinta itu pergi meninggalkannya. Pintu kamar tiba-tiba terketuk dari luar. Ayu Wulandari yang masih dikuasai emosi enggan bangkit untuk membukakan pintu. "Nak Ayu, ini Paman Darmono." Terdengar suara Darmono yang berada di depan pintu kamar. Gadis cantik itu bangkit dengan rasa malas. Dia berjalan menuju pintu begitu terdengar suara Darmono yang memanggil namanya. "Ada apa, Paman?" "Nak Ayu, ayo kita lanjutkan perjalanan pulang. Kereta kudanya sudah siap," balas Darmono. Sebelum Jalu kembali, kita tidak akan pulang, Paman!" sahut Ayu Wulandari ketua. "Tapi, Nak, ibumu bisa
Suara tapak kaki kuda yang menghentak tanah terdengar jelas meninggalkan debu berterbangan mengepul tebal. Sang pemimpin yang tertinggal di belakang menyeringai lebar membayangkan hasil besar pekerjaan anak buahnya. Desa yang kali ini menjadi sasaran kebiadaban mereka itu merupakan kawasan strategis dan ramai. Pendatang keluar masuk silih berganti setiap waktu. Beberapa penginapan kecil dan besar selalu terisi, terutama di musim-musim panen. Bukan tanpa sebab desa bernama Sukamakmur itu ramai, posisinya yang diapit dua kadipaten besar dan terletak di tengah-tengah hutan luas menjadi penyebabnya. Dari satu kadipaten ke kadipaten lainnya bisa memakan waktu dua hari dua malam perjalanan, dan desa Sukamakmur selalu menjadi tujuan untuk menginap dari pada kemalaman di dalam hutan. Begitu mereka memasuki gapura desa, situasi terlihat sangat lengang dan benar-benar sepi. Tidak ada aktifitas sama sekali yang bisa tertangkap oleh mata setiap anggota gerombolan perampok tersebut. Tampaknya