Nyi Saraswati terkesiap. Refleksnya bekerja untuk menghindari ujung pedang yang sesaat lagi menembus batang lehernya. Namun rupanya pergerakan wanita tua itu terlambat sepersekian detik. Ujung Pedang Halilintar sudah menembus kerongkongannya hingga keluar dari belakang. Aaaakh! Pekikan menyayat hati keluar dari mulut Nyi Saraswati yang seketika bercucuran darah. Kedua bola mata Ketua perguruan Lembah Ular itu membelalak lebar menatap Dewa kematian yang tersenyum menyeringai ke arahnya. "Selamat datang di alam keabadian!" Jalu berucap pelan, kemudian menarik bilah pedangnya hingga lepas dari leher Nyi Saraswati. Wanita berjuluk Pendekar Ular Hijau itu tubuhnya terhuyung-huyung sambil kedua tangan memegangi lehernya yang sudah bersimbah darah. Untuk sesaat dia masih sempat berpikir jika pendekar muda yang berhasil membuatnya mengalami sakaratul maut itu kelak akan menguasai dunia persilatan. Tarikan napas Nyi Saraswati terasa berat akibat saluran pernapasannya yang terhambat darah
Dharmawangsa merasa kagum dengan ketahanan tubuh Jalu yang mampu menahan efek racun milik Nyi Saraswati. Meski tidak tahu persis jenis racun apa yang ada di dalam tubuh Jalu, tapi dia sudah bisa memperkirakan berapa daya dan kekuatan racun tersebut. Itu dia lihat dari pucatnya wajah Jalu, serta munculnya beberapa urat berwarna hijau di wajah pemuda tampan tersebut. Tidak ingin Jalu berjuang sendirian melawan racun yang bersarang di tubuhnya, Dharmawangsa pun mencoba mengalirkan energinya untuk membantu mengeluarkan racun tersebut. Namun yang terjadi membuatnya sampai mengernyitkan dahi. "Tidak mungkin! Pasti ada yang salah." Dharmawangsa penasaran, sebab ternyata tubuh Jalu menolak energi yang dialirkannya, dan itu jelas membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Bagaimana mungkin tubuh pendekar muda yang telah membuat heboh dunia persilatan itu tidak mau menerima aliran energi miliknya. Bukan Dharmawangsa namanya jika menyerah begitu saja. Untuk yang kedua kalinya dia mengalirkan l
"Kakek, maafkan aku harus pergi dari sini. Masih banyak tugas yang harus kulakukan untuk menyatukan dunia persilatan," ucapnya dalam hati. Sementara itu di sebuah penginapan. Ayu Wulandari tampak uring-uringan di dalam kamar yang disewanya. Gadis cantik itu marah karena tiba-tiba saja Jalu pergi tanpa berpamitan kepadanya. Kalaupun Jalu pamit, dia tidak akan pernah membiarkan pemuda yang sudah membuat jatuh cinta itu pergi meninggalkannya. Pintu kamar tiba-tiba terketuk dari luar. Ayu Wulandari yang masih dikuasai emosi enggan bangkit untuk membukakan pintu. "Nak Ayu, ini Paman Darmono." Terdengar suara Darmono yang berada di depan pintu kamar. Gadis cantik itu bangkit dengan rasa malas. Dia berjalan menuju pintu begitu terdengar suara Darmono yang memanggil namanya. "Ada apa, Paman?" "Nak Ayu, ayo kita lanjutkan perjalanan pulang. Kereta kudanya sudah siap," balas Darmono. Sebelum Jalu kembali, kita tidak akan pulang, Paman!" sahut Ayu Wulandari ketua. "Tapi, Nak, ibumu bisa
Suara tapak kaki kuda yang menghentak tanah terdengar jelas meninggalkan debu berterbangan mengepul tebal. Sang pemimpin yang tertinggal di belakang menyeringai lebar membayangkan hasil besar pekerjaan anak buahnya. Desa yang kali ini menjadi sasaran kebiadaban mereka itu merupakan kawasan strategis dan ramai. Pendatang keluar masuk silih berganti setiap waktu. Beberapa penginapan kecil dan besar selalu terisi, terutama di musim-musim panen. Bukan tanpa sebab desa bernama Sukamakmur itu ramai, posisinya yang diapit dua kadipaten besar dan terletak di tengah-tengah hutan luas menjadi penyebabnya. Dari satu kadipaten ke kadipaten lainnya bisa memakan waktu dua hari dua malam perjalanan, dan desa Sukamakmur selalu menjadi tujuan untuk menginap dari pada kemalaman di dalam hutan. Begitu mereka memasuki gapura desa, situasi terlihat sangat lengang dan benar-benar sepi. Tidak ada aktifitas sama sekali yang bisa tertangkap oleh mata setiap anggota gerombolan perampok tersebut. Tampaknya
Pikiran Ayu Wulandari dihantui ketakutan yang teramat kuat. Saat ini yang dia butuhkan hanyalah kehadiran Jalu untuk menyelamatkannya dari musibah. "Nak Ayu, jangan bengong saja, ayo kita pergi dari sini!" tutur Darmono, membuyarkan kebekuan Ayu Wulandari. "Ba-baik, Paman. Aku kemasi barang-barangku dulu." "Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera pergi dari desa ini, Nak Ayu!" sahut Darmono sedikit kesal. Dalam keadaan genting seperti saat ini, tidak sepatutnya Ayu Wulandari memikirkan barang-barang yang masih bisa dicari penggantinya. Tanpa berpikir panjang, Darmono bergegas melangkah pergi. Ayu Wulandari mengikuti langkah lelaki setengah baya itu di belakang. Keduanya memasang mata lebar-lebar untuk mengawasi keadaan di depan. Sesampainya di pintu keluar penginapan, Darmono melongok untuk melihat situasi di luar. Jantungnya berdetak kencang selepas melihat dua orang anggota perampok yang sedang mendobrak pintu sebuah rumah di dekat penginapan. Jarak rumah itu sendiri dengan p
Suara lelaki bertubuh tinggi besar itu begitu keras terdengar hingga jarak puluhan meter. Semua anggota gerombolan perampok yang mendengar seketika mengarahkan pandangan kepadanya, sebelum beralih menuju Darmono dan Ayu Wulandari yang berlari menjauh menuju pintu keluar desa. Lebih dari dua puluh anggota bergegas berlarian mengejar. Ayunan langkah mereka yang cepat dan serempak menimbulkan debu berterbangan dan tertinggal di belakang. Mau tidak mau mereka harus bisa menangkap dua manusia yang berusaha kabur, dari pada mendapatkan hukuman berat dari pemimpin mereka jika gagal.Mendapati pelarian mereka berdua diketahui gerombolan perampok, Darmono dan Ayu Wulandari pun panik setengah mati. Keduanya berusaha mempercepat laju larinya dengan tujuan agar tidak terkejar. Namun perbedaan fisik antara pria dan wanita tentu jelas adanya. Terlebih Ayu Wulandari hanyalah gadis manja yang bahkan hampir tidak pernah berlari hingga 17 tahun usianya saat ini. Gadis cantik itu tidak bisa berlari le
Seusai meletakkan tubuh Ayu Wulandari, tubuh Darmono yang perlahan melemah "Mati kau!" Tidak puas dengan tusukan pedangnya yang sudah menembus punggung Darmono, lelaki itu kali ini memberi tebasan ke arah leher Darmono. Aaaakh! Jeritan tertahan meluncur keluar dari bibir lelaki setengah baya itu sebelum tubuhnya tumbang menghujam tanah. Luka menganga di leher bekas tebasan pedang tampak mengalirkan darah segar yang seketika membasahi tanah. "Cepat bawa gadis itu. Jangan sampai kulitnya lecet sedikitpun!" Terdengar erintah datang dari salah satu anggota senior. Dua anggota yang masih junior bergerak maju mendekati tubuh Ayu Wulandari lalu mengangkatnya. Sementara itu di dalam desa, lebih dari dua ratus penduduk serta pendatang sudah dikumpulkan di tengah jalanan. Tua muda, lelaki maupun wanita, mereka semua dipaksa berlutut dengan todongan pedang yang siap mencabik-cabik tubuh jika berani melakukan perlawanan. Meski unggul secara jumlah, tapi jumlah penduduk lelaki yang totalnya
"Kalian hanya mencari mati!" cetus sang Pemimpin perampok yang bahkan tidak sampai mengeluarkan keringat ketika beberapa penduduk berusaha menyerangnya. Sambil menebaskan pedang besarnya, senyum kekejian terus tercetak di bibirnya. Satu persatu penduduk desa bertumbangan. Darah dari luka-luka terbuka membuat jalanan yang menjadi lokasi pertempuran tak seimbang itu memerah. Jerit tangis kaum hawa tidak terelakkan lagi melihat suami, saudara, bapak, dan anak mereka bertumbangan gugur bermandikan darah. Benar-benar sebuah pembantaian yang sangat kejam sedang mereka saksikan. Sebenarnya jika orang-orang kejam tersebut hanya gerombolan perampok biasa, mungkin masih ada sedikit keseimbangan meski penduduk melawan tanpa senjata. Namun karena gerombolan perampok itu berasal dari sebuah perguruan aliran hitam, maka ketimpangan jelas sangat terlihat. Dua ratus laki-laki penduduk desa yang melakukan perlawanan itu berkurang sangat cepat. Tak sampai setengah jam, habis sudah kaum Adam desa te