Tubuh ini membeku di tempat, nafas mendadak berhembus tak karuan."Mah, itu Ayah ..." Dila menarik ujung bajuku. "Ada Nenek, Hanum juga." Dila berlari menuju pagar rumah, berhamburan memeluk, Ayahnya."Dila kangen, Yah." Mas Rudi menggendong, Dila. Memeluknya dengan erat."Ayah juga sayang ..." Mas Rudi menghujani ciuman di pipi dan kepala anaknya. Bisa aku lihat, mata Mas Rudi memerah berkaca-kaca."Emm ... cucu cantiknya, Nenek." Ibu Mas Rudi ikut mencium gemas pipi anakku.Aku lihat, mantan Ibu mertua tersenyum kikuk berjalan kearahku kedua tangannya membawa paperbag besar."Assalamuallaikum ..." salam Ibu Hanum, mengiringi langkahnya."Waalaikumsallam," aku menjawab dengan suara pelan."Rissa sehat?" Ibu Hanum menyapa dengan senyum ramah. Aku langsung mencium tangannya, saat jarak kami sudah sangat dekat.Aah ... mengapa aku sangat tegang. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri."Hem? Rissa sehat?" Ibu Hanum mengulang pertanyaan. Tangannya menggenggam jemariku dengan e
"Riss ... aku ingin rujuk.""Aku ingin menikah ..." aku berbalik badan menyela kalimatnya.Mas Rudi terperangah, menatap tak percaya, detik berikutnya bibir itu tertarik terkulum senyum."Iya, Riss. Secepatnya kita akan menikah." langkahnya lebar mendekatiku."Hahh?" aku memandang tak percaya. Percaya diri sekali dia."Aku memang ingin menikah, tapi ... bukan denganmu." Mas Rudi mengkerutkan kening. Aku mengangkat tangan, menunjukan cincin berlian pemberian calon suamiku."Ma-ksud mu?" Mas Rudi terlihat bingung."Sembilan hari lagi ... aku akan menikah dengan oranglain." tegasku. Mas Rudi menggelengkan kepala, matanya memerah dan berkabut."Ka-mu sudah mempunyai calon?" ucapnya terbata. Aku mengangguk tegas."Ya. Aku sudah punya." jawabku."Kenapa secepat itu. Kita baru bercerai satu tahun, kenapa secepat itu, kamu mencari penggantiku." cercanya seolah tak percaya dengan kata-kataku."Kamu bercanda'kan?" matanya menatap dengan lekat. "Kamu masih sakit hati padaku?" cecarnya semakin me
Hati berdebar-debar, telapak tangan seperti memegang bongkahan es. Aku mencoba menenangkan diri, menarik nafas panjang dari hidung, mengeluarkan perlahan melalui mulut.Benda pipih aku tengok hampir setiap detik, jantung ini berdetak seolah keluar dari tempatnya."Kenapa, Neng? Kok wajahnya panik begitu?" Bik Narti menyentuh pundakku."Paman, Mahmud, apa sudah datang, Bik?" tanyaku sambil mencoba menghubunginya.Sanking banyaknya pikiran, aku sampai lupa menghunginya Adik dari, Bapak. Kalau bukan dia, siapa lagi yang akan menjadi wali untuk pernikahanku."Pasti datang, Neng. Pak Mahmud, kan sudah di hubungi dua hari sebelum pernikahan." Bik Narti menenangkan. Aku kembali menarik nafas, mengingat tanpa wali perempuan, pernikahan tidak akan sah. Kepalaku jadi berputar, khawatir Paman tidak datang.Jarak dari rumah, Paman ke kotaku memakan waktu tiga jam. Semoga tidak ada halangan suatu apapun."Ini sudah jam 07:00, supir Mas Bagas, sudah datang, Neng." ujar Bik Narti."Kita tunggu, samp
"Ayah ... sini." Dila berteriak dengan senyum mengembang, melambaikan tangan pada Mas Rudi.Semua keluarga, Mas Bagas kompak menoleh kearah, Dila, lalu menoleh kearah, Mas Rudi bergantian."Sini, sayang ..." aku yang masih terpaku, di tarik lembut oleh, Mas Bagas, kembali menaiki singgasana pelaminan."Aku, aku tidak mengundangnya." aku berkata gugup. Mas Bagas tersenyum, sambil menganggukkan kepalanya."Tidak apa. Aku yang mengundang," ucap Mas Bagas, berhasil membuatku terpana."Tidak apa. Dia tidak akan berbuat macam-macam." Mas Bagas mengusap tanganku."Tapi, keluargamu--" aku tak lagi meneruskan kata, saat Mas Bagas menganggukkan kepalanya."Ayah kesini?" Dila berlari kecil menuju, Ayahnya."Iya, sayang." jawab Mas Rudi, tangannya membelai kepala Dila dengan lembut, lalu menggendonnya. Mas Rudi, berjalan mendekat menaiki tangga pelaminan.Mas Rudi tersenyum canggung, matanya merah menatap wajahku dengan lekat."Ehm ..." Mas Bagas berdehem kecil, membuat pandangan itu langsung ber
Pov Rudi.Aku menatap lesu deretan tubuh yang berjejer di atas tikar, sesekali menarik nafas panjang agar sedikit mengurai rasa sesak di dalam sanubari.Waktu menunjukan pukul 02:02. Pelan aku beranjak dari kasur tipis berseprai lusuh, menuju toilet kotor yang ada di sudut ruangan.Ruang dengan ukuran 7x5 meter persegi, dengan sepuluh kepala di dalamnya.Rasa sesaknya jangan di tanya, apa lagi rasa bau dan sumpeknya. Namun karna kesalahan, mau tak mau aku harus menjalaninya.Setelah mengucap, Basmallah ... aku membasahi kedua telapak tangan, mensucikan diri.Hampir satu bulan, rutin mengerjakan sholat malam. Kehidupan mulai terasa lapang, nafas berangsur lega.Hidup serba dalam pengawasan, membuat aku sangat frustasi. Apalagi saat pertama kali menginjakkan kaki di lapas ini. Neraka Dunia, benar-benar aku rasakan.Hampir setiap hari, ada saja yang mencari gara-gara dan berakhir dengan tanda merah kebiruan yang tertinggal di wajah serta tubuh ini.Rasa dendam dan marah begitu menumpuk u
Mataku menatap datar gambar seorang laki-laki bertubuh atletis, dengan seorang wanita cantik di sampingnya. Desir amarah mulai tersulut saat aku melihat lembar demi lembar gambar dengan berbagai pose menjijikan.Ah ... suamiku. Meski usiamu sudah memasuki kepala empat, kau memang masih terlihat gagah dengan wajah yang begitu rupawan.Sementara wanita di sampingnya, terlihat masih muda berparas cantik dengan tubuh sexy menggairahkan. Sungguh pasangan yang sangat ideal, rasanya aku ingin mengabadikan mereka dalam peti dingin berdinding kaca."Namanya Hella Larasati, dia sudah bekerja selama dua tahun diperusahaan Tuan Mahesa," jelas Jordy. Pegawai sekaligus orang kepercayaanku.Menghela nafas berat, kuhempas lembaran gambar terkutuk itu diatas meja.Detak jantung kini bergenderang, tanganku mengepal kuat menahan amarah yang menggolak-golak di dalam dada. Kepala sampai ujung kaki ini terasa dingin membeku, hanya hati yang panas sebab rasa cemburu yang membara, mengobarkan api yang siap m
Matahari telah menjungjung tinggi, ada kehampaan di sanubari saat mengedarkan pandang kesetiap sudut rumah. Anak-anak sudah pergi bersekolah, pun dengan Mas Mahesa yang sejak pagi sudah berangkat menuju kantor.Memandangi pantulan diri didepan cermin besar yang ada dilemari, tubuhku masih terjaga dan menarik dengan wajah putih bersih terawat tanpa celah. Usiaku dan Mas Mahesa terpaut lima tahun, dia lebih tua dariku. Banyak yang bilang, kami adalah pasangan serasi yang penuh dengan keharmonisan dan kebahagiaan.Setiap mengingat gambar menjijikan itu, hati ini selalu bergemuruh. Rasanya ingin kulahap habis, perempuan yang berani mengusik kebahagiaanku.{Menurut informasi, Hella adalah perusak rumah tangga Kakak nya sendiri. Dia bahkan pernah menjadi simpanan Om-Om dan pernah di permalukan dimuka umum.}Pesan dari Jordy membuatku ternganga, itu berarti bukan hal baru dia memacari suami orang?Dan lagi ... dia, tidak pandang bulu dalam mencari mangsa?Cih ... seleramu bahkan murahan seka
Wajah, Hella merah padam menahan malu sekaligus amarah. Aku tersenyum manis, sesekali melirik kearah Mas Mahesa yang masih diam terpaku ditempatnya.Mungkin suamiku bingung, harus bagaimana. Mau membela disini banyak staffnya, Hella beberapa kali menatap kearahnya. Sepertinya ingin mendapat pembelaan dari Mas Mahesa.Tiba-tiba aku terkekeh, sambil menutup mulut."Hanya bercanda, jangan terlalu di ambil hati, mana mungkin seorang perempuan cantik seperti kamu mau jadi simpanan laki-laki yang sudah beristri," seruku sambil tersenyum lepas."I-iya Buk ..." sahutnya.Hella menghela nafas, dia ikut terkekeh melihatku yang masih menertawakan ucapanku sendiri."Sudah saya permisi dulu," suamiku bangkit dari duduknya. Aku melirik kearah Vani, dia seperti tidak suka melihat, Hella. Matanya terus saja menyorot, Hella dengan sinis. Sementara yang dilirik terlihat cuek, dan keluar dari ruangan."Van ....""Eh ... iya Buk," Vani berjalan kearahku."Ada apa ya Buk?" tanyanya saat sudah dekat."Tida