Dengan mesra, Jaya menuntun langkah Hella memasuki kantor KUA. Senyum manis selalu terukir dibibir tebal, Jaya. Menggambarkan suasana hati yang teramat bahagia.Sementara Hella, langkahnya terasa berat. Jantung memompa lebih cepat, ingin sekali menepis tangan bandot tua dihadapannya dan lari sejauh mungkin, namun kewarasan lebih dulu menyerang pikiran, terlebih saat pandangannya menyorot netra, Hamdan yang ada didekapannya.Nyesss!Hati begitu jelimet, sakit luar biasa hingga sekujur tubuh terasa lemas.Namun ... Hella bisa apa?Apa yang dia lakukan selain menurut?Kehidupan Hamdan jauh lebih penting dari pada harga diri, dan perasaannya. Hella tidak ingin akibat keegoisannya, Hamdan terkena dampaknya. Seperti kejadian kemarin.Dengan langkah berat, Hella mengikuti langkah Jaya. Wajah terutama matanya menjadi panas, saat melihat didalam sudah banyak orang berkumpul menunggu kedatangan mereka."Nah ... ini dia pengantinnya." sambut laki-laki setengah baya dengan senyum lebar. Meregangk
Rumah sederhana berwarna biru langit dengan halaman yang lumayan luas, terhampar tanaman hias beraneka ragam bunga membuat siapapun yang memandang merasa nyaman. Hella yang masih setengah sadar mengedarkan pandangan, bola matanya ke kiri dan kanan menelusuri setiap sudut halaman.Jaya, sang suami sedang menuntun langkahnya. Dibantu dengan beberapa orang yang tadi hadir diacara sakral mereka."Duduk disini ya, La. Istirahat saja, jangan banyak pikiran." ujar Jaya sambil menduduki tubuh Hella di atas sofa yang masih terbungkus plastik.Tanpa menunggu jawaban, Jaya langsung keluar, menemui rekannya yang ada diteras rumah."Kita tinggal tidak apa-apa kan?" samar suara percakapan Jaya dan rekan-rekannya terdengar. Hella yang sedang duduk beristirahat didalam, hanya diam dengan mata jelalatan mengitari setiap sudut rumah."Lumayan ..." desis batin, Hella. Tanpa sadar senyum tipis tersemat di bibirnya."Iya, tidak masalah. Makasih ya, sudah repot-repot bantuin ane." ujar Jaya dengan senyum l
Wisnu dan Ika saling berpandangan, saat mendapati Id-card Jaya yang ada dibawah kaki, Ika."Sudah diangkat jemurannya, Ka ...."Suara Hanum terdengar diluar kamar, tak lama Hanum sudah berdiri tepat didepan pintu dengan kening yang menaut kencang."Cepat ambil, Mas." ujar Ika sambil mengatupkan rahang."Kenapa, Ka?" "Eh, I-bu ..." Ika tergagap, matanya melirik cemas kearah Wisnu."Ada apa, kok pada tegang begitu?" ujar Hanum sambil melangkah masuk, membuat Ika semakin membeku ditempat."Aduh ..." Wisnu sengaja menjatuhkan keranjang cucian, dengan cepat tangannya mengambil Id-card lalu mengantunginya disaku celana."Hati-hati, Nu. Dikeranjang ada seragam Bapak, yang sudah disetrika nanti berantakan lagi." ujar Hanum sambil berjongkok, memunguti pakaian yang berjatuhan."Eh iya. Maaf, Buk. Tidak sengaja." sahut Wisnu sambil meringis, menyamarkan kepanikan."K-ok Ibu tidak makan?" ujar Ika dengan jantung bertalu-talu."Si Adek nangis itu, minta asi kayanya, Ka. Sudah lama kan dia tidurn
Braaaakkk!!"Astagfirulloh ... Dek! Istigfar." Wisnu segera turun dari motor, mencekal kuat tangan Ika."Awas kamu, Mas. Jangan halangi aku!!" sentak Ika, tak terima. Wisnu tak menggubris, membawa tubuh Ika kesamping rumah."Minggir kamu, Mas! Apaan sih!" sentak Ika sambil mencoba melepas cekalan dilengannya, matanya melotot marah menatap Wisnu."Iya. Tapi kamu mau ngapain?" jawab Wisnu mencoba tenang."Aku mau hajar, dia. Beraninya membohongi Ibu!" dengkus Ika begitu murka."Sabar, tenang dulu. Jangan terbawa emosi." bisik Wisnu saat mendengar suara Hanum dari dalam rumah."Pikirkan kesehatan, Ibu. Ingat bagaimana terpuruknya kamu saat tahu, Mas mu ini selingkuh?" Ika mendongkak, menatap nyalang netra suaminya."Jangan sampai karna masalah yang belum tentu jelas ini, Ibu dan Bapak jadi berantem. Kamu nanti yang disalahin." ujar Wisnu. Nafas Ika yang semula tersenggal, berangsur pelan. Ucapan Wisnu, sepertinya sudah dicerna dengan baik."Tapi, Mas ... kasihan Ibu," lirih Ika dengan ma
"Hayokk ... Bapak kemana satu minggu ini," ujar Wisnu dengan suara berbisik.Jaya tergagap ditempat, belum sempat dia berjalan mendekat bermaksud ingin bernegoisasi, suara Hanum terdengar ada dibelakangnya membuat Jaya terbelalak dengan jantung yang bergenderang."Maksudnya, Id-card itu kemarin ada di rumah?" Hanum menatap lekat, sorotnya penuh tanda tanya.Jaya bergeming, seulas senyum berusaha dia sematkan demi menghalau kegugupan. Sementara, Wisnu tersenyum sinis, menunggu jawaban sang mertua."Ya en-ggak lah, Buk." ujar Jaya terbata sambil meraih cepat Id-card yang ada ditangan Wisnu."Kamu salah dengar kali," sambung Jaya sambil menegakkan badan, mencantelkan Id-card dikantung bajunya."Salah dengar? Masa iya?" Hanum terlihat bingung, menggaruk tengkuk lehernya. Pasalnya dia baru saja keluar, tidak terlalu menyimak pembicaraan suami dan menantunya."Iyalah ... ini tadi ada di dalam keranjang Id-card nya. Sepertinya Bapak lupa ambil Id-card dikantung seragam, jadi langsung dimasu
"Aku tunggu!"Tanpa salam, Hella langsung memutuskan sambungan. Jaya begitu terharu, senyum lebar tersemat begitu saja di bibirnya.***OfdWaktu menunjukan pukul empat sore, tak lama bel pulang pun terdengar memenuhi seluruh ruangan pabrik.Waktu terasa cepat sekali berlalu, mood besar mendapat telepon dari Hella. Pekerjaan yang tadinya melelahkan, menjadi ringan begitu saja.Aahh ... dasar cinta. Kasmaran, Pak Jaya, melebihi kasmarannya anak muda.Sungguh menggelikan.Jaya menghempaskan bobotnya diatas tumpukan barang, merogoh saku celana untuk mengecek layar di ponselnya.Mata Jaya melebar, satu pesan gambar beserta caption diterima dari, Hella."Duh ... jadi tidak sabar mau pulang." gumam Jaya dengan jantung dag-dig-dug serrrrr ... saat melihat foto Hella yang menggunakan baju sexy berwarna gelap.{Jangan lupa, obat ku4t nya, Masku sayang.}Aish ... makin kembang-kempis saja hidung, Jaya bermekaran.Hella benar-benar menunggunya, Jaya sangat bahagia. Rasanya seperti ada bunga-bunga
"Bapak belum pulang, Buk?" tanya Ika, saat melihat Hanum masih duduk diruang televisi."Belum." jawab Hanum dengan nafas panjang. "Bapakmu kemana sih, Ka. Sudah malam begini belum pulang." sambungnya cemas.Hanum melirik jam dinding dengan gusar, waktu menunjukan pukul sebelas malam."Emang, Bapak tidak ngasih kabar?" Ika menduduki sofa, yang ada diseberang Hanum."Tadi sore sih bilangnya ada masalah pengiriman. Tapi berkali-kali Ibu telepon, nomernya tidak activ." sahut Hanum dengan mata fokus menatap layar yang menampilkan sedang menhubungi nomer, Jaya."Sampai sekarang masih tidak activ juga." Hanum menaruh gawai diatas meja dengan tangan lemas."Sudah, tidak usah dipikirkan. Aku yakin, Bapak baik-baik saja." ujar Ika dengan hati begitu kesal.Pikiran buruknya semakin nyata, berkali Ika mengatupkan rahang demi menahan emosi didalam dada."Ibu masuk saja, Bapak jangan dipikirin." dengkus Ika sambil bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar dengan gigi bergeletuk.Kesal luar biasa, me
"Ibu sakit apa? Sampai Pak Jaya cuti selama itu, biasanya Pak Jaya orang yang paling rajin. Saya salut sama beliau, rela menghabiskan waktu cuti demi menjaga Ibu."Jantung Hanum berdentam-dentam, tangannya memegangi dada mendengar penjelasan security dihadapannya."Tidak mungkin ..." lirih Hanum dengan suara parau."Ayok, Buk. Pulang ..." pelan, tangan Wisnu terulur menuju, Hanum. Hati Wisnu berkedut ngilu, melihat Hanum yang semakin pucat."Buk ...""Diam kamu!" sentak Hanum dengan mata memerah. Wisnu terlonjak, tidak menyangka Hanum meninggikan suaranya.Dodi, menatap Wisnu dan Hanum bergantian. Sorotnya memandang penuh tanda tanya. Wisnu mengangkat bahu, menatap iba, Ibu mertuanya."Bisa, saya minta tolong?" lirih Hanum dengan sorot nanar, menatap Dodi yang kini keheranan."Minta tolong apa, Buk?" tanya Dodi hati-hati. Dia menyadari, ada yang tidak beres pada Hanum."Panggilkan, Jaya kesini sekarang. Saya ingin bertemu." ujar Hanum datar.Hanum berusaha tegar, tidak ingin meluapkan