"Ibu sakit apa? Sampai Pak Jaya cuti selama itu, biasanya Pak Jaya orang yang paling rajin. Saya salut sama beliau, rela menghabiskan waktu cuti demi menjaga Ibu."Jantung Hanum berdentam-dentam, tangannya memegangi dada mendengar penjelasan security dihadapannya."Tidak mungkin ..." lirih Hanum dengan suara parau."Ayok, Buk. Pulang ..." pelan, tangan Wisnu terulur menuju, Hanum. Hati Wisnu berkedut ngilu, melihat Hanum yang semakin pucat."Buk ...""Diam kamu!" sentak Hanum dengan mata memerah. Wisnu terlonjak, tidak menyangka Hanum meninggikan suaranya.Dodi, menatap Wisnu dan Hanum bergantian. Sorotnya memandang penuh tanda tanya. Wisnu mengangkat bahu, menatap iba, Ibu mertuanya."Bisa, saya minta tolong?" lirih Hanum dengan sorot nanar, menatap Dodi yang kini keheranan."Minta tolong apa, Buk?" tanya Dodi hati-hati. Dia menyadari, ada yang tidak beres pada Hanum."Panggilkan, Jaya kesini sekarang. Saya ingin bertemu." ujar Hanum datar.Hanum berusaha tegar, tidak ingin meluapkan
"Gimana, Buk?" Wisnu menatap lekat menunggu jawaban mertuanya."Ibu jangan percaya begitu saja, sebelum melihat kebenarannya." sambung Wisnu, seolah tahu isi hati Hanum.Hanum menatap ragu, tanpa sadar kepalanya mengangguk dengan pelan."Iya." jawab Hanum kemudian.Wisnu mengangguk tegas, segera ditandaskan minumannya lalu kembali menaiki motor. Berbeda dengan, Wisnu yang begitu semangat, Hanum malah sebaliknya. Mengingat harus kerumah Yu Darminah, tentu saja hatinya menolak untuk kesana. Namun, ucapan Jaya tidak bisa ditelan bulat begitu saja. Semua harus ada bukti, agar semua jelas tidak ada yang mengganjal didalam hati mau pun pikiran."Jauh dari sini, Buk?" tanya, Wisnu memecah kesunyian."Dekat, lewati rel kereta, rumahnya tidak jauh dari situ." jawab, Hanum dengan tatapan gusar melihat jalanan.Hati begitu gelisah, khawatir ucapan suaminya hanya semu semata."Dimana, Buk?" tanya Wisnu saat memasuki gang sempit."Lurus saja, nanti ada musolah. Rumah dia di sampingnya." jawab Hanu
"Mas ..." lirih Ika saat Wisnu mendekatinya. Wisnu hanya bisa menarik, Ika kedalam pelukan. Mencoba menenangkan tanpa suara."Huhuhu ..." Ika menangis tersedu, merasakan sakit dan perihnya hati sang Ibu. Ika ikut hancur, sangat kecewa dengan kebohongan yang tercipta dari mulut Bapaknya."Ka-sihan, Ibu." Ika tergugu pilu, membuat hati Wisnu ikut terenyuh."Sabar ya, jangan menangis. Tuh si Dedek ikut nangis kan." ujar Wisnu saat mendengar suara tangis bayinya dari dalam kamar."Bapak jahat, Mas. Tega ..." Ika masih tersedu-sedu."Kita belum tahu, Bapak pergi kemana. Nanti Mas coba selidiki." Wisnu mengusap lembut rambut istrinya."Kemana lagi, Mas. Bapak pasti punya simpenan. Huhuhu ..." tangis Ika kembali pecah, dada terasa terhimpit batu besar, terasa sakit dan menyesakkan.Wisnu hanya bisa menenangkan, membiarkan Ika menangis dipelukan."Mas, janji. Tidak akan pernah menyakiti kamu lagi, Dek." lirih Wisnu dalam hati yang begitu ngilu.***Ofd.Hanum terpaku menatap jendela yang terbu
Pagi yang padat dikantor Polisi, petugas lalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Laki-laki berwajah lesu dengan sorot layu bersandar pada tembok lusuh, sedang menatap kosong sibuknya para petugas. Kebebasan yang terbatas, membuat dirinya benar-benar putus asa."Huh ... kapan ini berakhir." lirihnya gamang sambil menundukkan wajah yang sedikit babak belur.Ada kepedihan yang tergambar diwajah kusamnya, ada penyesalan dan rasa bersalah yang kini hinggap didalam sanubari."Tahanan, Rudi. Ada yang menjenguk." suara nyaring petugas, membuat Rudi menoleh. Dia langsung bangkit dari duduk bersandarnya, lalu berjalan menuju pintu besi."Siapa?" tanya Rudi dengan wajah datar.Petugas bernama Ryan tidak langsung menjawab, menatap sengit lalu mencondongkan wajah kearah Rudi."Mantan istri," bisiknya dengan senyum mengejek. Rudi menatap tajam, tangannya mengepal dengan kuat."Tarik nafas dulu, biar kuat menghadapi kenyataan." sambung Ryan disertai kekehan. Rudi tidak menjawab, hanya mene
"Kesalahanmu tidak bisa dimaafkan. Aku lebih baik menjadi janda sampai mati, dari pada harus balik sama laki-laki rendahan sepertimu!"Rudi diam terpaku, sorot mata Rissa yang begitu tajam mengisyaratkan luka yang begitu dalam. Membuat hatinya hancur, dengan seribu penyesalan."Ma-af," gumaman hanya bisa didengar sendiri olehnya, suara bagai tercekat ditenggorokan.Teringat pengkhianatannya, Rudi sadar, kesalahannya memang benar-benar sangat fatal.Andai, Rudi tidak tergoda oleh nikmat sesaat.Andai dia bisa menahan diri ....Andai waktu dapat berputar kembali.Tentu saja Rudi tidak akan pernah menyakiti, perasaan Rissa.Namun semua sudah terjadi. Kehancuran yang kini menimpa, membuat Rudi sangat menyesal dengan segala keterpurukan.Hati begitu nelangsa, kenangan Indah yang pernah tercipta menari-nari di kepala.Keluarga yang begitu penuh keceriaan dan ketenangan. Membuat tubuh itu bergetar, menahan tangis yang ingin meledak.Rudi kalah, dia mengaku salah, namun tentu saja semua sudah
"Saya duluan ..." Bagas menekan klakson, melambaikan tangan kearah, Rissa."Oke, hati-hati ya." jawab Rissa dengan senyum cerah. Bagas mengangguk, menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya.Samar, terlihat semu di pipi, Bagas."Huuft ..." Bagas melepas nafas panjang, entah mengapa setiap kali Rissa menatapnya lekat, debaran di dalam dada seolah tidak terkendali.Rissa tersenyum senang, dipandangnya dengan lega surat dari pengadilan Agama dengan hati haru yang membuncah."Alhamdulillah ..." ucap Rissa penuh syukur dan perasaan begitu lapang.Rissa segera mengayunkan langkah, masuk kedalam mobil lalu menghidupkan mesin dan melajukannya menuju rumah.Tanpa diketahui, sepasang mata sayu tengah memperhatikan, Rissa dari jauh sejak tadi. Hatinya berkedut sakit, melepas cinta yang sudah dia koyak dengan keji."Semoga kamu bahagia, Mah ..." lirih Rudi dengan mata merah berkaca-kaca. Hatinya benar-benar sakit, melihat Rissa yang terlihat senang saat menerima keputusan dari Hakim."Aku memang
"Loh, Ibu ikut?" Ika terpogoh-pogoh keluar pagar sambil menggendong, Bayu."Iya. Ibu mau lihat sendiri. Lembur kemana, Bapakmu selama ini." tegas Hanum.Wisnu dan Ika saling berpandangan, gurat kecemasan terpancar jelas diwajah Ika."Tapi, Buk--""Ayok cepat. Nanti kehilangan jejak!" titah Hanum, tidak memperdulikan, Ika."I-bu yakin?" tanya Wisnu ragu."Kurang yakin gimana?" mata Hanum melotot."Oh i-ya, Buk." jawab Wisnu cepat."Dek, tolong ambilkan helm." titah Wisnu pada istrinya. Ika berdecak, wajahnya sangat cemas."Cepat, Ka. Lama banget!" timpal Hanum, tak sabar."Iya." jawab Ika lemas, lalu melangkah menuju rak sepatu yang beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan helm."Hati-hati, Mas." ujar Ika seraya menyerahkan helm pada, Ibunya."Ayok, Nu. Jangan sampai lolos!" titah Hanum sambil memakai helm."Sudah siap, Buk?" "Sudah!" jawab Hanum.Ika menganggukkan kepala, Wisnu pun melajukan kendaraan dengan hati tak menentu."Tuh, kan. Hilang?" gerutu Hanum dengan mata awas, mencar
Mendengar suara keributan, dan jerit tangis dari luar, membuat Jaya memakai pakaiannya dengan cepat.Namun belum beres, Jaya memakai celananya pintu kamar sudah terbuka dengan lebar."I--bu ..." lirih Jaya dengan nafas tersenggal dan mata terbelalak."SETTTAAAANNN!!" jerit, Hanum begitu histeris. Melihat sang suami hanya menggunakan kaus oblong juga celana kolor di dalam kamar.Seperti ada ribuan pedang yang menghunus jantung, rasanya begitu sakit hingga meluluh lantakan seluruh jiwa."Buk, tenang, Buk. Tenang ..." Jaya mencoba bernegoisasi. Ketar-ketir, khawatir istrinya berbuat nekat."Kurang ajar kamu, Pak! Binatang!!" Hanum berhamburan menuju, Jaya, memukuli tubuh gemuk suaminya dengan seluruh kekuatan membab1 buta.Bugh ... bugh!"Tenang, Buk, tenang!" Jaya kembali bersuara, membuat Hanum semakin kesetanan."Iblis, koe, Pak. Kelakuanmu percis binatang!" gelegar, Hanum, kedua tangannya terangkat, meraih leher Jaya, menancapkan kuku dengan sangat kencang."Aduh! Sakit, Buk. Jangan