"Saya duluan ..." Bagas menekan klakson, melambaikan tangan kearah, Rissa."Oke, hati-hati ya." jawab Rissa dengan senyum cerah. Bagas mengangguk, menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya.Samar, terlihat semu di pipi, Bagas."Huuft ..." Bagas melepas nafas panjang, entah mengapa setiap kali Rissa menatapnya lekat, debaran di dalam dada seolah tidak terkendali.Rissa tersenyum senang, dipandangnya dengan lega surat dari pengadilan Agama dengan hati haru yang membuncah."Alhamdulillah ..." ucap Rissa penuh syukur dan perasaan begitu lapang.Rissa segera mengayunkan langkah, masuk kedalam mobil lalu menghidupkan mesin dan melajukannya menuju rumah.Tanpa diketahui, sepasang mata sayu tengah memperhatikan, Rissa dari jauh sejak tadi. Hatinya berkedut sakit, melepas cinta yang sudah dia koyak dengan keji."Semoga kamu bahagia, Mah ..." lirih Rudi dengan mata merah berkaca-kaca. Hatinya benar-benar sakit, melihat Rissa yang terlihat senang saat menerima keputusan dari Hakim."Aku memang
"Loh, Ibu ikut?" Ika terpogoh-pogoh keluar pagar sambil menggendong, Bayu."Iya. Ibu mau lihat sendiri. Lembur kemana, Bapakmu selama ini." tegas Hanum.Wisnu dan Ika saling berpandangan, gurat kecemasan terpancar jelas diwajah Ika."Tapi, Buk--""Ayok cepat. Nanti kehilangan jejak!" titah Hanum, tidak memperdulikan, Ika."I-bu yakin?" tanya Wisnu ragu."Kurang yakin gimana?" mata Hanum melotot."Oh i-ya, Buk." jawab Wisnu cepat."Dek, tolong ambilkan helm." titah Wisnu pada istrinya. Ika berdecak, wajahnya sangat cemas."Cepat, Ka. Lama banget!" timpal Hanum, tak sabar."Iya." jawab Ika lemas, lalu melangkah menuju rak sepatu yang beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan helm."Hati-hati, Mas." ujar Ika seraya menyerahkan helm pada, Ibunya."Ayok, Nu. Jangan sampai lolos!" titah Hanum sambil memakai helm."Sudah siap, Buk?" "Sudah!" jawab Hanum.Ika menganggukkan kepala, Wisnu pun melajukan kendaraan dengan hati tak menentu."Tuh, kan. Hilang?" gerutu Hanum dengan mata awas, mencar
Mendengar suara keributan, dan jerit tangis dari luar, membuat Jaya memakai pakaiannya dengan cepat.Namun belum beres, Jaya memakai celananya pintu kamar sudah terbuka dengan lebar."I--bu ..." lirih Jaya dengan nafas tersenggal dan mata terbelalak."SETTTAAAANNN!!" jerit, Hanum begitu histeris. Melihat sang suami hanya menggunakan kaus oblong juga celana kolor di dalam kamar.Seperti ada ribuan pedang yang menghunus jantung, rasanya begitu sakit hingga meluluh lantakan seluruh jiwa."Buk, tenang, Buk. Tenang ..." Jaya mencoba bernegoisasi. Ketar-ketir, khawatir istrinya berbuat nekat."Kurang ajar kamu, Pak! Binatang!!" Hanum berhamburan menuju, Jaya, memukuli tubuh gemuk suaminya dengan seluruh kekuatan membab1 buta.Bugh ... bugh!"Tenang, Buk, tenang!" Jaya kembali bersuara, membuat Hanum semakin kesetanan."Iblis, koe, Pak. Kelakuanmu percis binatang!" gelegar, Hanum, kedua tangannya terangkat, meraih leher Jaya, menancapkan kuku dengan sangat kencang."Aduh! Sakit, Buk. Jangan
"Ayok, Nu! Kita pergi. Bantu Ibu melempar baju bandot itu ke jalanan!" ujar Hanum tegas, lalu melangkah pergi.Para tetangga yang melihat menatap prihatin, setelah Hanum dan Wisnu keluar dari rumah. Kini tatapan jijik mengarah pada, Hella."Mbak Hella--" Nining membuka suara.Sebelum mendengar omongan buruk, gegas Hella berjalan menunduk memasuki kamar belakang, tanpa peduli dengan tatapan yang masih menghujaninya dengan penuh benci dan tanda tanya."Sssuuttt, berisik ya, Dek." ujar Hella sambil menenangkan anaknya. Hamdan masih menangis menjerit-jerit, sebab terlalu lama didiamkan.Hella menarik nafas, sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah berdenyut perih saat dia mengeluarkan suara.Hati gelisah, merasa rumah yang tadinya aman tentram kini porak-poranda akibat ulah, Hanum.Padahal, Hella sudah sangat nyaman dengan kehidupannya saat ini. Selain Jaya yang selalu memenuhi segala ke inginannya, para tetangga dilingkungan ini sangat ramah dan baik padanya.Tapi saat ini, para te
Ika menatap sedih, pandangannya tertuju pada Hanum yang diam mematung di depan televisi.Televisi dibiarkan menyala, namun Hanum bergeming dengan pandangan kosong. Sudah lima hari, Jaya tidak kembali pulang. Lima hari pula di habiskan, Hanum dengan merenung sendirian.Hanum seperti orang linglung, hanya diam, bahkan saat di ajak bicara sekali pun.Di atas meja, terlihat sarapan yang di sediakan Ika masih utuh tidak tersentuh."Pulang, Mbak. Kasihan, Ibu ..." lirih Ika dengan suara sendu di sambungan telepon."Ibu kenapa?" tanya suara perempuan di balik telepon dengan cemas."Ibu sakit. Pulang, Mbak ..." jawab Ika sesegukan."Mbak tidak bisa janji--""Jangan bilang tidak ada ongkos, apa harus menunggu Ibu mati dulu, baru Mbak Vira mau pulang kerumah?" jerit Ika tak sabar.Vira tercenung, hati dan matanya terasa panas mendengar ucapan, Adiknya."Iya, Mbak pulang." lirih Vira, sambil menutup sambungan.Ika memejamkan mata, di rapalnya beberapa kalimat Tuhan, untuk menenangkan sekaligus m
"Ayok, Buk. Kok malah melamun." ujar Wisnu sambil melepas helm."I-ya." jawab Hanum gugup.Entah mengapa, mata dan hatinya sudah terasa panas. Padahal, Hanum belum bertemu dengan, Rudi."Ayok ..," Wisnu memberi jalan agar, Hanum lebih dulu didepannya. Hanum mengangguk, menegakkan badan, lalu berjalan pasti memasuki kantor Polisi."Tunggu disini, Buk." titah Wisnu sambil melangkah mendahului menuju meja Polisi. Hanum sudah tidak tenang, berkali dia mengatur nafas untuk menghalau kegugupan."Ayok," ajak Wisnu seraya memasuki ruang khusus menjenguk para tahanan."Ibu duduk saja," ujar Wisnu. Hanum hanya manut, duduk dengan tegang menunggu, Rudi."Ibu ..." suara Rudi terdengar, Hanum langsung menoleh, rasa haru langsung menyeruak saat melihat anak lelaki satu-satunya berjalan mendekat."Ru--" suara Hanum tercekat di tenggorokan. "A--lloh ..." bulir bening berlomba-lomba keluar dari sudut matanya."Ibu ..." Rudi langsung menubruk dinding kaca yang menjadi penghalang untuk memeluk Ibunya."
Sementara, Rudi hanya mematung. Dunia nya kembali runtuh dalam sekejap."Ru--di ..." lirih suara, Hanum. Entah kapan dia terbangun. Melihat wajah anak lelakinya begitu pias, membuatnya mengerti tentang apa yang sudah terjadi."Ru--di ..," lagi, Hanum memanggil. Air mata kembali berderai. Hanum terlihat sangat-sangat lemah dan menyedihkan."Buk ..." parau suara, Rudi. Hati begitu perih melihat kondisi, Ibunya."Ba-pak mu." isak Hanum, memegangi dada. Hanum bahkan tidak bisa menggerakkan tubuh saking lemahnya.Rudi tergugu pilu, memegangi tangan Hanum. Tubuhnya bergetar hebat, menyesali segala kebodohannya."Ma-af, Ibu maaf ... ini semua salah, Rudi." cicit Rudi dengan air mata berderai."Hu ... hu. Jalang itu menggoda, Bapakmu, Rud. Huhu." Hanum meracau dengan perasaan begitu kacau."Bapak mu gila, Rud ... huhu.""Jalang itu ... huhu, jalang itu ...."Rudi memeluk tubuh ringkih, Hanum. Dadanya begitu sakit, melihat Hanum yang sangat kepayahan.Rudi sadar diri, dia tidak bisa melakukan
"Mau kemana, Mas?" alis Hella menaut, saat melihat Jaya keluar kamar sambil memakai jaket."Mau pulang dulu," jawab Jaya."Pulang kemana? Rumah kamu kan di sini, Mas?" sahut Hella dengan mata memicing, berpura protes.Mendengar, Jaya yang ingin balik kerumah, Hanum. Tentu saja, Hella senang bukan kepalang.Toh, terlalu lama di rumahnya. Membuat, Hella merasa muak. Tidak bebas bergerak. Emangnya enak setiap hari harus bertemu dengan bandot tua itu?Jaya membuang nafas kasar, tatapannya lekat menatap Hella."Ada masalah yang harus di selesaikan. Nanti, Mas balik ke sini lagi." jawab Jaya."Tidak balik juga, tak masalah. Asal duitnya saja yang balik." jawab Hella dalam hati.Sudah empat belas hari, Jaya tak pulang kerumah Hanum. Tentu saja ada rasa rindu. Ditambah jarak dari kontrakan Hella ketempat kerja yang lumayan jauh. Membuat badan tuanya, sedikit menderita.Setidaknya, Jaya ingin merayu Hanum sampai uang pensiun dan pesangonnya turun. Setelah itu, tentu saja dia akan menghabiskan