Wisnu dan Ika saling berpandangan, saat mendapati Id-card Jaya yang ada dibawah kaki, Ika."Sudah diangkat jemurannya, Ka ...."Suara Hanum terdengar diluar kamar, tak lama Hanum sudah berdiri tepat didepan pintu dengan kening yang menaut kencang."Cepat ambil, Mas." ujar Ika sambil mengatupkan rahang."Kenapa, Ka?" "Eh, I-bu ..." Ika tergagap, matanya melirik cemas kearah Wisnu."Ada apa, kok pada tegang begitu?" ujar Hanum sambil melangkah masuk, membuat Ika semakin membeku ditempat."Aduh ..." Wisnu sengaja menjatuhkan keranjang cucian, dengan cepat tangannya mengambil Id-card lalu mengantunginya disaku celana."Hati-hati, Nu. Dikeranjang ada seragam Bapak, yang sudah disetrika nanti berantakan lagi." ujar Hanum sambil berjongkok, memunguti pakaian yang berjatuhan."Eh iya. Maaf, Buk. Tidak sengaja." sahut Wisnu sambil meringis, menyamarkan kepanikan."K-ok Ibu tidak makan?" ujar Ika dengan jantung bertalu-talu."Si Adek nangis itu, minta asi kayanya, Ka. Sudah lama kan dia tidurn
Braaaakkk!!"Astagfirulloh ... Dek! Istigfar." Wisnu segera turun dari motor, mencekal kuat tangan Ika."Awas kamu, Mas. Jangan halangi aku!!" sentak Ika, tak terima. Wisnu tak menggubris, membawa tubuh Ika kesamping rumah."Minggir kamu, Mas! Apaan sih!" sentak Ika sambil mencoba melepas cekalan dilengannya, matanya melotot marah menatap Wisnu."Iya. Tapi kamu mau ngapain?" jawab Wisnu mencoba tenang."Aku mau hajar, dia. Beraninya membohongi Ibu!" dengkus Ika begitu murka."Sabar, tenang dulu. Jangan terbawa emosi." bisik Wisnu saat mendengar suara Hanum dari dalam rumah."Pikirkan kesehatan, Ibu. Ingat bagaimana terpuruknya kamu saat tahu, Mas mu ini selingkuh?" Ika mendongkak, menatap nyalang netra suaminya."Jangan sampai karna masalah yang belum tentu jelas ini, Ibu dan Bapak jadi berantem. Kamu nanti yang disalahin." ujar Wisnu. Nafas Ika yang semula tersenggal, berangsur pelan. Ucapan Wisnu, sepertinya sudah dicerna dengan baik."Tapi, Mas ... kasihan Ibu," lirih Ika dengan ma
"Hayokk ... Bapak kemana satu minggu ini," ujar Wisnu dengan suara berbisik.Jaya tergagap ditempat, belum sempat dia berjalan mendekat bermaksud ingin bernegoisasi, suara Hanum terdengar ada dibelakangnya membuat Jaya terbelalak dengan jantung yang bergenderang."Maksudnya, Id-card itu kemarin ada di rumah?" Hanum menatap lekat, sorotnya penuh tanda tanya.Jaya bergeming, seulas senyum berusaha dia sematkan demi menghalau kegugupan. Sementara, Wisnu tersenyum sinis, menunggu jawaban sang mertua."Ya en-ggak lah, Buk." ujar Jaya terbata sambil meraih cepat Id-card yang ada ditangan Wisnu."Kamu salah dengar kali," sambung Jaya sambil menegakkan badan, mencantelkan Id-card dikantung bajunya."Salah dengar? Masa iya?" Hanum terlihat bingung, menggaruk tengkuk lehernya. Pasalnya dia baru saja keluar, tidak terlalu menyimak pembicaraan suami dan menantunya."Iyalah ... ini tadi ada di dalam keranjang Id-card nya. Sepertinya Bapak lupa ambil Id-card dikantung seragam, jadi langsung dimasu
"Aku tunggu!"Tanpa salam, Hella langsung memutuskan sambungan. Jaya begitu terharu, senyum lebar tersemat begitu saja di bibirnya.***OfdWaktu menunjukan pukul empat sore, tak lama bel pulang pun terdengar memenuhi seluruh ruangan pabrik.Waktu terasa cepat sekali berlalu, mood besar mendapat telepon dari Hella. Pekerjaan yang tadinya melelahkan, menjadi ringan begitu saja.Aahh ... dasar cinta. Kasmaran, Pak Jaya, melebihi kasmarannya anak muda.Sungguh menggelikan.Jaya menghempaskan bobotnya diatas tumpukan barang, merogoh saku celana untuk mengecek layar di ponselnya.Mata Jaya melebar, satu pesan gambar beserta caption diterima dari, Hella."Duh ... jadi tidak sabar mau pulang." gumam Jaya dengan jantung dag-dig-dug serrrrr ... saat melihat foto Hella yang menggunakan baju sexy berwarna gelap.{Jangan lupa, obat ku4t nya, Masku sayang.}Aish ... makin kembang-kempis saja hidung, Jaya bermekaran.Hella benar-benar menunggunya, Jaya sangat bahagia. Rasanya seperti ada bunga-bunga
"Bapak belum pulang, Buk?" tanya Ika, saat melihat Hanum masih duduk diruang televisi."Belum." jawab Hanum dengan nafas panjang. "Bapakmu kemana sih, Ka. Sudah malam begini belum pulang." sambungnya cemas.Hanum melirik jam dinding dengan gusar, waktu menunjukan pukul sebelas malam."Emang, Bapak tidak ngasih kabar?" Ika menduduki sofa, yang ada diseberang Hanum."Tadi sore sih bilangnya ada masalah pengiriman. Tapi berkali-kali Ibu telepon, nomernya tidak activ." sahut Hanum dengan mata fokus menatap layar yang menampilkan sedang menhubungi nomer, Jaya."Sampai sekarang masih tidak activ juga." Hanum menaruh gawai diatas meja dengan tangan lemas."Sudah, tidak usah dipikirkan. Aku yakin, Bapak baik-baik saja." ujar Ika dengan hati begitu kesal.Pikiran buruknya semakin nyata, berkali Ika mengatupkan rahang demi menahan emosi didalam dada."Ibu masuk saja, Bapak jangan dipikirin." dengkus Ika sambil bangkit dari sofa, berjalan menuju kamar dengan gigi bergeletuk.Kesal luar biasa, me
"Ibu sakit apa? Sampai Pak Jaya cuti selama itu, biasanya Pak Jaya orang yang paling rajin. Saya salut sama beliau, rela menghabiskan waktu cuti demi menjaga Ibu."Jantung Hanum berdentam-dentam, tangannya memegangi dada mendengar penjelasan security dihadapannya."Tidak mungkin ..." lirih Hanum dengan suara parau."Ayok, Buk. Pulang ..." pelan, tangan Wisnu terulur menuju, Hanum. Hati Wisnu berkedut ngilu, melihat Hanum yang semakin pucat."Buk ...""Diam kamu!" sentak Hanum dengan mata memerah. Wisnu terlonjak, tidak menyangka Hanum meninggikan suaranya.Dodi, menatap Wisnu dan Hanum bergantian. Sorotnya memandang penuh tanda tanya. Wisnu mengangkat bahu, menatap iba, Ibu mertuanya."Bisa, saya minta tolong?" lirih Hanum dengan sorot nanar, menatap Dodi yang kini keheranan."Minta tolong apa, Buk?" tanya Dodi hati-hati. Dia menyadari, ada yang tidak beres pada Hanum."Panggilkan, Jaya kesini sekarang. Saya ingin bertemu." ujar Hanum datar.Hanum berusaha tegar, tidak ingin meluapkan
"Gimana, Buk?" Wisnu menatap lekat menunggu jawaban mertuanya."Ibu jangan percaya begitu saja, sebelum melihat kebenarannya." sambung Wisnu, seolah tahu isi hati Hanum.Hanum menatap ragu, tanpa sadar kepalanya mengangguk dengan pelan."Iya." jawab Hanum kemudian.Wisnu mengangguk tegas, segera ditandaskan minumannya lalu kembali menaiki motor. Berbeda dengan, Wisnu yang begitu semangat, Hanum malah sebaliknya. Mengingat harus kerumah Yu Darminah, tentu saja hatinya menolak untuk kesana. Namun, ucapan Jaya tidak bisa ditelan bulat begitu saja. Semua harus ada bukti, agar semua jelas tidak ada yang mengganjal didalam hati mau pun pikiran."Jauh dari sini, Buk?" tanya, Wisnu memecah kesunyian."Dekat, lewati rel kereta, rumahnya tidak jauh dari situ." jawab, Hanum dengan tatapan gusar melihat jalanan.Hati begitu gelisah, khawatir ucapan suaminya hanya semu semata."Dimana, Buk?" tanya Wisnu saat memasuki gang sempit."Lurus saja, nanti ada musolah. Rumah dia di sampingnya." jawab Hanu
"Mas ..." lirih Ika saat Wisnu mendekatinya. Wisnu hanya bisa menarik, Ika kedalam pelukan. Mencoba menenangkan tanpa suara."Huhuhu ..." Ika menangis tersedu, merasakan sakit dan perihnya hati sang Ibu. Ika ikut hancur, sangat kecewa dengan kebohongan yang tercipta dari mulut Bapaknya."Ka-sihan, Ibu." Ika tergugu pilu, membuat hati Wisnu ikut terenyuh."Sabar ya, jangan menangis. Tuh si Dedek ikut nangis kan." ujar Wisnu saat mendengar suara tangis bayinya dari dalam kamar."Bapak jahat, Mas. Tega ..." Ika masih tersedu-sedu."Kita belum tahu, Bapak pergi kemana. Nanti Mas coba selidiki." Wisnu mengusap lembut rambut istrinya."Kemana lagi, Mas. Bapak pasti punya simpenan. Huhuhu ..." tangis Ika kembali pecah, dada terasa terhimpit batu besar, terasa sakit dan menyesakkan.Wisnu hanya bisa menenangkan, membiarkan Ika menangis dipelukan."Mas, janji. Tidak akan pernah menyakiti kamu lagi, Dek." lirih Wisnu dalam hati yang begitu ngilu.***Ofd.Hanum terpaku menatap jendela yang terbu