Aku menatap sebuah undangan di atas meja reseptionis puskesmas rawat inap. Hari ini piket siang yang jamnya sampai malam, dan pasien sedang sepi. Masih terngiang jelas ucapan Restu semalam, menjadikanku lebih pendiam dari biasanya. Godaan dari beberapa rekan yang berbau urusan dewasa hanya aku tanggapi dengan senyum sekadarnya.Undangan dari pihak kecamatan pada petugas puskesmas atas kunjungan bupati yang akan diadakan beberapa hari lagi, membuatku berpikir bimbang. Yang hadir tentu saja mereka yang tidak ada jadwal piket. Namun, bukan masalah itu. Keterangan yang tertera di sana, kepala desa beserta istri, itu yang membuat aku semakin tidak enak. Berharap sekali, saat hari itu tiba, aku yang jadwal piket jaga di puskesmas. Sehingga tidak perlu menghadiri acara tersebut.“Udah malam, Is. Saatnya ganti sift,” ucap Mas Luthfi. Perawat yang berjaga satu sift denganku.“Iya …,” jawabku lemas.“Suami kamu menunggu di luar ….” Bu Ika yang baru datang untuk menggantikanku tiba-tiba berbisik
“Restu tidak pulang semalam. Apa dia bilang mau pergi kemana?” Bapak yang sepertinya ikut memperhatikan keadaan kami, pagi ini bertanya. “Iya. Aku menyuruhnya ke rumah orang tuanya semalam. Karena aku pulang terlambat. Takut bila bingung tidak ada aku …,” jawabku berbohong. “Mata kamu kenapa sembab?” tanya bapak lagi. “Tidak apa-apa,” jawabku sambil menundukkan kepala memandang nasi yang masih penuh di piring. “Bapak tidak akan memaksa kamu untuk bercerita. Tapi, jika sudah tidak kuat lagi menanggung sebuah beban, maka bapak siap mendengarkan apapun yang ingin kamu ceritakan ….” Aku langsung menangis mendengar sosok yang sangat melindungiku berkata demikian. Bersyukur karena beliau cukup mengerti perasaanku saat ini. Keputusanku sudah bulat. Aku akan pindah ke polindes setelah temanku pindah. Agar bisa menyusun rencana dengan tenang tanpa interogasi dari bapak dan ibu. Siang itu, Restu pulang lebih awal. Sikapnya berbeda. Saat datang membawakanku bakso. Tidak lupa juga untuk bap
Aku masih bersikap baik padanya. Lebih tepatnya berusaha untuk bersikap biasa di hadapan bapak dan ibu.menawari Restu makan, membawa bajunya ke laundry. Hanya sebatas itu saja. Namun, sikapnya agak berbeda. Setiap malam selalu merengek untuk tidur bersamaku.“Kemarilah, kita harus tidur dalam satu kasur. Aku akan mendekapmu agar kamu bisa hangat. Cuaca akhir-akhir ini sangat dingin,” ucapnya saat aku sudah membungkus diri dengan selimut.Ah, sungguh rutinitas yang membosankan. Berharap sekali temanku bisa segera pindah, agar aku pun segera menempati tempat itu.Seperti biasa, aku abai dengan perkataannya. Terlebih kata-kata Restu yang tidak bisa bergairah meski aku dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, membuat diri ini lebih terhina sekali.“Isna, aku bicara sama kamu,” ucapnya lagi.“Diamlah, Restu! Jangan berisik! Ini sudah malam. Aku lelah dan ingin tidur,”“Kenapa sekarang kamu memanggilku dengan hanya sebuah nama. Itu tidak sopan,” celetuknya terdengar kesal.“Yang penting di h
Setelah beres, tangan ini menyambar tas di atas meja rias. Ekor mataku menangkap baju yang diberikan Restu masih teronggok di sana. Sejenak menimbang, apakah akan membawanya atau tidak. Kulihat Restu masih memakai selimut tebal. Jam baru menunjukkan pukul lima pagi. Betapa menderitanya jadi istri Restu, sampai-sampai, hanya untuk menghindari ajakannya, aku harus berangkat di saat embun belum menetes ke tanah. Pikirku. Jaket tebal kupakai untuk menghalau udara dingin di jalan nanti. Melangkahkan kaki keluar, meninggalkan baju kebesaran para istri kepala desa yang akan dipakai mereka untuk menunjukkan jati diri sebagai orang nomer satu di desa masing-masing. Sementara aku, lebih bangga dengan baju warna putihku sebagai identitas seorang bidan. Ini adalah kali pertama aku memberikan pelajaran pada Restu. Akan kulihat bagaimana nanti, dia menahan malu datang dengan tanpa pendamping, sementara istri yang telah disakitinya memilih berada di tempat yang sama dengan peran yang berbeda. Di
Segera. Kualihkan pandangan pada teman-teman pria yang sedang bercanda. Ternyata, Deni sudah terlibat dalam perbincangan yang kelihatannya seru. Sesekali mereka tertawa. Aku jadi pikun, entah berapa lama terlalu menikmati lalu lalang orang, sehingga ketinggalan ikut merumpi.Kesempatan yang bagus! Segera kurapatkan tubuh pada mereka. Berusaha ikut tertawa meski tidak paham apa yang tengah dibicarakan. Hanya ingin agar terlihat asyik di mata Restu. Agar dia tahu, jika di luar, aku punya kehidupan yang menyenangkan.“Kamu apaan sih, Is, ikut tertawa gak jelas gitu?” Deni menyenggol lenganku.“Idih, kenapa, biasanya juga aku gini,”“Ya tapi aneh, ini kamu gak tahu apa yang kami bahas, lho. Kamu malah langsung tertawa gitu, aneh.”“Gak papa, Den, sebelum tertawa dilarang. Sebelum tertawa dikenai pajak. Bener gak, Is?” Mas Adam, perawat senior membelaku.“Aku lihat itu, orang pakai sepatu merah, jilbab merah.” Ah, untuk diriku bisa langsung mendapatkan objek untuk berbincang. Ghibah tentu
“Eh, iya, Mas,” jawabku dengan senyum dipaksakan. “Kok belum pulang?” tanyaku masih dengan nada yang kubuat lembut. “Cieeee, yang akhirnya ketemu ma suami. Nih, aneh, Mas istrimu gak mau ikut bareng katanya nanti gak bisa ghibah,” sahut Deni. Restu menanggapi dengan senyuman yang manis sekali. Senyuman yang hanya tercipta untuk Marwah seorang. “Ayo pulang bersama,” ajaknya seolah kami pasangan yang bahagia. “Aku harus bantu Deni bawa ini ke puskesmas. Kamu pulang dulu saja, ya? Nanti aku menyusul ….” Berkata demikian saat bertatapan dengannya, aku membesarkan bola mata, tanda sebuah ancaman untuk dia menuruti perkataanku. “Aku yang bawakan biar kamu tidak capek ….” Ingin muntah mendengarnya sok perhatian. Namun, demi menjaga harga diri di hadapan Deni yang belum tahu apapun, kepala ini mengangguk pelan. Beda jika Bu Ika yang bersamaku, aku pasti akan bersikap tetap acuh. “Duluan ah, ada pengantin baru mau bersama,” celetuk Deni yang langsung berjalan setengah berlari, meninggalk
POV RESTUIsna telah benar-benar berubah! Itu yang aku lihat. Sikapnya semakin hari semakin cuek saja. Hanya jika di hadapan orang tuanya saja ia bersikap manis. Pencitraan! Nyatanya saat di belakang, ia selalu ketus dan berkata yang membuat hati ini tidak enak.Hari itu, aku melihatnya bersama teman-teman. Dasar perempuan aneh! Aku hendak memberinya tempat yang spesial duduk di kursi tamu undangan yang terhormat, ia malah memilih berkerumun dengan kawan-kawannya. Mengurusi orang-orang yang pingsan. Banyak teman yang bertanya dimana istriku, kenapa tidak ikut? Aku jawab saja, Isna harus bertugas dengan kawan-kawannya dan tidak bisa ditinggalkan. Sekaligus agar mereka tahu, jika istriku adalah seorang bidan PNS. Agar aku terlihat keren. Namun sayang, Isna yang berkali-kali kupandang dengan harapan akan mendekat—untuk memperkenalkannya dengan teman-teman—justru terlihat semakin asyik bercanda dengan para pria. Istri macam apa itu? Pikirku.Gagal sudah rencana hari itu. Kupikir, aku akan
“Jalani saja, tidak usah banyak tanya!”“Kenapa kamu tidak pindah ke desaku? Bukankah seharusnya setelah menikah, kamu pindah ikut aku? Aku seorang kepala desa, Isna. Tidak seharusnya pulang ke sini setiap hari. Warga terkadang juga membutuhkanku saat malam hari. Dan kamu, kamu dibutuhkan mereka juga sebagai seorang ibu desa ….” Ku berucap dengan nada yang aku buat memelas. Berharap Isna akan luluh hatinya.“Lebih tepatnya, aku dibutuhkan oleh Restu untuk mempertahankan posisinya sebagai kepala desa. Itu yang betul. Aku akan pindah ke sana jika ….” Mulutku membuka sempurna. Antara malu dengan bahasanya yang terlalu jujur, juga penasaran dengan syarat yang akan diajukannya.“Jika apa?” refleks aku bertanya.Isna tersenyum, sangat cantik. Mata ini sempat terpana, menyadari jika ia begitu manis. Kedua alisnya dimainkan, membuat sebuah desiran aneh hadir dalam dada ini. Namun, aku berusaha menepis. Karena sebuah janji yang diminta Marwah agar cintaku hanya untuknya.“Jika … jika kamu bisa