Maaf, lama tidak uploud. Habis mengurus anak gadis ikut lomba, disambung ada kegiatan Masa Orientasi pegawai baru dengan tugas yang sangat banyak. Alhamdulillah, sudah selesai. Semoga bisa melanjutkan menulis lagi.
POV RESTUIsna telah benar-benar berubah! Itu yang aku lihat. Sikapnya semakin hari semakin cuek saja. Hanya jika di hadapan orang tuanya saja ia bersikap manis. Pencitraan! Nyatanya saat di belakang, ia selalu ketus dan berkata yang membuat hati ini tidak enak.Hari itu, aku melihatnya bersama teman-teman. Dasar perempuan aneh! Aku hendak memberinya tempat yang spesial duduk di kursi tamu undangan yang terhormat, ia malah memilih berkerumun dengan kawan-kawannya. Mengurusi orang-orang yang pingsan. Banyak teman yang bertanya dimana istriku, kenapa tidak ikut? Aku jawab saja, Isna harus bertugas dengan kawan-kawannya dan tidak bisa ditinggalkan. Sekaligus agar mereka tahu, jika istriku adalah seorang bidan PNS. Agar aku terlihat keren. Namun sayang, Isna yang berkali-kali kupandang dengan harapan akan mendekat—untuk memperkenalkannya dengan teman-teman—justru terlihat semakin asyik bercanda dengan para pria. Istri macam apa itu? Pikirku.Gagal sudah rencana hari itu. Kupikir, aku akan
“Jalani saja, tidak usah banyak tanya!”“Kenapa kamu tidak pindah ke desaku? Bukankah seharusnya setelah menikah, kamu pindah ikut aku? Aku seorang kepala desa, Isna. Tidak seharusnya pulang ke sini setiap hari. Warga terkadang juga membutuhkanku saat malam hari. Dan kamu, kamu dibutuhkan mereka juga sebagai seorang ibu desa ….” Ku berucap dengan nada yang aku buat memelas. Berharap Isna akan luluh hatinya.“Lebih tepatnya, aku dibutuhkan oleh Restu untuk mempertahankan posisinya sebagai kepala desa. Itu yang betul. Aku akan pindah ke sana jika ….” Mulutku membuka sempurna. Antara malu dengan bahasanya yang terlalu jujur, juga penasaran dengan syarat yang akan diajukannya.“Jika apa?” refleks aku bertanya.Isna tersenyum, sangat cantik. Mata ini sempat terpana, menyadari jika ia begitu manis. Kedua alisnya dimainkan, membuat sebuah desiran aneh hadir dalam dada ini. Namun, aku berusaha menepis. Karena sebuah janji yang diminta Marwah agar cintaku hanya untuknya.“Jika … jika kamu bisa
Tenggorokanku mendadak tercekat mendengar apa yang disampaikan oleh Bu Marini. Oh tidak! Aku menemui dia untuk memintanya menikah dengan orang lain? Tentu hal yang sangat menyakitkan. Dan, apa tadi? Marwah disukai anak kyainya? Itu tidak boleh terjadi. Aku saja saat ini masih menjaga kesucianku demi dia. Mengapa dia malah akan didekati orang lain? Batinku menolak tegas.“Mas Restu, apa Mas Restu akan tinggal di desa istrinya untuk selamanya? Itu artinya, kami tidak bisa meminta bantuan Mas Restu lagi. Apalagi jika ….” Bu Marini berhenti berucap. Terlihat ragu.“Jika apa, Bu?” Aku penasaran terus.“Jika Marwah sakit dan kami butuh mobil untuk menjemputnya,” jawab Bu Marini lirih. “Kami seolah tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Keluarga menjauh, seolah cinta Marwah kepada Mas Restu adalah sebuah hal yang dosa besar. Mereka selalu memarahi dan berkata kasar pada kami. Katanya, kami ini tidak tahu diri, kami ini orang miskin yang tidak tahu malu. Bahkan kini, beberapa orang enggan untu
Suatu hari, aku akan menemui Marwah. Aku akan memastikan, apakah hatinya telah berpaling dari aku, atau tidak. Namun, rasanya aku akan malu bila meminta alamat pondok pesantrennya pada Bu Marini. Satu-satunya cara adalah dengan aku tetap di sini, dan berharap Bu Marini sendiri yang akan datang meminta bantuanku. Aku harus pulang dan membujuk Isna agar mau pindah. Gegas, kurapikan semua berkas yang sedari pagi hanya kugelar saja tanpa disentuh. Melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul hampir dua belas siang membuatku berharap Isna sudah ada di rumahnya. Di perjalanan, hatiku terus menimbang-nimbang, apakah aku akan menjenguk Marwah atau tidak. Jika iya, apa alasanku? Atau, aku akan mengajak serta ibu serta adiknya? Dadaku berdebar tidak karuan. Rasa rindu, cemas dan dorongan keinginan untuk ke sana berbaur menjadi satu. Bidadariku sakit ternyata. Tanpa dia tahu, aku pun merasakan sakit luar biasa dalam hati ini. Bedanya, aku bisa bertahan sehingga fisikku masih kuat. Ah, lupa.
“Aku ditakdirkan menikah dengan pria yang tidak mencintai dan tidak menginginkanku. Jadi, aku tidak perlu menuruti apa yang menjadi perintahmu. Tidak usah berbicara beberapa tahun ke depan. Karena saat ini, aku dan kamu belum menjadi kita.” Tidak ada lagi senyum di bibir Isna. Sorot matanya terlihat sedih.“Lalu, kamu ingin kita bagaimana? Bagaimana agar aku dan kamu menjadi kita.”“Restu, kamu bodoh atau pura-pura bodoh? Diantara kita masih ada Marwah. Dan jangan harap, aku akan menuruti keinginan kamu. Kamu ingin meninggalkan aku? Silakan! Aku tidak masalah. Justru aku akan bahagia jika kamu melakukan itu. Karena itu artinya, aku tidak perlu membuat sebuah alasan mengapa kita berpisah. Bila kamu berbicara kewajibanku sebagai istri, maka kamu belum melakukan kewajiban kamu sebagai suami. Memberikan nafkah lahir maupun batin. Hampir satu bulan kita menikah, pernahkah kamu memberi uang sama aku?”“Oh, jadi kamu uang? Baiklah. Sebentar,” ucapku geram. Aku membuka ranselku dan mengeluark
Aku berusaha fokus agar bisa melakukan hal itu dengannya. Namun, melihatnya menangis, konsentrasiku buyar. Semur hidup, baru kali ini aku membentak wanita. Saat dimarahi Ibu, aku hanya diam. Sekalipun membantah, itu menggunakan bahasa yang halus. Dengan Marwah, sama sekali tidak pernah melakukan itu. Karena dia adalah wanita yang sangat lembut. Hati dan wajahnya sama-sama cantik. Mana mungkin, akan ada lelaki yang tega menyakiti hatinya? Terlebih aku yang sangat mencintainya. “Lepaskan aku, Restu! Kamu benar-benar keterlaluan! Kamu sudah menginjak-injak harga diriku. Aku tidak akan pernah melupakan ini,” teriak Isna. Meski suaranya tidak tinggi, aku yakin tetap terdengar dari luar. “Isna, kamu kenapa?” Tak berapa lama, aku mendengar suara seorang wanita mengetuk pintu dengan keras. Itu suara ibu Isna, alias ibu mertuaku. Seketika, kemarahanku sirna. Sadar aku telah melakukan hal yang salah, dan sudah kelewat batas. Kalimat istighfar berkali-kali terucap dari bibir ini. Namun sepert
Part 28POV MarwahAku tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Mamak dan Bapak, mereka selalu berkata dengan lembut dan mendukung apapun yang diakukan sejauh itu hal baik. Meski aku tahu, banyak warga yang mengecam hal-hal yang seharusnya tidak mereka campuri. Termasuk di saat memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMA yang ada di kota. Mengapa memilih kota? Karena aku ingin sambil hidup di pesantren. Keputusan itu banyak mendapat pertentangan juga cibiran dari keluarga besar. Karena mereka tahu, kami melakukan semua itu agar aku bisa sebanding dengan Mas Restu, pria yang menjadi cinta monyet saat aku masih duduk di bangku SMP.Mas Restu yang dari keluarga berada, tentu tidak akan mengijinkan bila ia menikahi gadis kampung tanpa pendidikan tinggi. Meski hanya SMA, setidaknya aku tidak seperti gadis lain yang hanya tamatan SMP. Sempat ingin melanjutkan kuliah, tapi terpaksa urung karena Bapak benar-benar tidak mampu.Di sekolah, aku sangat aktif. Kata orang, wajahku sangat can
Tiba-tiba, gerimis turun dan lampu padam. Sebuah telapak tangan yang dingin menggemaku erat. Aku terisak. “Marwah, aku sangat mencintaimu. Tapi, aku tidak bisa menolak perjodohan ini. Marwah, kuharap kamu akan baik-baik saja setelah ini,” ucap Mas Restu lirih. “Jodoh itu urusan Allah, Mas, sekuat apapun aku berusaha mendapatkanmu, jika memang Allah tidak berkehendak maka, kita tidak akan bersama. Namun, aku yakin jika Allah tmendengar semua doa hambaNya. Doaku untuk hidup bersama denganmu, pasti sudah dicatat olehNya. Menikahlah dengan wanita pilihan orang tuamu. Tapi, berjanjilah untuk selalu mengingatku setiap saat. Saat kau mau tidur, saat kau bersama istrimu, ingatlah ada aku yang terluka yang sangat mencintaimu,” pintaku lirih. “Isna … aku tidak rela bila kamu dimiliki orang lain.” Perkataan dari Mas Restu membuat aku berharap masih ada jodoh diantara kami, entah kapan itu terjadi. “Jangan lupa! Ingat aku, ya? Kalau mau malam pertama, kamu harus ingat aku. Aku yang sedang mena