Hai, Readers tercinta .... Please, jangan marah sama Isna ya, karena dia berada dalam posisi yang sulit. Tidak mungkin tiba-tiba berpisah, apapun alasannya. Karena hidup di desa itu banyak sekali komentatornya. Lagian, kalau Isna tiba-tiba bercerai,. bakalan selesai dong ya, ceritanya, wkkkkk .... Kasih komentar tentang Mbak Yu Marwah dong! Hehe ....
Part 29Meski di pesantren, komunikasi antara aku dan keluarga di rumah tetap terjaga. Selama tujuh bulan di tempat ini, aku sering mendapatkan transferan uang misterius. Namun, aku tahu jika itu Mas Restu yang melakukan. Siapa lagi orang yang tahu nomor rekening selain keluargaku kalau tidak dia?Aku tersenyum kala melihat deretan nominal uang yang dia beri. Tidak banyak, hanya satu juta setiap bulannya. Namun, bukan itu yang ada dalam pikiran. Uang yang diberikan seolah menandakan bahwa dia masih sangat mencintaiku. Tidak ada yang lebih kuharapkan darinya saat ini selain tahu jika lelaki itu masih memikirkan aku. Ternyata, sebuah jabatan dan kekayaan yang dimiliki seorang Isna tidak mampu membeli cinta Mas Restu. Nyatanya, ia masih memikirkan gadis yang sudah dianggap keluarganya miskin dan tidak pantas bersanding dengannya ini.Akan tetapi, sudah dua bulan ini Mas Restu tidak mengirim uang lagi. Kadang juga terbesit sebuah khawatir, apa dia sudah menikmati pernikahannya itu? Aku ak
Dalam hati berteriak memanggil namanya, berharap ia datang dan menyuguhkan sebuah senyuman. Aku yakin, aku pasti sembuh. Dalam keadaan selemah ini, aku tidak peduli jika dia sudah menjadi suami orang. Yang kutahu, dia dan aku, kami sama-sama saling mencintai. Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah Isna yang telah dengan gegabah menerima lelaki yang tidak ia tahu hatinya untuk menjadi suami.Mas Restu, datanglah, Mas … aku sangat merindukanmu. Lihatlah aku, Mas, aku tidak bisa melupakanmu. Tengoklah aku yang harus merasakan sakit yang sangat dalam ini. Hati ini terus memanggil namanya.***Aku terbaring di bilik sempit tempat rawat inap. Bau pengap keringat orang bercampur dengan obat menguar di hidung. Rasa mual akhirnya hadir dalam perut ini. Aku sendirian, karena temanku harus pulang ke pondok tadi pagi karena harus tes hafalan. Tidak mengapa, resiko mencari ilmu harus siap dengan segala kondisi, termasuk hidup sendiri. Ingin membuka jendela yang tepat berada di samping te
Part 30POV IsnaTidak ada harga diri yang tersisa tentang aku di hadapan Restu. Hari itu, pertahananku jebol sudah. Aku berteriak setelah mendapat perlakuan kasar darinya. Kepalaku sakit ketika membuka mata. Yang kulihat pertama kali atap yang berputar.“Kamu sudah bangun? Syukurlah ….” Suara Restu pula yang pertama kali kudengar di telinga ini. Kini sadar kalau tadi aku tidak sadarkan diri.Dengan tangan masih memegang kepala, aku berusaha bangun.“Kamu mau minum?” Restu sepertinya memberikan perhatian. Namun, aku tidak peduli.Mencoba turun dari ranjang dengan niat keluar dari kamar.“Aku antar. Kamu mau kemana?” Ada sebuah tangan yang memegang pundak. Dan aku tahu, jika Restu berada di samping.“Singkirkan tanganmu, atau aku berteriak!” ancamku tanpa melihatnya. Setelahnya terasa tidak ada lagi tangan di pundak.“Kamu mau kemana?” Restu bertanya saat aku sudah sampai pintu.Tidak peduli dengan apapun yang keluar dari mulutnya, aku langsung keluar. Saat sudah berada di luar kamar,
“Kenapa kamu menyembunyikan ini, Isna?” tanya Ibu setelah lama terdiam. “Lalu aku harus bagaimana, Bu? Menceritakan sama Ibu dan Bapak? Ini hal yang memalukan menurut aku, Bu. Aku tetap berpikir bagaimana cara keluar dari semua ini. Tapi, bukankah itu membutuhkan banyak pertimbangan? Berapa hari usia pernikahanku, Bu? Aku harus langsung mengajak Restu berpisah? Apa yang akan orang pikirkan tentangku, tentang keluarga kita? Aku mencoba bertahan sampai dengan waktu yang sudah pantas untuk kami berpisah. Semua itu demi menjaga harga diri kita juga, Bu,” jawabku pelan. “Kamu benar, Isna. Terkadang ada hal-hal yang menyakitkan tapi harus tetap ditutupi. Karena kita tinggal di desa yang komunikasi antar warganya sangat erat. Beda jika kita tinggal di perumahan ….” Bapak akhirnya memberikan tanggapan. “Lalu kamu akan bertahan dalam pernikahan yang tidak jelas ini?” tanya Ibu heran. Aku maklum saja dengan sikap tersebut. “Daripada harus bercerai dalam hitunga hari, Bu. Ada banyak hal yang
Part 31“Bu, Isna sudah pulang?” Aku mendengar suara Restu bertanya pada Ibu.Saat ini, aku tengah berbaring di kasur kamar yang kosong. Sudah kuputuskan jika Restu yang tetap tinggal di kamar itu. Akan kulihat seberapa lama dia bertahan di rumah ini.“Mau kamu aniaya lagi, kamu tanya seperti itu? tanya Ibu ketus.Dasar ibu-ibu. Tidak bisa diajak kerjasama. Padahal, sebelumnya sudah terjadi kesepakatan agar jangan marah pada Restu. Kami akan membalas sikapnya dengan cara elegan. Namun sepertinya, Ibu tidak tahan juga.“Bu, maafkan aku. Aku kalap kemarin ada kejadian yang sangat tidak mengenakkan di kantor. Jadi terbawa sampai rumah ….” Restu memberikan alasan.“Kejadian, atau sisa cinta kamu di masa lalu?”Aku menepuk jidat mendengar Ibu sudah mulai melakukan sebuah perlawanan. Benar-benar orang tua yang susah untuk dikendalikan. Rencanaku gagal total sehingga dengan terpaksa aku beranjak keluar kamar.“Bu, tolong baluri badanku pakai minyak putih,” ucapku cepat agar Ibu menghindar da
Kaki ini baru melangkah ke luar setelah jam di ponsel menunjukkan pukul enam lebih.Sepi. Tidak ada siapapun di ruang tengah. Pun dengan aktivitas di dapur yang biasanya terdengar suara orang memasak. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju tempat itu. Melirik sekilas pada pintu kamarku yang masih tertutup rapat.Apakah Si Tidak Tahu Malu itu sudah pergi? Atau masih mengerang di balik selimutnya? Tanyaku dalam hati.Kaget. Tubuhku bergerak merespon itu, tatkala melihat Restu yang sedang makan di seorang diri di meja makan.“Kamu baru bangun rupanya. Semalaman aku mengetuk pintu, kamu tidak mau membukanya. Aku kira kamu tidak enak badan, jadi, aku masak sendiri untuk sarapan. Ibu tidak ada juga. Sini, kamu makan bareng aku. Ini aku sudah membuat nasi goreng,” ucap Restu tanpa rasa malu. Seolah kami ini pasangan yang seutuhnya.Aku berlalu begitu saja. Membuka kulkas dan mengambil sebuah minuman kotak dari sana. Tidak biasanya jika pagi meminum yang dingin-dingin. Namun, melihat Restu dan
Part 32“Tapi, bukankah tadi Mas Restu bilang kalau dia hanya bisa menunggu di sana? Takut kalau istrinya melihat. Aku tidak berani, Bu. Mas Restu sudah berpesan seperti itu.” Anak kecil yang masih lugu itu berkata jujur.Semakin jengah melihat pasien yang satu ini. Wanita itu salah tingkah melihatku, lalu menatap kembali anaknya. Dilihat dari raut wajah kelihatan sekali jika dia tengah menahan sakit. Akan tetapi, bisa-bisanya masih bersikap demikian terhadapku.Aku dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Ingin rasanya berkata kasar, tapi sadar saat ini sedang berada di lingkungan pekerjaan. Untuk sementara memilih diam mengamati dan melihat apa yang akan dikatakan oleh Marini.“Panggil saja! Bilang, Mamak lemas sekali dan tidak bisa mendaftar.”Ya Allah, seperti ini ternyata bentuk keluarga Marwah. Tidak tahu malu. Di depan mata melihat adegan sinetron berpura-pura.“Baik, Mak,” ucap anak lelaki itu patuh.Mas Luthfi tidak kunjung datang. Puskesmas memang sedang dalam keadaan sep
“Wah, sengaja nyusul istrinya atau memang mengantar saudara ini, Mas?” canda Mas Luthfi setelah infus terpasang di lengan Marini—pada Restu.“Ngantar warga, Mas. Bukan saudara,” jawab Restu langsung.Aku melirik wajah Marini, sepertinya tidak suka dianggap warga oleh Restu.“Kepala desa yang baik harus mengayomi warga dong, Mas. Semuanya harus diperlakukan sama. Tidak peduli miskin, ya harus dilayani dengan baik.” Aku ikut menyahut. Sengaja kusebutkan kata miskin, agar Marini sadar diri. Meskipun sepertinya, tipe orang-orang seperti dia akan sulit sadarnya.“Haha, iya-iya. Isna beruntung sekali punya suami njenengan (anda), Mas,” sambung Mas Luthfi.“Beruntung gak sih, Mas, aku?” tanyaku pada Restu. Lagi, aku melirik Marini yang meski dalam keadaan sakit, dia masih menatapku dengan sorot kebencian.“Harusnya beruntung,” celetuk Restu tidak tahu malu.“Eh, tapi Mas Restu beruntung juga lho, Mas Luthfi, dapat aku. Aku ini ‘kan bidan yang punya penghasilan sendiri. Jadi, aku tidak akan m