Part 33“Ilham, anak pintar sudah, Sayang! Jangan meladeni orang-orang yang omongannya tidak bermanfaat. Meski miskin, kita harus menunjukkan kalau kita beradab dan berakhlak baik. Lebih baik miskin tapi punya sopan santun dan selalu berkata baik. Daripada kaya tapi tidak bisa berkata sopan sama orang lain yang tidak dikenalnya sama sekali.” Marini berkata lembut pada anaknya.Aku semakin membenci keluarga itu.“Mas, lebih baik kaya biar tidak tahu malu merepotkan orang lain. Atau, lebih baik miskin tapi punya harga diri dengan tidak merepotkan suami orang, ‘kan? Daripada miskin tapi belagu,” ucapku sebelum pergi. “Aku mau suruh Tyas ke sini, mau aku ajak shoping nanti siang,” lanjutku sebelum pergi.Restu menyusulku ke ruang resepsionis. Dia berkali-kali memohon agar aku tidak memberitahukan orang tuanya tentang apa yang dilakukannya hari ini.“Jangan panggil Tyas. Nanti dia bisa mengadu. Aku hanya menjalankan amanat warga agar bisa mengayomi siapapun. Tidak peduli siapa dan bagaiman
Tatapan yang sangat tidak aku sukai. Dia menatapku dengan penuh cinta sejak dulu. Namun, aku justru merasa ingin muntah melihat itu. Penampilan Tomi sok gaul. Rambutnya lepek dengan minyak. Celananya panjang sampai tumit. Kaosnya ketat. Khas anak desa yang berlagak gaul.Ya Allah, kenapa harus ada lelaki-lelaki tidak normal di sekitar hidupku?“Kalau kamu tidak bahagia dengan suami kamu, aku masih siap memungut jandamu. Aku pasti bisa membahagiakan kamu,” ucap Tomi penuh keyakinan dan percaya diri.Apakah kekuatan cintanya begitu besar terhadapku sehingga ia bisa merasakan jika aku tidak bahagia? Oh, tidak! Dia hanya berbicara omong kosong saja.Satu sudut bibirku tertarik ke atas, tanda mengejek pada ucapannya. Jika pun aku tidak bahagia dengan Restu. Bukan Tomi, lelaki yang aku harapkan hadir mengisi hati ini setelahnya.“Aku selalu mengamati kamu. Kamu adalah cinta pertamaku. Aku begitu menderita ketika kamu memilih dia yang yang punya jabatan dan kaya raya. Tapi, kenapa kamu tidak
Part 34[Kenapa menjauh dariku]Sebuah pesan aku terima saat baru saja sampai rumah.Dari Fahri tentunya. Karena hanya dia pria normal saat ini yang kukenal.Entah kenapa bibir tertarik saat melihat chat itu. Setidaknya, di sisi lain ada orang yang menghargai perasaanku.[Aku sibuk]Jawabku singkat. Ingin mengatakan aku istri orang, tapi sadar bahwa dalam batinku sebetulnya aku tidak punya suami.Hari itu Restu tidak pulang dan tidak ada komunikasi diantara kami terjadi meski lewat hape. Aku jadi penasaran, dia menulis namaku di ponselnya dengan nama apa. Setelah menikah, badai besar langsung menerpa sehingga tidak ada yang ku ketahui dari dia selai tentang masa lalunya.Seolah mendapatkan sebuah angin banyak sehingga bisa bernapas lega karena lelaki yang kubenci tidak pulang ke rumah ini."Kamu akan tetap bertahan seperti ini, Isna?" tanya Ibu saat aku makan malam."Setidaknya untuk beberapa bulan, Bu. Aku tadi ketemu Tomi, dan dia yah Ibu tahu sendiri bagaimana dia ingin sekali me
Aku bingung bagaimana harus bersikap nantinya. Beberapa petugas medis di sana, aku mengenal mereka. Jika Ibu Mertua nanti bertindak yang tidak-tidak, mau ditaruh dimana muka ini?"Bu, aku gak ikut masuk saja, ya nanti? Aku takut jika ada yang tahu. Temanku banyak di sana," pintaku sambil mengendurkan tarikan gas"Kamu pakai jaket, 'kan? Kamu pakai masker juga. Itu nanti penutup kepalanya jaket kamu pakai. Tenang saja, Ibu akan memarahi Si Marini dengan cara yang elegan."Marah yang elegan? Baiklah, aku akan melihatnya nanti seperti apakah marah yang elegan itu.Begitu sampai di rumah sakit, aku menurut saja di belakang Ibu Mertua yang langkahnya sangat cepat. Kaki ini setengah berlari mengikutinya.Setelah mendapat informasi dari petugas dimana Marini dirawat, beliau sepertinya menambah tenaga dalam berjalan. Aku sampai merasa panas karena harus setengah berlari dengan menggunakan jaket dan masker.Sebuah kamar yang berisikan empat pasien, dipilih Restu untuk calon mertua gagalnya itu
Part 35Ibu Mertua sudah menarik Restu jauh. Tinggallah aku bersama Marwah. Entah, tiba-tiba aku seperti orang linglung yang kehilangan ingatan. Berdiri saja sambil menatap Marwah yang juga melakukan hal yang sama.Gadis itu berlalu dan memeluk Marini. Aku segera sadar dan berbalik pergi."Kamu sudah datang, Nduk? Mas Restu benar-benar memenuhi janjinya membawa kamu ke sini ...." Samar aku mendengar Marini berucap. Sepertinya sengaja menekankan nama Restu untuk membuat aku panas.Kulewati lorong rumah sakit yang panjang dengan langkah gontai. Serumit ini hidupku sekarang. Apa karena sejak dulu kehidupan yang aku jalani terasa menyenangkan tanpa sedih?Tumbuh dalam keluarga yang berada dan juga harmonis membuatku merasa emua seakan tercukupi. bila pun ada sebuah kerikil kecil dalam hidup, itu hanya sebatas perselisihan kecil dengan teman. Atau dimarahi Ibu atas hal-yang kecil pula. Mungkin, ini adalah titik dimana ujian dalam hidupku datang. Ujian yang cukup besar bagiku karena tidak p
Ada yang terbakar dalam dada ini. Ah, ini rupanya yang dimaksud dia pantas menjadi pendamping Restu. Banyak bicara dan bijak. Sejenak terdiam sambil berpikir untuk menjawab apa pada Marwah. Menghadapi manusia seperti dia, aku tidak boleh terpancing emosi.Kubuka masker agar dia bisa melihat setiap ekspresi yang keluar dari wajah ini. Emosi berusaha kututupi karena berbicara dengan dia harus dengan memperlihatkan perbedaan kelas diantara kami. Ya, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku memandang seseorang berdasarkan materi yang dimiliki.Senyum tersungging di bibir ini. Marwah menatapku dengan pandangan yang menyudutkan."Orang tua Restu sudah membencimu sejak dulu. Bahkan, sebelum aku tahu siapa kamu. Jadi yang pertama, jangan salahkan aku bila ibu Restu datang ke sini marah-marah sama emak kamu. Aku tidak menjadi provokator karena beliau hanya tanya Restu ada dimana. Aku dipaksa ke sini untuk mengantar. Maaf, aku merasa tidak perlu menemui emak kamu. Itu buang-buang waktu saja. Aku
Part 36POV AUTHOR"Kenapa bisa kamu datang bersama perempuan itu, Restu?" tanya Narsih marah."Bu, Bu Marini sakit dan ingin bertemu anaknya. Ibu, aku ini kepala desa yang harus melindungi semua warga. Jadi, apa aku salah sih, Bu? Aku tidak berbuat apapun sama Marwah. Aku tidak menyentuh dia. Aku hanya menjemput dan pulang ke rumah sakit ini, bertepatan dengan Ibu yang ada di sana," ucap Restu membela diri.Narsih tidak peduli apapun. Yang ia tahu, hatinya sangat membenci keluarga Marwah."Ibu? Kamu menyebut wanita miskin itu ibu? Pantas saja, dia begitu manja sama kamu, Restu. Ternyata, kamu begitu menghormati dengan sebutan semacam itu. Biasanya kamu panggil warga dengan sebutan mak. Kenapa kamu memanggil Marini dengan sebutan ibu?""Sudahlah, Bu. Jangan semua hal Ibu protes. Hanya sebuah panggilan. Kenapa mau dipermasalahkan? Dan masalah Isna, kenapa dia sampai ke sini?""Kamu sudah menyakiti Isna. Sampai kapan, Restu? Kamu punya adik perempuan. Seandainya adik kamu yang mengalami
"Kenapa masih berdiri?" tanya Narsih kaget."Bu," panggil Isna lirih. "Pulanglah dengan anak Ibu. Aku mau pulang sendiri saja. Tolong, Bu, jangan ajak aku ke rumah Ibu. Aku tidak ingin ke sana." Sedari tadi menahan semua yang dirasakan, pertahanan Isna runtuh. Ia langsung mengeluarkan air matanya."Isna, apa kamu begitu terluka?" Narsih kini telah sasar sepenuhnya, jika pernikahan Restu tidak baik-baik saja."Pulanglah dengan Restu, Bu. Aku mau sendiri ...," pinta Isna."Ayo, duduklah di sana dulu. Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu," ajak Narsih sambil menarik lembut lengan menantunya.Meski enggan, Isna menurut. Ia berpikir jika inilah saatnya berbicara semuanya dengan keluarga Restu.Mereka berdua memilih duduk di kursi yang sepi di taman rumah sakit. Hujan telah membuat tempat itu tidak terlalu ramai. Isna meminjam kain lap pada tukang kantin yang tidak jauh dari kursi yang dipilih--untuk membersihkan sisa-sisa air hujan."Apa yang akan Ibu katakan? Aku harap, Ibu tidak akan me