"Kenapa masih berdiri?" tanya Narsih kaget."Bu," panggil Isna lirih. "Pulanglah dengan anak Ibu. Aku mau pulang sendiri saja. Tolong, Bu, jangan ajak aku ke rumah Ibu. Aku tidak ingin ke sana." Sedari tadi menahan semua yang dirasakan, pertahanan Isna runtuh. Ia langsung mengeluarkan air matanya."Isna, apa kamu begitu terluka?" Narsih kini telah sasar sepenuhnya, jika pernikahan Restu tidak baik-baik saja."Pulanglah dengan Restu, Bu. Aku mau sendiri ...," pinta Isna."Ayo, duduklah di sana dulu. Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu," ajak Narsih sambil menarik lembut lengan menantunya.Meski enggan, Isna menurut. Ia berpikir jika inilah saatnya berbicara semuanya dengan keluarga Restu.Mereka berdua memilih duduk di kursi yang sepi di taman rumah sakit. Hujan telah membuat tempat itu tidak terlalu ramai. Isna meminjam kain lap pada tukang kantin yang tidak jauh dari kursi yang dipilih--untuk membersihkan sisa-sisa air hujan."Apa yang akan Ibu katakan? Aku harap, Ibu tidak akan me
Part 37"Aku pamit pulang. Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku. Kamu masih ingat nomer ponselku?" ucap Restu pada Marwah yang menatap rerumputan di depannya tanpa kedip.Pikirannya masih berkutat pada kata-kata Isna."Jika kalian saling mencintai, kenapa tidak bisa menikah?" Ucapan itu seolah menghantui dan menempatkan diri Marwah pada posisi yang sangat tidak berharga."Marwah," panggil Restu lirih karena sang pujaan hati tak kunjung menyahut.Marwah menoleh, menatap Restu tanpa kedip. "Kamu tahu bukan, aku tidak pernah melupakan hal sekecil apapun tentang kita?" ucapnya menyudutkan mantan kekasih."Aku permisi pulang," sahut Restu yang merasa bersalah dan tidak ingin membahas.Ia terpaksa pulang karena Narsih mengancam.Sepanjang perjalanan pulang, ibunya terus saja marah dan memojokkan Restu. Namun, pria itu seolah tidak mendengarnya. Angannya kembali pada peristiwa saat ia menjemput Marwah di pondok.Wanita yang dicintainya itu menangis sesenggukan kala melihat Restu datang menjem
“Isna masih perawan sampai saat ini, Pak. Restu anakmu, dia masih belum bisa melupakan Marwah. Dan mengatakan jika dia tidak bernafsu pada Isna.” Tiba-tiba, Narsih muncul dari sekat pintu dan mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pantas dibicarakan di depan umum.Hati Hasyim terasa sakit sekali mendengar perkataan dari besan perempuannya. Betapa Isna begitu rendah di hadapan Restu. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Menahan air mata yang ingin keluar.Hati siapa yang tidak sakit bila mendapati anak perempuan yang dibanggakan direndahkan dengan begitu hinanya oleh seorang pria yang ia pilih untuk menjadi suami.“Apa salah kami? Apa salah anakku sehingga kalian bersikap setega itu, Pak Dahlan, Bu Narsih?” Dengan suara bergetar, Hasyim bertanya.Dahlan mengepalkan telapak tangan. Matanya terlihat mulai merah, bak serigala yang ingin menerkam Restu sebagai mangsanya. Sementara itu, narsih duduk bersandar pada tembok dengan beralaskan ubin yang dingin dengan wajah yang panik. Tida
BAB 38Restu menatap foto Marwah yang masih tersisa di dompetnya. Dulu, ia hobi sekali mencetak foto kekasih hatinya itu. Sehingga saat ibunya merobek foto yang ditemukan, Restu masih punya foto yang lain.Nyeri di hati masih terasa, tatkala Dahlan menyebut Marwah perempuan rendahan dan miskin.“Ceraikan Isna dan nikahi Marwah! Jika itu mau kamu. Jadilah lelaki sejati! Jangan jadi pengecut. Pilihlah salah satu yang akan membuat kamu bahagia dengan segala resiko tentunya. Aku sudah malu dan tidak punya muka lagi untuk menghadap Hasyim.” Ucapan Dahlan setelah Hasyim pulang ke rumah masih terngiang di benak Restu.Resiko yang diambil, itu artinya ia akan kehilangan segala hal.“Aku tidak akan mengotak-atik posisi kamu sebagai kepala desa meskipun kamu nantinya memilih menceraikan Isna. Karena itu juga bisa mempermalukan kami. Tapi, kamu tetap tidak akan mendapatkan apapun dari kami. Lepaskan semua fasilitas yang kami berikan! Lalu hiduplah dengan mengandalkan gajimu sebagai kepala desa.
Malam merangkak naik. Isna dan ayahnya tidak jadi makan bakso seperti yang mereka lakukan saat Isna masih kecil. Hasyim nyatanya hanya membawa Isna naik motor bedua. Ingin agar anaknya tidak jenuh di dalam rumah dengan hanya memikirkan nasib pernikahan yang malang.Saat hendak berbelok menuju jalan desa, mereka melihat mobil Restu dikendarai dengan begitu cepat, bahkan hampir motor yang dikendarai Hasyim. Namun, Si Pengemudi tetap saja tidak berhenti.‘Mungkin mau menyusul calon mertuanya,’ pikir Isna.Miris, ia benar-benar tidak mengenal seperti apa sosok yang menjadi suaminya.Saat tiba di rumahnya, Isna langsung masuk kamar dan bersiap tidur. Kamar yang bukan miliknya, karena hati wanita itu enggan berada di tempat yang pernah menjadi saksi bisu penderitaan yang dialami.Isna memeluk bantal erat. Tangisnya pecah. Bukan menangisi Restu, tapi meratapi nasib yang menimpa. Bagaimanapun, apa yang terjadi begitu menyakitkan.Di saat bersamaan, Fahri mengiriminya pesan. Hanya bertanya kab
Part 39"Pulanglah! Istrimu menunggu di rumah. Jangan sampai, aku yang sudah dicap sebagai wanita miskin yang rendahan, juga menyandang gelar wanita pengganggu suami orang. Selama ini aku diam di tempatku, aku menangisi nasib sendirian. Entah bagaimana dengan kamu. Bahagia kah atau merasakan hal yang sama denganku," ucap Marwah di bawah temaram lampu."Kamu tidak kembali ke kamar ibumu?" Restu bertanya hal lain."Ada Bapak di sana. Bapak sudah pulang. Ilham sendirian di rumah. Mungkin sama Mak Dhe. Pulanglah, Mas! Jangan memperpanjang pembicaraan kita. Nanti kamu semakin cinta sama aku dan lupa istrimu," goda Marwah sembari menyunggingkan senyuman manis. Memperlihatkan gigi gingsulnya."Kenapa kamu selalu menggodaku dengan senyuman itu, Marwah?" tanya Restu dengan menatap pujaan hatinya tanpa kedip."Kamu yang memberikan ruang untuk tergoda sama aku,""Apa harapan kamu?""Ingin menikah denganmu suatu hari nanti. Menjadi ibu dari anak-anakmu. Tapi itu suatu hari nanti, jika kamu sudah
Wanita itu harus berjaga-jaga jika malam hari ada panggilan orang melahirkan.Kesal tidak diangkat, Restu memilih mengirim pesan. Memberitahu jika saat ini, ia sedang terkena musibah, dan butuh bantuan Isna.Isna yang tidak sengaja membuka aplikasi kirim pesan itu, mengukir senyum di bibir. Entah kenapa, ada sepercik rasa bahagia mendengar lelaki itu terkena musibah."Giliran dapat musibah, aku yang dihubungi," gumamnya lalu memejamkan mata.Restu kembali menelpon setelah melihat pesannya dibaca. "Pesan dibaca, tapi telpon tidak diangkat. Istri macam apa dia?" gerutunya kesal.Sementara itu, ia harus menghentikan aktivitas menelpon Isna karena dipanggil petugas medis."Pak, pasien harus segera dimasukkan ke ruang ICU karena kritis."Sebuah informasi yang membuat Restu semakin panik. Saat ini, ia seolah tidak memiliki tempat untuk berbagi rasa susahnya. Di tengah gundahnya hati yang diharapkan hadir membantu adalah istri yang tak diinginkannya."Selamat malam, Pak."Baru saja Restu men
Part 40Narsih menangis tersedu-sedu mendengar berita yang disampaikan oleh Tyas.Dahlan yang duduk dengan kesukaannya menyesap kopi dan menyulut sebatang rokok--hanya diam tidak menyahut.Kepulan asap yang ditimbulkan dari rokok yang disulutnya seolah membentuk lingkaran dan memudar setelah beberapa saja. Memainkan barang kesukaannya itu karena pikiran tidak sedang baik-baik saja."Pak, kenapa diam? Ayo, kita menyusul Restu ke rumah sakit. Di rumah sakit apa di kantor polisi, Yas?" Narsih beralih pandangan pada putrinya."Gak tahu, Bu. Mbak Isna cuma bilang Mas menabrak orang. Gitu aja," jawab Tyas sambil mengedikkan bahu."Pak ...." Narsih yang duduk di bawah suaminya, mengguncangkan bahu lelaki yang terlihat bergeming."Untuk apa? Biarkan saja dia mengatasi masalahnya sendiri. Kita tidak perlu ke sana. Malam-malam pergi bawa mobil, pasti mau ke rumah sakit. Sudah gila cintanya sama perempuan miskin itu. Sehingga akal sehatnya kurang. Dia sudah dewasa, biarkan mengambil resiko atas