Malam merangkak naik. Isna dan ayahnya tidak jadi makan bakso seperti yang mereka lakukan saat Isna masih kecil. Hasyim nyatanya hanya membawa Isna naik motor bedua. Ingin agar anaknya tidak jenuh di dalam rumah dengan hanya memikirkan nasib pernikahan yang malang.Saat hendak berbelok menuju jalan desa, mereka melihat mobil Restu dikendarai dengan begitu cepat, bahkan hampir motor yang dikendarai Hasyim. Namun, Si Pengemudi tetap saja tidak berhenti.‘Mungkin mau menyusul calon mertuanya,’ pikir Isna.Miris, ia benar-benar tidak mengenal seperti apa sosok yang menjadi suaminya.Saat tiba di rumahnya, Isna langsung masuk kamar dan bersiap tidur. Kamar yang bukan miliknya, karena hati wanita itu enggan berada di tempat yang pernah menjadi saksi bisu penderitaan yang dialami.Isna memeluk bantal erat. Tangisnya pecah. Bukan menangisi Restu, tapi meratapi nasib yang menimpa. Bagaimanapun, apa yang terjadi begitu menyakitkan.Di saat bersamaan, Fahri mengiriminya pesan. Hanya bertanya kab
Part 39"Pulanglah! Istrimu menunggu di rumah. Jangan sampai, aku yang sudah dicap sebagai wanita miskin yang rendahan, juga menyandang gelar wanita pengganggu suami orang. Selama ini aku diam di tempatku, aku menangisi nasib sendirian. Entah bagaimana dengan kamu. Bahagia kah atau merasakan hal yang sama denganku," ucap Marwah di bawah temaram lampu."Kamu tidak kembali ke kamar ibumu?" Restu bertanya hal lain."Ada Bapak di sana. Bapak sudah pulang. Ilham sendirian di rumah. Mungkin sama Mak Dhe. Pulanglah, Mas! Jangan memperpanjang pembicaraan kita. Nanti kamu semakin cinta sama aku dan lupa istrimu," goda Marwah sembari menyunggingkan senyuman manis. Memperlihatkan gigi gingsulnya."Kenapa kamu selalu menggodaku dengan senyuman itu, Marwah?" tanya Restu dengan menatap pujaan hatinya tanpa kedip."Kamu yang memberikan ruang untuk tergoda sama aku,""Apa harapan kamu?""Ingin menikah denganmu suatu hari nanti. Menjadi ibu dari anak-anakmu. Tapi itu suatu hari nanti, jika kamu sudah
Wanita itu harus berjaga-jaga jika malam hari ada panggilan orang melahirkan.Kesal tidak diangkat, Restu memilih mengirim pesan. Memberitahu jika saat ini, ia sedang terkena musibah, dan butuh bantuan Isna.Isna yang tidak sengaja membuka aplikasi kirim pesan itu, mengukir senyum di bibir. Entah kenapa, ada sepercik rasa bahagia mendengar lelaki itu terkena musibah."Giliran dapat musibah, aku yang dihubungi," gumamnya lalu memejamkan mata.Restu kembali menelpon setelah melihat pesannya dibaca. "Pesan dibaca, tapi telpon tidak diangkat. Istri macam apa dia?" gerutunya kesal.Sementara itu, ia harus menghentikan aktivitas menelpon Isna karena dipanggil petugas medis."Pak, pasien harus segera dimasukkan ke ruang ICU karena kritis."Sebuah informasi yang membuat Restu semakin panik. Saat ini, ia seolah tidak memiliki tempat untuk berbagi rasa susahnya. Di tengah gundahnya hati yang diharapkan hadir membantu adalah istri yang tak diinginkannya."Selamat malam, Pak."Baru saja Restu men
Part 40Narsih menangis tersedu-sedu mendengar berita yang disampaikan oleh Tyas.Dahlan yang duduk dengan kesukaannya menyesap kopi dan menyulut sebatang rokok--hanya diam tidak menyahut.Kepulan asap yang ditimbulkan dari rokok yang disulutnya seolah membentuk lingkaran dan memudar setelah beberapa saja. Memainkan barang kesukaannya itu karena pikiran tidak sedang baik-baik saja."Pak, kenapa diam? Ayo, kita menyusul Restu ke rumah sakit. Di rumah sakit apa di kantor polisi, Yas?" Narsih beralih pandangan pada putrinya."Gak tahu, Bu. Mbak Isna cuma bilang Mas menabrak orang. Gitu aja," jawab Tyas sambil mengedikkan bahu."Pak ...." Narsih yang duduk di bawah suaminya, mengguncangkan bahu lelaki yang terlihat bergeming."Untuk apa? Biarkan saja dia mengatasi masalahnya sendiri. Kita tidak perlu ke sana. Malam-malam pergi bawa mobil, pasti mau ke rumah sakit. Sudah gila cintanya sama perempuan miskin itu. Sehingga akal sehatnya kurang. Dia sudah dewasa, biarkan mengambil resiko atas
Selama Restu ditahan, Isna seolah merayakan penderitaan Restu dengan melakukan banyak hal. Shopping, jalan-jalan dan bertemu dengan banyak teman lamanya di saat tidak ada jam dinas."Mas Fahri masih mengharapkan kamu. Dia cerita sama aku," kata Anggi, kawan SMA nya dulu."Dari mana kamu tahu?" tanya Isna cuek. Rumah tangga yang tidak bahagia, bukan berarti menjadi celah untuk dia dekat dengan lelaki lain."Dia cerita sama suamiku. Mereka satu angkatan. Tapi, beda tempat tugas. Dunia tak selebar daun kelor ya, Is," celetuk Anggi. "Mas Fahri merasa jika masih ada kesempatan untuk bisa mendekati kamu. Tapi, jangan dipikir, Isna. Kamu sudah menikah dan bahagia dengan pasanganmu, bukan? Nikmati hidup kamu dengan suami kamu. Masalah Mas Fahri, dia pasti akan menemukan jodohnya.""Lha terus, apa maksud kamu kasih tahu aku?" ucap Isna sambil memutar bola mata.Anggi yang berprofesi sebagai staf administrasi di kantor sekda itu hanya meringis memperlihatkan gigi putihnya."Kamu gak ingin kita
Part 41“Mau pulang kemana?” tanya Harun saat mobil yang dikendarai telah memasuki perbatasan kecamatan.Restu diam terlihat bingung.“Pulanglah ke rumah orang tuamu,” kata Harun memberi saran.“Mereka marah sama aku,” aku Restu lirih.“Aku tahu itu. Tapi, bukankah lebih malu jika kamu pulang ke rumah Isna? Dimana letak harga dirimu sebagai kepala desa setelah apa yang kamu lakukan terhadapnya.” Harun berkata dengan sedikit kesal.“Mas Harun tahu dari siapa?”“Orang tuamu,”“Bagaimanapun Isna istriku. Dia yang sudah aku nikahi secara sah. Jadi, apa yang menimpaku saat ini, kami harus melewatinya bersama.”“Kamu benar-benar lelaki tidak tahu malu. Dia tidak kamu berikan nafkah semestinya. Sekarang kamu menuntut seperti itu? Gunakan akal sehatmu, Restu! Aku tidak mau mengantar kamu ke sana. Aku malu. Silakan kalau kamu tidak malu, maka lakukan saja sendiri. Aku turunkan kamu di pertigaan nanti.”Restu diam, memilih melempar pandangan ke luar jendela. Menghirup udara sebanyak-banyaknya k
Dengan kesal, Restu turun dari mobil sahabatnya. Du rumahnya, Isna masih berbalas pesan dengan gurunya. Hingga Lulu, akhirnya menuliskan sebuah nasehat yang membuat Isna berhenti membalas pesan karena memikirkan apa yang dikatakan oleh mantan gurunya itu. [Bukalah hati untuk lelaki lain. Kamu berhak bahagia. Ibu tidak tahu batasan sebuah dosa, tapi kamu harus menunjukkan pada lelaki yang sudah merendahkan kamu itu, bahwa kamu bisa bahagia dengan lelaki lain. Kamu sekadar membukanya, Isna. Bila ada seseorang yang tulus mencintaimu, maka kamu harus memberikan kesempatan untuk diri kamu bahagia dan menjadi ratu bagi lelaki itu. Jangan membeli kucing dalam karung. Pilihlah orang yang sudah kamu ketahui jelas latar belakang juga masa lalunya] Isna masih memandang layar ponselnya. Seolah apa yang disampaikan Lulu adalah sebuah pesan yang memang harus dilakukannya. Tiba-tiba, ada pesan lagi dari nomor yang tidak dikenalnya. [Jangan mau diperalat Restu. Lepaskan diri dari dia. Kalau dia p
Part 42Sore itu, Restu pergi dari rumah Isna dengan masih menahan sakit. Ia menuju rumah orang tuanya, satu-satunya harapan akan mendapat bantuan dengan menelpon salah seorang remaja desanya yang dikenal untuk menjemput. Tidak mungkin dirinya meminjam motor keluarga Isna.“Belajar untuk mengurus hidup sendiri. Jangan selalu mengandalkan orang tua. Kamu sudah dewasa. Lagi pula, seorang kepala desa masa buntu jalannya?” Jawaban ketus diucapkan oleh Dahlan. “Belajar bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan. Jangan bisanya hanya menyiram kotoran di wajah orang tua saja. Tidak sekarang, tidak besok, tidak ada uang yang akan kami keluarkan untuk membantu kamu.”Narsih hanya memandang kasihan pada anak sulungnya. Sebagai seorang ibu, ia ingin sekali membantu Restu, tapi takut dengan ancaman yang diberikan suaminya.“Jika kamu nekat membantu Restu, maka akan aku secepatnya aku urus perceraiannya dengan Isna, dan menikahkan dengan Marwah, lalu membawa menantu barumu ke sini, dan aku yang