Bukan gelandangan, tapi hidup terlunta-lunta. Menjadi seorang terhormat, tapi harus menderita. Itulah yang menggambarkan keadaan Restu saat ini. Ia mencoba mencari bantuan pada siapapun yang bisa membantu. Namun, semuanya seakan nihil. Tidak ada yang mau menolongnya. Teman-teman kepala desa, teman kuliah, siapapun yang dihubungi Restu selalu beralasan jika tidak punya uang. Setiap hari harus tidur di balai desa. Hingga akhirnya, desas-desus keretakan rumah tangganya menjadi perbincangan di kalangan warga. “Haruskah aku meminta tolong pada bapaknya Isna?” gumam Restu sembari menatap langit-langit ruangannya. Ia berbaring di atas kasur busa kecil yang memang sudah tersedia di sana. “Itu akan menjadi pilihan terakhir jika tidak ada yang mau menolongku.” Restu memejamkan setelah berkata demikian. Masalah yang pelik telah membuatnya sejenak berhenti memikirkan Marwah. *** Korban yang ditabraknya sudah pindah dari ruang ICU ke ruang perawatan. Restu telah memberikan uang tabungan yang di
Part 43“Mas Restu hidup di balai desa. Bapak melarang Ibu menjenguk apalagi kasih makanan. Mas Restu menabrak orang pas malam-malam dari rumah sakit. Sekarang didenda orang itu. ditambah lagi mobilnya rusak di kantor polisi. Mbak Isna gak mau bantu. Bapak sudah tidak mau bantu juga. Coba, ibunya Mbak Marwah yang hobi merepotkan masku, bisa bantu? Kalau sudah tidak jodoh jangan memaksa, Mbak! Dan jangan jadikan keluarga Mbak sebagai alat untuk mengganggu masku. Jangan juga jadikan kemiskinan kalian untuk alasan selalu menjadi benalu dalam hidup masku!”Tanpa sadar, Marwah terisak dan memegang dadanya. Ia merasa apa yang Tyas ucapkan sudah di luar batas.“Tyas, umur kamu masih terlalu kecil. Seharusnya kamu tidak berkata seperti tadi. Kamu tahu, jika menyakiti perasaan orang lain dengan lidahmu, maka ia akan bersaksi kelak di akhirat.” Setengah menahan tangis, Marwah mengangkat wajahnya mencoba memandang adik dari laki-laki yang dicintainya itu.“Mbak, sekali-kali jangan membawa-bawa a
“Lhoh, benar, ‘kan, Bu. Dia itu menantu pilihan Ibu dan Bapak. Gak papa, Buk, aku sudah siap menghadapi gunjingan tetangga. Aku sudah siap dengan segala fitnahan yang akan dilayangkan padaku nantinya. Terlebih, saat ini Restu sedang terkena musibah.”“Maafkan kami sudah menjerumuskan kamu, Isna,”“Aku maafkan, Bu. Jangan diulangi lagi, ya?” Isna melempar senyum untuk sang ibu.Ia bercanda hanya ingin terlihat baik-baik saja.“Restu tidak menghubungi kamu lagi?”“Tidak, dong! Lha aku ini siapa, Bu? Aku bukan istrinya dan dia bukan suamiku. Kata Tyas, dia sekarang hidup di balai desa karena diusir bapaknya. Tapi, aku tidak membalas pesan Tyas. Biarkan saja, mungkin dengan seperti ini akan lebih leluasa mereka berdua bertemu. Kan, pujaan hatinya sudah pulang.”“Kamu baik-baik saja, Isna? Kamu tidak sakit hati lagi?” Wajah wanita yang melahirkan isna terlihat sedih.“Tidak. Aku sebentar lagi akan bebas. Itu yang kusyukuri. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang lebih kuinginkan selain
Part 44“Mas, boleh aku bicara sebentar saja?” tanya Marwah yang sengaja menghadang Restu di jalan sepi dekat balai desa.Restu terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada orang yang melihat. “Mau bicara apa, Marwah?” tanyanya. Intonasi yang diucapkan terdengar tidak enak di telinga Marwah.“Kamu takut ada yang melihat? Kita mencari tempat yang sepi,” kata Marwah ragu.“Tidak usah sepertinya. Aku tidak mau kita semakin digunjing warga,” tolak Restu.“Ya, aku tahu. Maaf jika aku sudah lancang menemui kamu. Tapi, ada hal yang ingin aku katakan, Mas ….”“Marwah … Marwah, maaf jika selama ini aku masih memberikan harapan sama kamu. Aku harap, mulai sekarang kamu harus bisa melupakan aku dan aku akan melupakan kamu. Hubungan kita, biarlah hanya sebatas aku sebagai kepala desa dan kamu warga desa. Jika suatu ketika aku membantu keluarga kamu, maka itu karena aku ini bertanggung jawab terhadap seluruh warga desa. Kuharap setelah ini kamu akan menemukan seseorang yang jauh lebi
“Baik, Tyas! Kuharap, ini juga terakhir kalinya kamu menghina keluarga kami. Semoga kalian akan selamanya memegang kekuasaan dan hidup dengan kejayaan. Roda kehidupan itu berputar. Kamu belum pernah merasakan di posisi sebagai orang tidak punya. Sehingga kamu menganggap kamu bisa berkata semau kamu tanpa memikirkan perasaan kami yang kamu lukai. Padahal, kamu masih kecil. Seharusnya, kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara. Aku tetap akan mengingat hari ini. Hari dimana kamu seolah merendahkan dan menghina kami. Sekali lagi, semoga selamanya kamu akan menjadi orang kaya.”“Ya, makanya tidak usah terobsesi sama masku. Semua keluargaku membenci Mbak Marwah. Kalau Mbak Marwah menjauh, malah tidak akan mendapat hinaan,” celetuk Tyas asal bicara.Marwah berlalu meninggalkan Tyas. Ia benar-benar merasa sakit hati atas apa yang diucapkan adik Restu. Bersumpah selamanya akan mengingat dalam otak dan menyimpannya dalam hati.Tyas menjalankan kembali motornya, melewati Marwah yang sebenarnya berj
Part 45Restu masih duduk di koridor jalan, sampai satu per satu pedagang yang berada di sekelilingnya mengemasi gerobak dan pulang. Ia melirik jam yang ada di ponsel, sudah lewat tengah malam dan ia masih berharap Isna memberinya jawaban. “Apakah aku terlalu bodoh dengan masih mengharapkan dia menjawab pertanyaanku?” gumamnya.Berkali-kali menguap, membuatnya merasa tidak menahan kantuk. Akhirnya, memilih mencari masjid terdekat untuk beristirahat.Nyatanya, saat ia membaringkan tubuh di atas hamparan sajadah yang luas, mata terpejam tapi pikiran tak bisa terlelap. Pikiran tentang uang yang harus dicarinya, juga hati yang mulai merindukan Isna membuat ia berkali-kali bangun.Hanya dalam waktu lima belas hari ia harus menyelesaikan masalah itu.“Jika aku bisa menaklukkan Isna dalam lima belas hari itu, maka aku akan bisa keluar dari masalah ini dengan mudah. Bapak pasti mau mengulurkan bantuan,” gumamnya seorang diri.Ia lalu duduk dan bersandar pada dinginnya tembok masjid. Satu per
Mereka lalu terlibat obrolan yang seru. Pada umumnya menceritakan tentang kehidupan masing-masing setelah lepas dari seragam putih abu-abu. Tidak ada godaan ataupun candaan yang mereka berikan untuk Fahri maupun Isna. Meski tahu jika lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu sangat mengagumi Isna. Namun, mereka tahu, ada batasan-batasan dalam bercanda. Terlebih untuk ukurang orang-orang yang sudah memiliki pasangan. Sesekali Isna ikut menyahut. Namun, lebih banyak diamnya. Ada banyak hal yang dipikirkan. Melihat teman-teman perempuannya yang mesra dengan pasangan, membuatnya tidak ingin bercerita tentang kehidupannya. Memang tidak ada yang bisa diceritakan. Itu yang dia rasakan. Karena bahkan hingga detik ini, ia tidak paham tentang Restu. Dua jam telah terlewati dengan begitu cepat. Saatnya mereka pulang dan kembali pada kehidupan masing-masing. Cerita lama saat sekolah yang sempat mereka bahas, hanya akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah hilang oleh waktu. Namun, kehidupan
Part 46Setengah mengantuk, restu pulang dengan mengendarai sepeda motor dengan pelan. Perutnya berbunyi memprotes minta makan saat ia sudah sampai di sekitar daerah kecamatan. Ia kemudian mencari warung yang sudah buka.Setelah memesan sepiring nasi, Restu duduk di kursi panjang yang ada di teras warung yang cukup luas. Sambil menunggu pesanan datang, ia mengecek ponsel, barangkali ada pesan dari Isna. Namun, hasilnya mengecewakan. Yang berkirim pesan justru marwah. Gadis itu memaksa Restu memberikan nomor rekening. Pesan itu ia abaikan.Sebuah tepukan di bahu membuatnya menoleh. “Eh, kok tumben sudah di sini? Mau narik ya?” tanya Restu pada seorang pemuda di desanya yang bekerja sebagai sopir truk.“Iya. Sama Marwah, Pak Lurah?” tanya pemuda itu membuat Restu mengernyit.“Kenapa tanya Marwah?” Restu bertanya balik.Sopir yang terkenal urakan itu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Gak nyangka, Pak Lurah doyan juga ….” Ia terkekeh.Restu seolah dibuat meradang. Ia tidak tahu