“Baik, Tyas! Kuharap, ini juga terakhir kalinya kamu menghina keluarga kami. Semoga kalian akan selamanya memegang kekuasaan dan hidup dengan kejayaan. Roda kehidupan itu berputar. Kamu belum pernah merasakan di posisi sebagai orang tidak punya. Sehingga kamu menganggap kamu bisa berkata semau kamu tanpa memikirkan perasaan kami yang kamu lukai. Padahal, kamu masih kecil. Seharusnya, kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara. Aku tetap akan mengingat hari ini. Hari dimana kamu seolah merendahkan dan menghina kami. Sekali lagi, semoga selamanya kamu akan menjadi orang kaya.”“Ya, makanya tidak usah terobsesi sama masku. Semua keluargaku membenci Mbak Marwah. Kalau Mbak Marwah menjauh, malah tidak akan mendapat hinaan,” celetuk Tyas asal bicara.Marwah berlalu meninggalkan Tyas. Ia benar-benar merasa sakit hati atas apa yang diucapkan adik Restu. Bersumpah selamanya akan mengingat dalam otak dan menyimpannya dalam hati.Tyas menjalankan kembali motornya, melewati Marwah yang sebenarnya berj
Part 45Restu masih duduk di koridor jalan, sampai satu per satu pedagang yang berada di sekelilingnya mengemasi gerobak dan pulang. Ia melirik jam yang ada di ponsel, sudah lewat tengah malam dan ia masih berharap Isna memberinya jawaban. “Apakah aku terlalu bodoh dengan masih mengharapkan dia menjawab pertanyaanku?” gumamnya.Berkali-kali menguap, membuatnya merasa tidak menahan kantuk. Akhirnya, memilih mencari masjid terdekat untuk beristirahat.Nyatanya, saat ia membaringkan tubuh di atas hamparan sajadah yang luas, mata terpejam tapi pikiran tak bisa terlelap. Pikiran tentang uang yang harus dicarinya, juga hati yang mulai merindukan Isna membuat ia berkali-kali bangun.Hanya dalam waktu lima belas hari ia harus menyelesaikan masalah itu.“Jika aku bisa menaklukkan Isna dalam lima belas hari itu, maka aku akan bisa keluar dari masalah ini dengan mudah. Bapak pasti mau mengulurkan bantuan,” gumamnya seorang diri.Ia lalu duduk dan bersandar pada dinginnya tembok masjid. Satu per
Mereka lalu terlibat obrolan yang seru. Pada umumnya menceritakan tentang kehidupan masing-masing setelah lepas dari seragam putih abu-abu. Tidak ada godaan ataupun candaan yang mereka berikan untuk Fahri maupun Isna. Meski tahu jika lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu sangat mengagumi Isna. Namun, mereka tahu, ada batasan-batasan dalam bercanda. Terlebih untuk ukurang orang-orang yang sudah memiliki pasangan. Sesekali Isna ikut menyahut. Namun, lebih banyak diamnya. Ada banyak hal yang dipikirkan. Melihat teman-teman perempuannya yang mesra dengan pasangan, membuatnya tidak ingin bercerita tentang kehidupannya. Memang tidak ada yang bisa diceritakan. Itu yang dia rasakan. Karena bahkan hingga detik ini, ia tidak paham tentang Restu. Dua jam telah terlewati dengan begitu cepat. Saatnya mereka pulang dan kembali pada kehidupan masing-masing. Cerita lama saat sekolah yang sempat mereka bahas, hanya akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah hilang oleh waktu. Namun, kehidupan
Part 46Setengah mengantuk, restu pulang dengan mengendarai sepeda motor dengan pelan. Perutnya berbunyi memprotes minta makan saat ia sudah sampai di sekitar daerah kecamatan. Ia kemudian mencari warung yang sudah buka.Setelah memesan sepiring nasi, Restu duduk di kursi panjang yang ada di teras warung yang cukup luas. Sambil menunggu pesanan datang, ia mengecek ponsel, barangkali ada pesan dari Isna. Namun, hasilnya mengecewakan. Yang berkirim pesan justru marwah. Gadis itu memaksa Restu memberikan nomor rekening. Pesan itu ia abaikan.Sebuah tepukan di bahu membuatnya menoleh. “Eh, kok tumben sudah di sini? Mau narik ya?” tanya Restu pada seorang pemuda di desanya yang bekerja sebagai sopir truk.“Iya. Sama Marwah, Pak Lurah?” tanya pemuda itu membuat Restu mengernyit.“Kenapa tanya Marwah?” Restu bertanya balik.Sopir yang terkenal urakan itu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Gak nyangka, Pak Lurah doyan juga ….” Ia terkekeh.Restu seolah dibuat meradang. Ia tidak tahu
Restu memarkir kendaraan di depan warung dekat balai desa. Tidak seperti biasanya yang diparkir di halaman.Saat memasuki ruang utama balai desa, ia mendengar pegawai perempuannya sedang berbisik-bisik. Menyadari ia datang, mereka langsung berhenti dan pura-pura melanjutkan pekerjaan.“Pak, ada tamu menunggu,” ucap penjaga kantor kepala desa pada Restu yang sedang termenung di balik meja.“Suruh masuk saja ….”“Baik ….” Pemuda berusia dua puluh dua tahun itu berlalu dan menutup pintu kembali.Pintu berderit dibuka kembali. Restu mendongak, melihat siapa yang datang. “Bu Marini,” sapanya kaget.“Maaf mengganggu,” jawab ibunda Marwah sopan. Lalu masuk dan duduk tanpa dipersilakan oleh si empunya ruangan. “Saya dengar dari Marwah tentang semua yang menimpa Mas Restu. saya masih lemas dan bela-belain ke sini untuk memberikan kembali uang yang Mas Restu berikan sama Marwah. Semoga bisa membantu keluar dari masalah ini,” ucapnya lagi tanpa menunggu Restu bertanya.Restu memijit pelipis deng
Part 47 Isna menatap dengan tersenyum, berkas yang telah ia siapkan untuk diberikan pada pengacara. Ia sendiri yang akan mendaftarkan perceraian, tapi untuk proses selanjutnya, akan diurus oleh pengacaranya. “Aku menikah hanya untuk mendapatkan sebuah pengalaman yang menyakitkan. Terima kasih, Restu, atas apa yang kamu berikan padaku.” Untuk terakhir kalinya, Isna menatap foto Restu di buku nikah mereka. Ia baru sadar, bahwa lelaki itu berfoto tanpa senyum. Dua hari lagi, pengacara yang akan Isna sewa baru pulang. Namun, ia sudah tidak sabar sehingga menyiapkan semua berkas yang diperlukan saat itu juga. Teman-temannya sudah mulai bertanya perihal gosip Restu. Diantara mereka ada bidan desa di tempat Restu yang mendengar hal itu. Isna yang ditanya beberapa rekan kerjanya hanya menanggapi dengan tersenyum. Merasa ada untungnya gosip itu berkembang di saat ia akan mengajukan sebuah perceraian. *** Hasyim dan Rahayu saling pandang melihat sosok di hadapannya berlutut sambil bersujud
Gosip tentang Restu yang selingkuh dengan Marwah sudah semakin melebar saja. Banyak mulut-mulut kotor yang membuat itu semakin panas dengan menambah-nambah cerita. Membuat Dahlan semakin naik pitam ingin mencabik-cabik tubuh anaknya. Namun, Tyas sebagai anak perempuan yang disayanginya, berhasil menenangkan dan membujuk. “Yang penting Mas Restu tidak berbuat seperti itu, Pak. Aku yakin. Meskipun Mas tidak cinta dengan Mbak Isna, dia masih bisa menjaga diri dan bukankah Bapak tahu sendiri jika Mas memang mempertahankan status sosialnya?” ucap Tyas berusaha meredam amarah sang ayah. “Kita harus cari biang keladi yang menyebarkan gosip itu,” sahut Narsih yang tidak kalah geram. “Biang keladinya ya anak kamu itu! Kalau dia tidak menolong perempuan miskin itu ke rumah sakit, ia pasti tidak akan terjebak dalam masalah sepelik ini. Kalau yang menyebar gosip, sudah pasti keluarga wanita itu juga. Mereka ingin Restu cerai dengan Isna lalu menikahi Si Marwah itu.” Dengan napas tersengal menah
Part 48“Berapa uang yang kamu butuhkan semuanya, Restu?” tanya Narsih sambil menemani anaknya makan.“Yang masuk ke korban seratus juta, Bu. Sudah aku kasih tiga puluh juta. Ambil mobil di kantor polisinya gratis. Tapi karena aku ini sudah sempat masuk ke tahanan, gak tahu nanti ngurusnya gimana.”“Kamu cuma punya uang tiga puluh juta? Kamu kemanakan gajimu? Padahal keperluan apa saja, orang tua yang ngurus,” celetuk Narsih kesal. “Apa uang kamu masuk ke keluarga Marini?”Restu menghentikan makannya. “Yang sudah terjadi jangan dibahas kenapa sih, Bu? Lagi-lagi dia. Lagi-lagi dia. Tidak semua hidup aku tentang dia juga,” ucapnya kesal.“Ibu hanya ada uang segitu. Sisanya, terserah kamu mau cari dimana. Bapakmu sudah tidak bisa dimintai lagi. Lagian, uangnya sudah habis buat kamu nyalon, buat biaya nikah kamu. Itu tinggal perhiasan dan cengkeh yang Ibu kumpulkan selama dua tahun. Kayaknya semuanya lima puluh juta. Makanya, jangan aneh-aneh. Kamu pinjam uang dulu sama siapa. Dekati Isna