Ika, teman Isna berdiri mematung di amabng pintu saat melihat sosok tamu yang datang ke rumahnya. “Suami Isna ya?” tanyanya kaget campur heran.“Iya, Bu,” jawab Restu tegas. “Boleh saya berbincang-bincang sebentar dengan Ibu?” lanjutnya bertanya.“Mau berbincang apa?” Ika bertanya malas karena ia sudah tahu apa yang terjadi diantara mereka.“Saya tidak bisa menjawab di sini,” jawab Restu seolah memaksa masuk.Dengan terpaksa dan malas, Ika mempersilakan tamunya. Restu mulai menceritakan kegundahan hati versi dia. “Saya tahu, Bu Ika orang yang cukup dekat dengan istri saya. Jadi, saya mohon bantuannya untuk dapat membuat kami dekat kembali.”“Memang kalian pernah dekat?” sindir Ika.“Apa Isna pernah bercerita sesuatu hal sama Bu Ika?” tanya Restu penasaran.“Kira-kira?” Ika kesal dan balik bertanya.Restu salah tingkah dan terlihat malu. Karena ia mengatakan pada Ika bahwa saat ini Isna sedang merasa kesal dengannya lalu menjauh lantaran ia sedang terkena masalah.“Dengar! Saya tidak p
Part 49“Kalau Isna mau berpisah dengan kamu, itu hal yang memang seharusnya dilakukan dia. Bukankah kamu tidak mencintai dia? Mengapa sekarang mau menahan dia dan takut kehilangan?” tanya Harun dengan ekspresi tidak suka setelah mendengar cerita dari Restu.Sepulang dari rumah Ika, ia langsung ke rumah sahabatnya itu untuk meminta saran.“Mas, aku mulai mencintai dia. Aku sadar, jika selama ini mata hatiku sudah buta. Dia perempuan yang sangat spesial. Pandai, cantik, punya pekerjaan dan satu lagi, pengetahuan agama yang dimiliki tidak jauh dari Marwah. Bedanya, Isna tidak pernah berceramah atau berbicara dengan membawa dalil. Aku menyesal. Aku ingin merajut hubungan suami istri yang semestinya dengan dia,”“Setelah kamu melukai hati Isna sedemikian parah? Merendahkan dia dengan bilang kamu tidak bernafsu sekalipun istrimu itu tak memakai sehelai benang? Wanita mana yang mau?” Harun yang akhir-akhir ini menolak dihubungi Restu terlihat sekali menunjukkan sikap tidak sukanya.“Aku aka
Restu menatap Isna. Cantik benar-benar cantik, itu yang dipikirkannya. Merutuki diri sendiri yang terlalu dibutakan cinta pada Marwah. “Aku tidak pernah bertemu Marwah, hanya waktu itu diminta menjemputnya saja. Maaf jika aku menyakiti kamu selama ini ….”“Seperti kamu yang perlu waktu untuk menyadari sikap kamu salah. Aku juga perlu waktu untuk menyembuhkan luka hatiku. Jadi, jangan pernah memaksaku untuk segera menerima cinta dan permohonan maaf kamu seketika ini juga. Aku bukan perempuan gampangan. Saat menikah dengan kamu, aku benar-benar memilih kamu sebagai pendamping hidup. Aku berharap, kita akan menjadi keluarga yang bahagia. Dan selama menunggu jodoh yang benar-benar halal untukku datang, aku sama sekali tidak pernah bermain api cinta dengan siapapun. Aku sangat menjaga harga diri dan martabatku sebagai seorang wanita. Sampai akhirnya aku mendapati kenyataan, kalau kamu tidak menginginkanku. Lukaku sangat dalam dan aku berusaha menyembuhkan seorang diri. Mau menyalahkan siap
Part 50“Kenapa kamu biarkan Restu masuk ke sana, Isna?” protes rahayu begitu Hamam, anak laki-lakinya bercerita perihal Restu.“Kalau aku tidak menerima Restu, yang terjadi tadi aku bisa saja diperkosa, Bu. Makanya aku suruh masuk saja dan aku chat Hamam buat menyusul,”“Terus, kalau dia datang setiap hari kesana bagaiamana?” Rahayu terlihat cemas campur marah.“Aku akan pulang ke sini. Tempat itu akan aku kosongkan. Toh, Restu pasti tidak akan berani datang ke rumah ini.”“Ibu takut kalau dia membuat kamu jatuh cinta lagi. Ibu tidak sudi sekali punya menantu dia lagi.” Rahayu berbicara sambil memperlihatkan rasa bencinya terhadap Restu.“Ibu, jangan khawatir! Apakah anak gadismu ini pernah termakan oleh rayuan gombal lelaki? Tidak pernah ‘kan? Selama ini, aku selalu bisa menjaga diri. Ayo, lelaki mana yang menghancurkan perasaan aku?” tanya Isna sambil memeluk Rahayu dari belakang layaknya anak kecil. “Bahkan, sampai detik ini, aku masih perawan, ‘kan? Jadi, aku bisa menjaga diriku,
“Ya Allah, Isna, statusmu janda padahal kamu masih perawan. Ibu sepertinya tidak sanggup melihat seperti itu …,” sahut Rahayu.“Itu hanya status saja, Bu. Seseorang yang tulus, akan menerima Isna dengan segala masa lalunya.” Hasyim tidak ingin menjatuhkan mental Isna.“Kalau Ibu tidak kuat lihat Mbak Isna, Ibu ke luar negeri saja jadi TKW. Setelah itu pulang kalau Mbak Isna sudah mau nikah …,” celetuk Hamam sambil memasukkan pisang ke dalam mulut. “Makanya, gak usah acara perjodohan dan taaruf-taarufan! Mesti ada proses pacaran biar tahu pasangan yang akan dinikahi,” lanjutnya.“Tidak semua orang yang dinikahkan dengan proses taaruf berakhir seperti Isna. Banyak keluarga bahagia dari hasil menikah secara taaruf,” potong Hasyim.“Berarti Bapak dong yang salah pilih orang,” celetuk Hamam lagi.“Si Hamam bilang kayak gitu karena dia maunya pacaran. Tahu gak, Bu, siapa nama cewek yang disukai dia?” Isna berusaha mengalihkan topik pembicaraan.“Siapa?” tanya Rahayu penasaran.“Marwah!”“Am
Part 51“Mbok ya sudah sih, Marini, jangan berharap lagi sama Pak Lurah. Beliau sudah punya istri. Kasihan istrinya. Dinasehati Marwah supaya tidak lagi berharap. Dia ‘kan anak pondokan dan alim, masa tidak tahu kalau mengganggu suami orang itu dosa,” ucap seseibu tatkala mereka berkumpul mengelilingi tukang sayur.“Iya, Marini. Kamu ini apa tidak malu jadi gunjingan warga?” timpal yang lain.“Marwah cantik pasti banyak yang mau. Apa mau seperti ini terus? Ya kalau Pak Lurah cerai dari istrinya, kalau tidak, Marwah mau jadi perawan tua kah? Mengharapkan lelaki yang sama sekali tidak berniat serius,” sahut wanita lain dengan nada kesal.“Lagian, keluarga Pak Dahlan itu menolak mentah-mentah kok.”“Kalau Pak Lurah nya niat serius, pasti mau menikahi Marwah. Buktinya tidak, ‘kan? Jangan memaksakan diri lah, Marini ….”Berbagai macam kalimat memojokkan Marini terlontar, membuatnya merasa panas telinga. Pukul sembilan pagi adalah surganya wanita untuk berkumpul dan membeli lauk di tukang s
Part 51“Mbok ya sudah sih, Marini, jangan berharap lagi sama Pak Lurah. Beliau sudah punya istri. Kasihan istrinya. Dinasehati Marwah supaya tidak lagi berharap. Dia ‘kan anak pondokan dan alim, masa tidak tahu kalau mengganggu suami orang itu dosa,” ucap seseibu tatkala mereka berkumpul mengelilingi tukang sayur.“Iya, Marini. Kamu ini apa tidak malu jadi gunjingan warga?” timpal yang lain.“Marwah cantik pasti banyak yang mau. Apa mau seperti ini terus? Ya kalau Pak Lurah cerai dari istrinya, kalau tidak, Marwah mau jadi perawan tua kah? Mengharapkan lelaki yang sama sekali tidak berniat serius,” sahut wanita lain dengan nada kesal.“Lagian, keluarga Pak Dahlan itu menolak mentah-mentah kok.”“Kalau Pak Lurah nya niat serius, pasti mau menikahi Marwah. Buktinya tidak, ‘kan? Jangan memaksakan diri lah, Marini ….”Berbagai macam kalimat memojokkan Marini terlontar, membuatnya merasa panas telinga. Pukul sembilan pagi adalah surganya wanita untuk berkumpul dan membeli lauk di tukang s
Seperti disiram kotoran di hadapan umum, wajah Marini pucat pasi menahan malu. Bibirnya mengatup sempurna.“Ayo jawab Marini, kamu dekati Restu buat morotin uangnya atau buat ngemis uang anakku, hah?” Narsih mengatakan sebuah kalimat yang lebih kasar.Marwah berdiri tidak jauh dari mereka. Ia yang sedianya berniat mencari Marini yang lama tidak kembali ke rumah, malah mendengarkan hinaan dan makian dari Narsih. “Bu, maaf. Aku dikasih uang sama Mas Restu, itu semua masih, Bu. Masih ada dalam rekening. Aku tidak pernah menggunakannya. Dan aku tidak pernah mendekati Mas Restu karena aku tidak pernah ada di rumah,” katanya dengan suara bergetar. Sedih, marah, malu, bercampur menjadi satu.“Oh, bagus! Kalau begitu, kembalikan sekarang! Restu sedang butuh. Satu lagi, kamu bisa tidak, panggil anakku seperti mereka, Pak Lu rah. Jangan sok-sokan panggil mas segala. Kamu juga cantik, kenapa tidak menikah? Mau jadi perawan tua menunggu Restu cerai dari Isna? Atau menunggu anakku khilaf sehingga