Part 51“Mbok ya sudah sih, Marini, jangan berharap lagi sama Pak Lurah. Beliau sudah punya istri. Kasihan istrinya. Dinasehati Marwah supaya tidak lagi berharap. Dia ‘kan anak pondokan dan alim, masa tidak tahu kalau mengganggu suami orang itu dosa,” ucap seseibu tatkala mereka berkumpul mengelilingi tukang sayur.“Iya, Marini. Kamu ini apa tidak malu jadi gunjingan warga?” timpal yang lain.“Marwah cantik pasti banyak yang mau. Apa mau seperti ini terus? Ya kalau Pak Lurah cerai dari istrinya, kalau tidak, Marwah mau jadi perawan tua kah? Mengharapkan lelaki yang sama sekali tidak berniat serius,” sahut wanita lain dengan nada kesal.“Lagian, keluarga Pak Dahlan itu menolak mentah-mentah kok.”“Kalau Pak Lurah nya niat serius, pasti mau menikahi Marwah. Buktinya tidak, ‘kan? Jangan memaksakan diri lah, Marini ….”Berbagai macam kalimat memojokkan Marini terlontar, membuatnya merasa panas telinga. Pukul sembilan pagi adalah surganya wanita untuk berkumpul dan membeli lauk di tukang s
Part 51“Mbok ya sudah sih, Marini, jangan berharap lagi sama Pak Lurah. Beliau sudah punya istri. Kasihan istrinya. Dinasehati Marwah supaya tidak lagi berharap. Dia ‘kan anak pondokan dan alim, masa tidak tahu kalau mengganggu suami orang itu dosa,” ucap seseibu tatkala mereka berkumpul mengelilingi tukang sayur.“Iya, Marini. Kamu ini apa tidak malu jadi gunjingan warga?” timpal yang lain.“Marwah cantik pasti banyak yang mau. Apa mau seperti ini terus? Ya kalau Pak Lurah cerai dari istrinya, kalau tidak, Marwah mau jadi perawan tua kah? Mengharapkan lelaki yang sama sekali tidak berniat serius,” sahut wanita lain dengan nada kesal.“Lagian, keluarga Pak Dahlan itu menolak mentah-mentah kok.”“Kalau Pak Lurah nya niat serius, pasti mau menikahi Marwah. Buktinya tidak, ‘kan? Jangan memaksakan diri lah, Marini ….”Berbagai macam kalimat memojokkan Marini terlontar, membuatnya merasa panas telinga. Pukul sembilan pagi adalah surganya wanita untuk berkumpul dan membeli lauk di tukang s
Seperti disiram kotoran di hadapan umum, wajah Marini pucat pasi menahan malu. Bibirnya mengatup sempurna.“Ayo jawab Marini, kamu dekati Restu buat morotin uangnya atau buat ngemis uang anakku, hah?” Narsih mengatakan sebuah kalimat yang lebih kasar.Marwah berdiri tidak jauh dari mereka. Ia yang sedianya berniat mencari Marini yang lama tidak kembali ke rumah, malah mendengarkan hinaan dan makian dari Narsih. “Bu, maaf. Aku dikasih uang sama Mas Restu, itu semua masih, Bu. Masih ada dalam rekening. Aku tidak pernah menggunakannya. Dan aku tidak pernah mendekati Mas Restu karena aku tidak pernah ada di rumah,” katanya dengan suara bergetar. Sedih, marah, malu, bercampur menjadi satu.“Oh, bagus! Kalau begitu, kembalikan sekarang! Restu sedang butuh. Satu lagi, kamu bisa tidak, panggil anakku seperti mereka, Pak Lu rah. Jangan sok-sokan panggil mas segala. Kamu juga cantik, kenapa tidak menikah? Mau jadi perawan tua menunggu Restu cerai dari Isna? Atau menunggu anakku khilaf sehingga
Part 52Marwah bangun saat sore. Matanya sudah sembab. Ia mengharap malam segera datang. Ingin menemui Restu dan menyerahkan kartu ATM nya. Untuk menunggu waktu, ia mengisi dengan menata baju pada tas. Marini yang melihat hal itu terus menangis.“Bertahanlah, Isna! Mamak akan berusaha membuat Restu untuk menikah dengan kamu. Kita sudah kepalang basah. Malu karena hinaan orang. Jadi, apapun yang terjadi, kamu harus menikah dengannya. Agar mereka malu. Sekarang ini, rumah tangga Restu berada di ujung tanduk. Kesempatan yang sangat bagus buat kamu,” ucap Marini di sela isak tangisnya.“Mamak, berhentilah mempermalukan diri sendiri. Aku sudah ikhlas melepas Mas Restu. aku tidak akan pernah lagi berharap apapun darinya. Aku tidak kuat dengan hinaan dan cacian itu.”“Justru kamu harus menunjukkan pada orang-orang yang menghina kita.”“Aku tidak akan pernah berharap lagi menjadi istri dia. Mamak jika mau melakukan itu silakan saja. Tapi, aku tidak akan pulang lagi ke desa ini. Aku sudah tida
Restu sangat malu. Sepanjang ia berbicara, Hasyim selalu mematahkan ucapannya dengan kalimat-kelaimat menohok. Bak orang yang berlaga, saat ia menyerang, lawannya memiliki serangan balik yang membuatnya tidak bisa berkutik.“Apa itu berarti Isna akan meminta cerai dari saya?” tanya Restu dengan perasaan takut bahwa apa yang ia ucapkan benar akan terjadi.“Kira-kira?” tanya Hasyim balik. Ia sudah tidak meladeni Restu berbicara. “Pergilah! Kedatangan kamu sudah tidak diharapkan di rumah ini.” Hasyim bangkit dan berjalan masuk. Menutup pintu dan menguncinya.Restu yang masih duduk dan mendengar pintu dikunci merasa sangat terhina. Jangankan secangkir kopi, bahkan kehadirannya benar-benar sudah diharapkan. Perut yang berbunyi minta diisi, tubuh yang lelah, semakin membuatnya merasa pusing.Ia sangat lama tidak beranjak. Berharap Isna yang belum sempat ditanyakan dimana keberadaannya--akan segera datang dan memberi pertolongan.“Aku akan tetap di sini. Aku tidak mungkin dibunuh. Motor Isna
Part 53Marwah merasa berat untuk bangun dari duduknya. Saat malu, seseorang merasa enggan untuk bergerak. Niat baiknya untuk berbicara dengan Isna, hanya mendapatkan penolakan yang seolah-olah Isna tidak mengenal dan tidak ada urusan dengannya.“Sudah didaftar, Mbak?” Luthfi yang datang sambil membawa peralatan yang digunakan untuk menginfus Marini bertanya pada Marwah.“Sudah didaftar Mbak Isna tadi,” jawab Marwah sok kenal dengan Isna.“Oh, ya sudah, Mbak bisa pergi dari sini ….”“Ba-baik, terima kasih,” jawab Marwah lalu pergi.Ia berjalan ke ruang rawat inap Marini yang ada di ujung lorong.“Kamu kenal dengan pasien, Is? Atau anaknya pasien tadi?” tanya Luthfi pada Isna yang tengah menyeduh teh.“Enggak.”“Kok dia tahu nama kamu?” tanya Luthfi lagi.Isna hanya mengedikkan bahu. Malas membahas keluarga tidak tahu diri itu.Di ruangan yang hanya dihuni oleh Marini saja, tanpa ada pasien lain, Marwah duduk di bed tempat orang sakit yang ada di samping bed Marini.“Kamu sudah kabari
Isna menatap Marwah. Otaknya berusaha merangkai kata untuk membuat Marwah mengganggunya. “Dengar! Bagiku kamu bukan musuhku, juga bukan temanku. Aku tidak pernah punya urusan sama kamu. Paham? Tentang restu, ambillah, aku tidak akan pernah menghalangi.”“Mbak Isna, dengarlah dulu apa yang akan kusampaikan. Mbak, aku sudah ikhlas, demi Allah. Aku tenang, jika Mas Restu hidup dengan perempuan baik dan taat beragama seperti Mbak Isna. Aku akan mendoakan kalian agar bisa bersama sampai maut memisahkan.”“Dengar! Urusan pribadiku, urusan rumah tanggaku, tidak ada pengaruhnya apapun dengan apa yang kamu katakan. Aku dan hidupku, tidak ada kaitannya sama kamu. Kamu mau mendoakan, kamu mau ikhlas, kamu mau mengatakan apapun itu sama sekali tidak aku gubris. Kamu mau memusuhi aku atau tidak, bagiku tidak ada pengaruhnya. Jadi, jangan sia-siakan waktu kamu, ok?” Isna berkata sambil tersenyum kali ini.“Mbak, aku hanya mau menitip ATM Mas Restu. Di sini ada uang yang dikirimkan Mas Restu tiap bu
Part 54Puluhan pesan dari Restu tak pernah Isna balas. Ia telah mendaftar cerai ke pengadilan dan setelahnya meminta sang pengacara untuk mengurus semuanya. “Aku terima beres saja, Pak. Aku tidak mau menghadapi dia,” ucapnya saat bertemu dengan lawyer di depan kantor pengadilan.Hari-hari setelahnya, ia menunggu penuh kecemasan. Antara takut Restu akan berbuat hal yang nekad, juga rasa tidak sabar akan statusnya berubah.Selama itu pula, Isna berhasil menghindari Restu. Ia benar-benar sudah jarang ke polindes, kecuali ada hal yang harus benar-benar dilakukan di sana.Setelah menunggu dua minggu, sebuah kabar ia dapatkan. Bahwa sidang pertamanya akan digelar beberapa hari ke depan. Jantung Isna berdebar-debar. Menunggu kabar yang akan pengacara berikan di hari yang ditetapkan pengadilan untuk sidang dengan agenda mediasi.Siang itu, ia harus ke polindes karena harus mengambil sebuah buku data ibu hamil yang tertinggal.Isna menatap bingung pada benda-benda elektronik yang berada di te