Part 47 Isna menatap dengan tersenyum, berkas yang telah ia siapkan untuk diberikan pada pengacara. Ia sendiri yang akan mendaftarkan perceraian, tapi untuk proses selanjutnya, akan diurus oleh pengacaranya. “Aku menikah hanya untuk mendapatkan sebuah pengalaman yang menyakitkan. Terima kasih, Restu, atas apa yang kamu berikan padaku.” Untuk terakhir kalinya, Isna menatap foto Restu di buku nikah mereka. Ia baru sadar, bahwa lelaki itu berfoto tanpa senyum. Dua hari lagi, pengacara yang akan Isna sewa baru pulang. Namun, ia sudah tidak sabar sehingga menyiapkan semua berkas yang diperlukan saat itu juga. Teman-temannya sudah mulai bertanya perihal gosip Restu. Diantara mereka ada bidan desa di tempat Restu yang mendengar hal itu. Isna yang ditanya beberapa rekan kerjanya hanya menanggapi dengan tersenyum. Merasa ada untungnya gosip itu berkembang di saat ia akan mengajukan sebuah perceraian. *** Hasyim dan Rahayu saling pandang melihat sosok di hadapannya berlutut sambil bersujud
Gosip tentang Restu yang selingkuh dengan Marwah sudah semakin melebar saja. Banyak mulut-mulut kotor yang membuat itu semakin panas dengan menambah-nambah cerita. Membuat Dahlan semakin naik pitam ingin mencabik-cabik tubuh anaknya. Namun, Tyas sebagai anak perempuan yang disayanginya, berhasil menenangkan dan membujuk. “Yang penting Mas Restu tidak berbuat seperti itu, Pak. Aku yakin. Meskipun Mas tidak cinta dengan Mbak Isna, dia masih bisa menjaga diri dan bukankah Bapak tahu sendiri jika Mas memang mempertahankan status sosialnya?” ucap Tyas berusaha meredam amarah sang ayah. “Kita harus cari biang keladi yang menyebarkan gosip itu,” sahut Narsih yang tidak kalah geram. “Biang keladinya ya anak kamu itu! Kalau dia tidak menolong perempuan miskin itu ke rumah sakit, ia pasti tidak akan terjebak dalam masalah sepelik ini. Kalau yang menyebar gosip, sudah pasti keluarga wanita itu juga. Mereka ingin Restu cerai dengan Isna lalu menikahi Si Marwah itu.” Dengan napas tersengal menah
Part 48“Berapa uang yang kamu butuhkan semuanya, Restu?” tanya Narsih sambil menemani anaknya makan.“Yang masuk ke korban seratus juta, Bu. Sudah aku kasih tiga puluh juta. Ambil mobil di kantor polisinya gratis. Tapi karena aku ini sudah sempat masuk ke tahanan, gak tahu nanti ngurusnya gimana.”“Kamu cuma punya uang tiga puluh juta? Kamu kemanakan gajimu? Padahal keperluan apa saja, orang tua yang ngurus,” celetuk Narsih kesal. “Apa uang kamu masuk ke keluarga Marini?”Restu menghentikan makannya. “Yang sudah terjadi jangan dibahas kenapa sih, Bu? Lagi-lagi dia. Lagi-lagi dia. Tidak semua hidup aku tentang dia juga,” ucapnya kesal.“Ibu hanya ada uang segitu. Sisanya, terserah kamu mau cari dimana. Bapakmu sudah tidak bisa dimintai lagi. Lagian, uangnya sudah habis buat kamu nyalon, buat biaya nikah kamu. Itu tinggal perhiasan dan cengkeh yang Ibu kumpulkan selama dua tahun. Kayaknya semuanya lima puluh juta. Makanya, jangan aneh-aneh. Kamu pinjam uang dulu sama siapa. Dekati Isna
Ika, teman Isna berdiri mematung di amabng pintu saat melihat sosok tamu yang datang ke rumahnya. “Suami Isna ya?” tanyanya kaget campur heran.“Iya, Bu,” jawab Restu tegas. “Boleh saya berbincang-bincang sebentar dengan Ibu?” lanjutnya bertanya.“Mau berbincang apa?” Ika bertanya malas karena ia sudah tahu apa yang terjadi diantara mereka.“Saya tidak bisa menjawab di sini,” jawab Restu seolah memaksa masuk.Dengan terpaksa dan malas, Ika mempersilakan tamunya. Restu mulai menceritakan kegundahan hati versi dia. “Saya tahu, Bu Ika orang yang cukup dekat dengan istri saya. Jadi, saya mohon bantuannya untuk dapat membuat kami dekat kembali.”“Memang kalian pernah dekat?” sindir Ika.“Apa Isna pernah bercerita sesuatu hal sama Bu Ika?” tanya Restu penasaran.“Kira-kira?” Ika kesal dan balik bertanya.Restu salah tingkah dan terlihat malu. Karena ia mengatakan pada Ika bahwa saat ini Isna sedang merasa kesal dengannya lalu menjauh lantaran ia sedang terkena masalah.“Dengar! Saya tidak p
Part 49“Kalau Isna mau berpisah dengan kamu, itu hal yang memang seharusnya dilakukan dia. Bukankah kamu tidak mencintai dia? Mengapa sekarang mau menahan dia dan takut kehilangan?” tanya Harun dengan ekspresi tidak suka setelah mendengar cerita dari Restu.Sepulang dari rumah Ika, ia langsung ke rumah sahabatnya itu untuk meminta saran.“Mas, aku mulai mencintai dia. Aku sadar, jika selama ini mata hatiku sudah buta. Dia perempuan yang sangat spesial. Pandai, cantik, punya pekerjaan dan satu lagi, pengetahuan agama yang dimiliki tidak jauh dari Marwah. Bedanya, Isna tidak pernah berceramah atau berbicara dengan membawa dalil. Aku menyesal. Aku ingin merajut hubungan suami istri yang semestinya dengan dia,”“Setelah kamu melukai hati Isna sedemikian parah? Merendahkan dia dengan bilang kamu tidak bernafsu sekalipun istrimu itu tak memakai sehelai benang? Wanita mana yang mau?” Harun yang akhir-akhir ini menolak dihubungi Restu terlihat sekali menunjukkan sikap tidak sukanya.“Aku aka
Restu menatap Isna. Cantik benar-benar cantik, itu yang dipikirkannya. Merutuki diri sendiri yang terlalu dibutakan cinta pada Marwah. “Aku tidak pernah bertemu Marwah, hanya waktu itu diminta menjemputnya saja. Maaf jika aku menyakiti kamu selama ini ….”“Seperti kamu yang perlu waktu untuk menyadari sikap kamu salah. Aku juga perlu waktu untuk menyembuhkan luka hatiku. Jadi, jangan pernah memaksaku untuk segera menerima cinta dan permohonan maaf kamu seketika ini juga. Aku bukan perempuan gampangan. Saat menikah dengan kamu, aku benar-benar memilih kamu sebagai pendamping hidup. Aku berharap, kita akan menjadi keluarga yang bahagia. Dan selama menunggu jodoh yang benar-benar halal untukku datang, aku sama sekali tidak pernah bermain api cinta dengan siapapun. Aku sangat menjaga harga diri dan martabatku sebagai seorang wanita. Sampai akhirnya aku mendapati kenyataan, kalau kamu tidak menginginkanku. Lukaku sangat dalam dan aku berusaha menyembuhkan seorang diri. Mau menyalahkan siap
Part 50“Kenapa kamu biarkan Restu masuk ke sana, Isna?” protes rahayu begitu Hamam, anak laki-lakinya bercerita perihal Restu.“Kalau aku tidak menerima Restu, yang terjadi tadi aku bisa saja diperkosa, Bu. Makanya aku suruh masuk saja dan aku chat Hamam buat menyusul,”“Terus, kalau dia datang setiap hari kesana bagaiamana?” Rahayu terlihat cemas campur marah.“Aku akan pulang ke sini. Tempat itu akan aku kosongkan. Toh, Restu pasti tidak akan berani datang ke rumah ini.”“Ibu takut kalau dia membuat kamu jatuh cinta lagi. Ibu tidak sudi sekali punya menantu dia lagi.” Rahayu berbicara sambil memperlihatkan rasa bencinya terhadap Restu.“Ibu, jangan khawatir! Apakah anak gadismu ini pernah termakan oleh rayuan gombal lelaki? Tidak pernah ‘kan? Selama ini, aku selalu bisa menjaga diri. Ayo, lelaki mana yang menghancurkan perasaan aku?” tanya Isna sambil memeluk Rahayu dari belakang layaknya anak kecil. “Bahkan, sampai detik ini, aku masih perawan, ‘kan? Jadi, aku bisa menjaga diriku,
“Ya Allah, Isna, statusmu janda padahal kamu masih perawan. Ibu sepertinya tidak sanggup melihat seperti itu …,” sahut Rahayu.“Itu hanya status saja, Bu. Seseorang yang tulus, akan menerima Isna dengan segala masa lalunya.” Hasyim tidak ingin menjatuhkan mental Isna.“Kalau Ibu tidak kuat lihat Mbak Isna, Ibu ke luar negeri saja jadi TKW. Setelah itu pulang kalau Mbak Isna sudah mau nikah …,” celetuk Hamam sambil memasukkan pisang ke dalam mulut. “Makanya, gak usah acara perjodohan dan taaruf-taarufan! Mesti ada proses pacaran biar tahu pasangan yang akan dinikahi,” lanjutnya.“Tidak semua orang yang dinikahkan dengan proses taaruf berakhir seperti Isna. Banyak keluarga bahagia dari hasil menikah secara taaruf,” potong Hasyim.“Berarti Bapak dong yang salah pilih orang,” celetuk Hamam lagi.“Si Hamam bilang kayak gitu karena dia maunya pacaran. Tahu gak, Bu, siapa nama cewek yang disukai dia?” Isna berusaha mengalihkan topik pembicaraan.“Siapa?” tanya Rahayu penasaran.“Marwah!”“Am