"Haruskah kamu seperti ini, Nir? Masalahmu apa?" tanya Mas Yudis. Wajah suamiku kini terlihat merah padam. Matanya tajam menatap Nirmala. Entah karena sepupunya telah mengungkap apa yang terjadi atau karena apa.Nirmala meneruskan langkahnya. Kini sepupu Mas Yudis tersebut tepat di depan kami. "Mas Yudis marah ya karena Mba Mayang sampai tahu apa yang sudah terjadi semalam?" tanyanya dengan wajah cemas menatap wajah Mas Yudis. "Aku minta maaf, Mas. Aku kira tadi Mba Mayang enggak ikut," lanjutnya dengan raut wajah menyesal."Memangnya apa yang sudah terjadi semalam, Nir?" tanyaku tak sabar. Perasaanku sudah tak karuan. Terombang-ambing. Tak tahu harus menyematkan kepercayaan ini pada siapa."Mas Yudis pasti membuat alasan lain untuk meyakinkan Mba Mayang ya?" tanya Nirmala dengan wajah sedih kepadaku. "Aku enggak tega sebenarnya, Mba. Perempuan baik kaya Mba dibohongi begitu saja," lanjutnya. Kemudian mendesah pelan. "Aku kasih tahu ya, Mba. Semalam Mas Yudis di sini. Alasan mobilnya
Tebakan pertamaku Pevita yang mengambil dompet Mas Yudis ternyata salah. Tebakan kedua pun salah karena bukan Daniel. Apa mungkin memang yang Nirmala sampaikan itu benar?Memikirkan itu dadaku kembali berdenyut. Nyeri. Bayangan Mas Yudis menghabiskan malam bersama Pevita membuat perutku mual.Mungkin aku lebay. Tapi ketakutan dan bayangan buruk di kepalaku nyata adanya. Mungkin ini yang disebut trauma."Mas, apa Mas benar-benar enggak ke rumah Pevita semalam?" tanyaku mulai kembali ragu pada Mas Yudis. "Apa ada yang tahu Mas benar-benar enggak kesana?" lanjutku. Sungguh aku ingin diyakinkan bahwa Mas Yudis benar-benar tidak bersama Pevita semalam."Demi Allah, Dek. Pulang dari gudang mobil Mas mogok. Itu yang membuat Mas sampai rumah dini hari. Mas jalan kaki entah berapa kilo buat cari bantuan, Dek. Hape Mas mati, Mas enggak bisa hubungi siapa-siapa," jelas Mas Yudis."Tapi sudah kita lihat, kan? Enggak ada yang ambil dompet Mas. Lalu bagaimana bisa dompet itu di rumah Pevita kalau M
Pak Umar mengantar aku dan Hilda ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan pikiranku tak karuan. Bayangan buruk tentang kondisi Mas Yudis membuat air mata ini tak bisa berhenti mengalir.Hilda terus merangkul dan menggenggam jemariku. Membuat aku merasa tak sendiri menghadapi musibah ini."Yudis pasti baik-baik saja, May. Kamu harus yakin itu!" ucapnya menyugesti pikiranku."Iya, Hil. Mas Yudis pasti baik-baik saja," ucapku meyakinkan diri sendiri. Meski itu tidaklah mudah.Perjalanan menuju rumah sakit terasa sangat lama. Padahal jarak dari rumah tidak begitu jauh. Mungkin karena efek cemas yang berlebihan.Setibanya di rumah sakit aku langsung berlari menuju IGD. Mengabsen setiap pasien yang terbaring diatas brankarnya masing-masing untuk mencari keberadaan Mas Yudis. Tak kuhiraukan Hilda yang sedang bertanya di bagian informasi. Karena aku sudah tak sabar ingin melihat kondisi Mas Yudis."Sus, pasien kecelakaan yang baru saja masuk sebelah mana ya?" tanyaku pada perawat yang terlihat se
Jemariku bergetar. Kaca-kaca di pelupuk mata tak terbendung lagi. Telapak tanganku menutup mulut agar tangisanku tak mengusik Farel."Ya Allah!" Hanya Asma Allah yang mampu keluar dari bibirku.Kuraih kembali ponsel yang tergeletak di samping tubuh. Kupandangi video yang sudah berhenti berputar dengan lelehan air mata."Sekejam inikah mereka?" gumamku.Tubuhku beringsut. Kusandarkan punggung pada kepala ranjang. Tanganku meraih headset di laci nakas. Kemudian memasangnya di telinga. Memdengarkan baik-baik percakapan mereka."Kamu jahat, Daniel! Kamu kejam!" Nirmala terlihat memukuli dada Daniel sambil menangis. Meskipun video itu bergerak-gerak tapi aku bisa melihat itu."Aku enggak pernah minta kamu mencelakakan Mas Yudis! Kamu jahat!" teriak Nirmala."Bukankah kamu mau sepupumu dan istrinya hancur?" bentak Daniel sambil mencekal lengan Nirmala."Aku hanya ingin mereka berpisah! Bukan mencelakai Mas Yudis!" teriak Nirmala."Kalau mereka berpisah kamu pikir Yudis mau sama kamu?" Danie
Wajahnya langsung menunduk saat mata kami bertemu. Entah malu atau merasa bersalah. Tubuhku segera bangkit mendekati pria dengan bekas luka bakar di wajahnya."Mas Ilham?" tanyaku dengan perasaan marah membuncah.Mataku tajam menguliti pria dengan kedua tangan disatukan dengan borgol itu. Ingin kubunuh pria di depanku ini rasanya. Apa masalahnya sampai tega mencelakai Mas Yudis?Hilda memegangi lenganku yang menegang. Sahabatku pasti takut aku kalap. Sedang kita berada di kantor polisi."Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega mencelakakan suamiku?" seruku.Mas Ilham hanya tertunduk diam."Jawab, Baj*ngan!" bentakku. "Belum puas dengan semua yang sudah kamu lakukan padaku dan Delia?"Kodorong kasar pundak Mas Ilham. Membuat tubuhnya itu terhuyung. Wajah penuh dengan bekas luka bakar itu masih terus menunduk."Jawab, Mas!" bentakku lagi."M ... maaf, Dek. Aku terpaksa. Aku ... aku butuh uang," akunya."Begini caramu mencari uang sekarang?" tanyaku geram. "Kurang baik apa selama ini Mas Yudis sam
Lututku lemas menyaksikan layar monitor dengan garis naik turun tak beraturan. Tanganku memegang erat besi brankar Mas Yudis. Menahan tubuh agar tidak ambruk."Selamatkan suamiku, Ya Allah! Jangan dulu Kau ambil dia!" lirihku diiringi derai air mata.Waktu berlalu begitu lambat. Jantungku seperti dicengkeram kuat oleh ketakutan yang teramat sangat."Bangun, Mas!" lirihku.Dokter dan perawat masih sibuk melakukan berbagai tindakan pada suamiku. Seunur hidup ini pertama kali aku begitu merasa takut kehilangan.Apa Mas Yudis dikirim Tuhan dalam hidupku untuk mengobati luka di hatiku? Kemudian setelah sembuh Dia mengambil Mas Yudis kembali?Jangan, Tuhan! Aku tak siap kehilangannya. Baru sekejap kebahagiaan ini aku rasa. Jangan ambil dia dulu!Entah berapa menit waktu berlalu. Berangsur garis-garis di layar monitor kembali stabil. Dokter terlihat menghela nafas lega.Hari terus berlalu. Mas Yudis masih belum menunjukkan perkembangan kondisinya. Setiap hari rutinitasku masih sama. Masih te
"Aku buta, Dek. Apa kamu enggak malu punya suami sepertiku?" tanya Mas Yudis serak.Aku menggeleng tegas seolah Mas Yudis melihatku. "Enggak, Mas. Mas jangan berpikir seperti itu!""Tapi bagaimana aku bisa menjaga kalian? Sedang menjaga diriku saja sekarang aku enggak bisa." Suara Mas Yudis terdengar bergetar.Kuhela nafas panjang. Mengeratkan genggaman tangan Mas Yudis. "Kita akan saling menjaga, Mas. Aku akan jadi matamu. Kita pasti mampu melalui ini.""Maafkan aku, Dek. Aku pasti akan banyak sekali merepotkanmu." Air mata Mas Yudis semakin deras."Enggak, Mas. Itu memang kewajibanku sebagai istri. Mas enggak usah banyak pikiran, ya! Sekarang yang terpenting Mas sehat dulu." Kupaksa bibir ini mengulas senyum padahal Mas Yudis tak melihatnya.Mas Yudis mengangguk. Kemudian kami saling diam. Aku benar-benar marah pada Mas Ilham, Daniel dan Nirmala. Sungguh mereka bukan manusia. Tega mereka mencelakakan orang lain. Aku bertekad besok akan menemui mereka."Dek!" panggil Mas Yudis memec
"Kenapa Bunda enggak jujur sama aku?" Delia menatapku dengan kaca-kaca di mata saat aku baru saja memasuki kamar.Aku tertegun memandangnya. Mungkinkah Delia tahu tentang Mas Ilham?"Kenapa, Nda?" Kaca-kaca bening itu kini luruh mengaliri pipinya."Sayang!" Hanya itu yang terucap dari bibirku. Tak tahu harus berkata apa."Kenapa Bunda enggak bilang sama Delia?" Tubuh putriku bergetar oleh tangis.Kurengkuh dia dalam pelukan. Kuusap lembut rambut yang memanjang sampai punggungnya."Kenapa, Nda? Kenapa Delia harus punya Ayah jahat seperti dia? Kenapa, Nda?" Delia tergugu dalam pelukanku."Delia enggak mau punya Ayah seperti dia, Nda! Delia enggak mau!"Hatiku pedih. Mas Ilham tak henti-hentinya membuat anaknya terluka. Kenapa putriku harus terluka berkali-kali seperti ini, Tuhan? Dia tak salah apa-apa."Nda, tolong buat Delia bukan lagi anak dari penjahat seperti dia, Nda!"Hatiku sakit melihat anakku terluka begini. Ibu mana yang tak terluka melihat nasib anaknya begini menderita."Ma