Hari yang ditunggu telah tiba, pesta pernikahan Devan dan Kanaya sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dipersiapkan dengan baik. Seluruh orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Gedung mewah menjadi tempat berlangsungnya acara pesta. Pak Pratama mengundang seluruh keluarga, teman, relasi dan rekan bisnisnya. Ia tidak ingin ada yang kurang dalam pesta pernikahan sang putra. "Wow. Benar-benar menakjubkan. Tempat ini sangat mewah, jadi pengen cepet nikah," kelakar Mili. Ia bersama Resti sudah berada di tempat pesta. Mereka berdua juga sedang menunggu kedua lelaki yang saat ini sudah mengisi hati. Sejak pertemuan satu minggu yang lalu saat acara syukuran, Mili semakin lengket dengan Andre. Sahabat Kanaya itu baru tahu kalau Andre adalah sekretaris Devan. Sementara Resti, juga semakin dekat dengan dokter keluarga Pratama, yaitu dokter Aldo. Keduanya kerap bertukar kabar lewat ponsel dan mencuri waktu bertemu saat Aldo berkunjung. "Aah, itu dia kekasihku
"Mau apa wanita ular ini datang kemari? Siapa yang mengundangnya?" geram Bu Herlin. Kanaya melihat dengan seksama wajah tamu yang berada di depannya. Ya, dia ingat. Wanita itu adalah wanita yang beberapa kali memarahinya karena tidak sengaja menabrak. Sementara Devan terlihat geram karena tidak merasa mengundang Revi. Begitupun Bu Herlin yang enggan melihat wanita yang pernah membuat Devan patah hati itu. "Terima kasih atas kedatangannya," ujar Kanaya yang membuat Devan menoleh. "Oh, rupanya kamu istrinya Devan. Kupikir lebih dari ini," sinis Revi. Ia menatap Kanaya dari atas sampai bawah, merasa dirinya lebih baik dari Kanaya. Bahkan ia bersikap sok cantik di hadapan Devan saat ini. "Wanita sepertimu tidak diundang dalam pesta ini. Lebih baik pergi dari sini," ujar Bu Herlin pelan. Ia menarik tangan Revi dan memintanya pergi. Namun, Revi malah melepaskan pegangan tangan Bu Herlin dan berkata, "Aku hanya memberikan selamat pada Devan, Tante. Apa Tan
Sekilas bayangan masa kecil terlintas dalam pandangan Kanaya. Dia yang saat itu berlari mengejar sang Ibu yang membawa tas besar berisi baju yang baru dikeluarkan dari lemari. Dengan kaki-kaki kecilnya, Kanaya membuntuti sang Ibu. Hujan dan petir yang menggelegar tak membuatnya menghentikan langkah kaki, karena tidak ingin ditinggalkan ibunya. Meski diguyur hujan dan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan, Kanaya meraih kaki Bu Dewi agar tidak pergi. "Ibu mau ke mana, Bu? Aya ikut Ibu." "Jangan ganggu Ibu! Sana sama ayahmu! Biarkan Ibu pergi jauh, Ibu sudah nggak kuat tinggal bersama kalian." Bu Dewi melepaskan tangan Kanaya yang menahan kakinya. Sebuah mobil berwarna hitam telah menunggu tepat di depannya. "Jangan tinggalin Aya, Bu, Aya mau sama Ibu," rengek Kanaya dibarengi dengan tangisan. Tubuhnya kehujanan, tapi ia tetap menahan kaki ibunya. Hujan makin deras, suara petir menggelegar di atas kepala, ditambah bentakan sang Ibu yang memintanya menjauh. Kana
Kanaya Permata Dewi. Nama yang mengingatkan Dewi, pada bayi cantik yang begitu dinantikan kelahirannya. Ia yang memilih nama itu dan menyisipkan namanya sebagai bukti cinta pada sang buah hati. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Karena kondisi keuangan keluarganya saat itu sangat tidak menentu. Sebagai tukang jahit kampung, Pak Ali saat itu belum terlalu banyak pelanggan. Bahkan bisa dibilang sangat jarang mendapatkan orderan. Bekerja serabutan asal bisa mendapatkan uang, itu yang Pak Ali lakukan. Namun, tahun demi tahun berlalu, kehidupan mereka semakin buruk. Hingga Dewi tergoda dengan lelaki kaya raya dari kota yang ternyata telah memiliki anak dan istri. Dewi silau akan harta yang ditawarkan Rudi. Ia tertarik untuk menjadi simpanan lelaki itu dan tega meninggalkan suami serta anaknya demi harta dan kehidupan mewah. Kini, ia tahu jika putri kecil yang ka tinggalkan dulu telah menjadi menantu seorang Pratama. "Mungkinkah dia masih mengenaliku?" batin
"Jadi Aya meminta bertemu dengan Dewi?" "Iya, Ma. Ia sangat yakin untuk bertemu. Aku tidak mungkin mencegah, aku akan menemaninya," jelas Devan yang saat ini berada di kamar sang Mama. "Mama ikut!" ujar Bu Herlin. "Kami juga ikut, boleh kan, Nak Devan?" Bu Siti pun meminta ikut. Devan mengangguk, lalu bergegas menemui sang istri yang sudah menunggu. "Kau sudah siap?" "Eem." Kanaya sudah bersiap menemui ibunya. Kini ia ditemani sang suami, menuju sebuah ruangan tempat mereka akan bertemu. Bu Herlin dan Bu Siti serta Pak Karman pun ikut bersamanya. Dewi sendiri sudah diberitahu bahwa akan ada seseorang yang ingin menemuinya. Saat pintu ruangan terbuka, Dewi sudah berada di sana dan berdiri. Kanaya merasakan debaran dalam dadanya, mengingat semua kenangan masa kecil yang tiba-tiba terlintas dalam ingatan. Ya, wajah itu benar-benar wajah ibunya. Ibu yang meninggalkan dirinya, membuatnya menahan rasa rindu setiap saat. Rasa sakit dan kerindu
84 "Jadi, perempuan itu putri kandung Mama?" Revi mengulang pertanyaan pada mamanya yang datang dengan membawa kabar mengejutkan. Dewi menceritakan segalanya kepada suami dan anaknya. Pak Rudi tidak terlalu kaget karena ia sudah tahu sejak dulu jika Dewi memiliki seorang anak perempuan. Bahkan ia sendiri yang membawa Dewi pergi dari rumahnya, dan membiarkan anak perempuan itu menangis memanggil-manggil ibunya. Ya, mereka berdua sama-sama tidak memiliki hati. Namun tentu saja, Revi terkejut karena ia pikir, wanita yang menjadi ibu tirinya itu tidak memiliki seorang anak kandung. Kini ia merasa semakin membenci Kanaya. Akan tetapi, ia tidak ingin Dewi membagi kasih sayang untuk Kanaya, meski wanita itu adalah putri kandung mama tirinya. Selama ini ia sangat diratukan meski oleh seorang ibu tiri. Ya, Bu Meriana--ibu kandung Revi, meninggal saat ia masih kecil. Papanya menikah lagi dengan Dewi, yang ternyata begitu menyayangi dirinya. Meski kehilangan mama, Revi tidak
Keluarga Pratama kedatangan tamu di malam hari. Mereka menyelesaikan makan malam dan menuju ruang tamu, di mana tamu mereka tengah duduk sambil menunggu sang empunya rumah. Bu Herlin menatap sinis kedua tamu perempuan yang sedang duduk berdampingan. Kanaya bersama Devan berjalan lebih dahulu, lalu menghenyakkan tubuh di sofa setelah bersalaman dengan Dewi dan Revi. Hanya Kanaya, karena Devan tidak terlalu peduli. Begitupun Bu Herlin, yang hanya duduk tanpa menyalami kedua tamu itu. "Silakan duduk." Dengan senyuman, Kanaya mempersilakan kedua tamunya untuk duduk kembali. "Bagaimana keadaanmu, Sayang? Apa sudah baikan? Ibu bawakan kamu jamu penguat kandungan agar janinnya kuat. Ibu tahu kamu sedang mengandung cucu Ibu. Ah, senangnya, sebentar lagi aku akan jadi oma. Pasti dia akan setampan papanya, dan secantik mamanya," ujar Dewi dengan mata berbinar. Botol yang katanya berisi jamu itu diletakkan di meja. "Dasar tak tahu malu," cibir Bu Herlin dalam hati.
Sebulan setelah kepulangan Pak Karman dan bu Siti ke kampung halamannya, Dewi kerap datang ke rumah keluarga Pratama, untuk sekedar berjumpa dengan Kanaya. Meski tidak terlalu diterima oleh Bu Herlin, ia tidak peduli. Karena yang ia datangi adalah putri kandungnya sendiri. Kanaya pun tidak bisa untuk menolaknya, karena ia berharap sang Ibu bisa benar-benar berubah menyayanginya dengan tulus. Dewi juga sering membawakan makanan untuk Kanaya, meski putrinya itu tidak begitu antusias. Hari ini, ia datang lagi dengan Revi, membawa buah-buahan dan beberapa kue. Ia ingin lebih dekat dengan Kanaya, karena ia merasa lebih memiliki hak dari pada Bu Herlin, mertuanya. "Hari ini kamu kelihatan segar sekali, Sayang. Ibu bawa kue buatan Ibu sendiri. Cobalah, kamu pasti suka." Dewi membukakan kue yang dibawanya. Kanaya hanya tersenyum dan mengangguk seraya mengambil satu buah kue itu. Biar bagaimanapun, ia tidak ingin membuat kecewa dengan menolak pemberian ibunya. Meski selama