"Aku hanya membantumu mengurangi rasa sakit, dan supaya darahnya juga nggak mengalir terus."
Kanaya melepaskan tangannya dari tangan Devan, "Biarin!" ketusnya. Dengan sedikit kesal, Kanaya melanjutkan aktifitasnya.
Devan merasa aneh dengan sikap Kanaya. Baru tadi pagi bersikap baik, sekarang tiba-tiba ketus padanya.
***
"Apa?! Kamu menikahi seorang gadis dan mengaku sebagai tukang ojek? Bagaimana bisa!" teriak Radit dalam sambungan telepon. Devan menjauhkan ponsel dari telinga, karena suara sekretaris sekaligus saudara angkatnya itu terdengar memekakkan telinga.
"Iya, dan aku tinggal bersama di rumahnya. Dia seorang gadis cantik yang mandiri, aku suka melihatnya." Devan tersenyum mengingat wajah Kanaya.
"Gila! Pergi dari rumah gara-gara tidak mau dinikahkan, sekarang malah udah nikahin anak orang tanpa pemberitahuan, dasar aneh! Lagian apa sih kurangnya Zalia, wanita sholehah dan cantik putri seorang ustadz terkenal, malah ditinggal pergi!"
"Kamu mana ngerti!"
"Tapi aku penasaran sih, seperti apa wajah gadis yang jadi istrimu itu. Sampai-sampai betah dan tidak mau kembali pulang dan lebih suka tinggal di kampung. Memangnya kamu bisa tidur tanpa fasilitas mewahmu?"
"Sudahlah, aku baik-baik saja, sangat baik malah. Kamu urus saja semua pekerjaan dengan baik. Oh ya, motormu masih aman bersamaku jadi jangan khawatir. Dan satu lagi, jangan beritahu Papa dan Mama soal keberadaanku!" Devan menutup panggilan telepon. Ia merebahkan tubuhnya di apartemen yang baru saja dibelinya saat ini. Tiba-tiba ia kepikiran Kanaya, karena gadis itu tidak pergi ke kampus hari ini.
Ia mengambil ponselnya lagi dan berniat menghubungi Kanaya. Namun ia ingat jika dirinya tidak memiliki nomor ponsel istrinya itu. "Nomor istri sendiri nggak punya, dasar aneh!" ia terkekeh sendiri.
Devan pun menghubungi seseorang, "Cari tahu nomor ponsel istriku!" Lima belas menit kemudian, ada notif dari ponselnya dari orang suruhannya dan ia berhasil mendapatkan nomor ponsel Kanaya. Ia menyimpan dan menamainya "Istri".
Devan melihat foto profil Kanaya dan tersenyum, "Meski sedikit galak, tapi senyumnya manis dan langka." Tak henti-hentinya Devan menatap kagum pada foto profil istrinya. Ia tidak menyangka, kepergiannya dari rumah membuatnya menikahi seorang gadis yang hidup sebatang kara, dan hidup sederhana namun penuh semangat dan pekerja keras.
Hari itu, Devan bertengkar dengan papanya, saat ia mengetahui perjodohan yang dilakukan sang Papa tanpa melibatkan dirinya.
"Papa apa-apaan sih, Pa. Aku ini bukan anak kecil yang bisa diatur-atur! Lagian siapa juga yang mau menikahi wanita pilihan Papa itu? Aku tidak peduli dengan pernikahan!"
"Tapi umurmu saat ini sudah matang dan sudah waktunya berrumah tangga, Devan! Jangan lagi memikirkan Revi si wanita ular itu! Semua rekan-rekan Papa sudah menimang cucu, tapi kamu masih saja belum menikah. Bahkan banyak yang membicarakan bahwa kamu ini memiliki kelainan karena begitu cuek dan tidak tertarik pada wanita. Papa khawatir tidak ada yang mau sama kamu, jika kamu terus-terusan bersikap dingin pada semua wanita yang mendekatimu!"
"Para wanita pilihan Papa itu semuanya agresif, dan aku nggak suka itu! Terlihat seperti wanita murah*n karena berusaha mendapatkan perhatianku. Lagi pula semua wanita itu mendekatiku karena aku ini putra tunggal seorang Pratama. Pemilik perusahaan Pratama Group yang memiliki banyak cabang perusahaan. Coba saja kalau aku bukan anak Papa, pasti mereka tidak akan ada yang mau mendekatiku. Mereka hanya gila pada status dan kedudukan. Tidak ada yang tulus padaku."
"Tidak semua wanita seperti Revi, Nak," ujar sang Mama yang ikut berbicara. "Zalia putri Ustadz Zaki, dia adalah wanita sholehah yang berpendidikan dan tidak seperti wanita-wanita yang kamu kenal sebelumnya. Dia wanita baik yang tidak silau akan harta, dia pasti bisa mencintaimu dengan tulus. Cobalah untuk menemuinya dulu, kita bisa berkunjung ke rumahnya besok pagi."
"Nanti Devan pikirkan lagi!"
"Tidak ada nanti-nanti! Besok kita akan ke rumah Ustadz Zaki. Papa sudah membuat janji dengannya untuk membicarakan pernikahan kalian. Papa nggak mau kalau sampai kamu bikin malu Papa, karena nggak mau ke sana. Papa bisa malu jika ingkar janji pada Ustadz Zaki, beliau sudah menolak banyak acara demi menunggu kedatangan Papa," tegas Pak Pratama.
"Kenapa Papa tidak berbicara dulu padaku! Aku nggak suka diperlakukan seperti anak kecil yang dipaksa-paksa! Aku tidak akan ke sana besok!" Devan berlalu meninggalkan Pak Pratama dan istrinya.
"Devandra!" teriak Pak Pratama namun tidak digubris oleh sang anak.
"Sabar, Pa, sabar, tidak perlu memaksanya. Dia itu sama keras kepalanya denganmu, dia pasti akan tetap pada pendiriannya. Dia tidak akan suka dipaksa," ucap sang istri menenangkan.
"Tapi sampai kapan, Ma? Jangan-jangan benar, anak kita tidak suka wanita! Ya Tuhan, bagaimana cara kita menyadarkan Devan?"
"Ya ampun Papa, tidak mungkin anak kita seperti itu. Dia hanya belum mendapatkan cinta seperti yang dia harapkan. Mungkin dia masih kecewa pada cinta pertamanya."Devan mendekati Radit yang tengah mengelap motor kesayangannya, "Mana kunci motormu?"
"Pagi-pagi tanya motor, buat apa?"
"Pinjam sebentar!"
"Tunggu-tunggu! Seorang Devandra Putra Pratama, mau naik motor bututku? Nggak salahkah? Bisa-bisa seisi dunia menertawakanmu!" Radit meledek Devan.
"Sudahlah, jangan banyak bicara, kasih cepat!"
"Iya-iya, nih! Awas jangan sampai motorku lecet! Ini adalah motor klassik yang langka, susah mendapatkan onderdilnya sekarang, jangan sampai kenapa-napa. Memangnya mau ke mana, sih?"
"Cerewet! Sudah seperti pemimpin perusahaan Pratama Group saja!"
"Lhah, dia membicarakan papanya! Apa kamu sedang bertengkar dengan Papa?" Radit mendekati Devan yang sudah menaiki motor kesayangannya.
"Iya! Aku kesal padanya, lagi-lagi mau membawakan seorang calon istri!"
"Tapi, Zalia seorang gadis yang cantik dan sholeh, kamu tidak akan rugi memilihnya." Radit menepuk pundhak Devan, seorang yang menjadikannya saudara.
"Jadi kamu juga sudah mengetahui tentang perjodohan kali ini? Kenapa kamu tidak memberitahuku?" geram Devan.
"Papa melarangku," jawab Radit.
"Ah! Kalian sama saja! Tidak ada yang mau peduli perasaanku!" Devan menyalakan mesin motor dan membawanya pergi.
"Dev! Devan!" teriak Radit namun Devan tidak memperdulikan dan semakin mempercepat laju motornya. "Huh, dasar! Dikasih cewek cakep dan sholehah malah nggak mau, coba aja Papa Pratama menjodohkanku dengan Zalia, pasti aku akan langsung menerimanya. Sayangnya, semua itu tidak mungkin terjadi. Sudah dianggap anaknya saja aku sudah sangat beruntung."
Devan membawa motor Radit menjauhi kota Jakarta, kota kelahirannya. Ia terus berkendara tanpa peduli ke mana ia pergi. Berjam-jam ia berada di atas motor Radit. Sesekali ia beristirahat di sebuah rumah makan dan juga di pom bensin untuk mengisi bahan bakar.
Tubuhnya terasa lelah, namun ia juga menikmati perjalanannya. Baru kali ini ia bisa berkendara di atas motor seharian. Hingga ia tiba di sebuah kota yang jauh dari tempat tinggalnya. Tepatnya di kota Jepara, kota yang terkenal dengan seni ukirnya dan dikenal sebagai 'Kota Ukir'.
Dirinya terus melajukan motornya sampai memasuki sebuah perkampungan. Waktu yang sudah gelap, membuatnya kesulitan mencari tempat penginapan. Devan merasakan ingin buang air kecil, tetapi tidak menemukan toilet umum ataupun mushola. Ia melihat pos ronda dan buang air kecil di belakang pos ronda tersebut.
Kondisi hujan yang tiba-tiba mengguyur, membuatnya terburu-buru masuk ke dalam pos ronda. Namun ia tidak menyangka, jika itu adalah awal dari sebuah kejadian yang membuatnya mendapatkan masalah di tempat itu.
"Maaf, ikut berteduh ya," ucap Devan. Ia berdiri agak berjauhan dengan seorang gadis muda yang ternyata sudah ada di pos ronda, dan juga sedang berteduh. Hujan semakin deras, membuat hawa dingin semakin terasa. Devan melihat gadis muda di depannya kedinginan karena tidak memakai jaket. Merasa kasihan, ia melepas jaket yang ia kenakan dan memberikannya pada gadis itu. "Tidak usah, Mas. Buat Mas aja, lagi pula rumahku dekat dari sini, kalau aku pakai, nanti Masnya yang kedinginan. Sepertinya Mas ini bukan orang sini," tolak gadis muda itu. "Tidak apa-apa, aku kan laki-laki, tidak akan kedinginan." Saat menyerahkan jaketnya, Devan malah terpeleset karena tempatnya licin. Kanaya yang hendak menolong, juga ikut terjatuh dan berada tepat di atas tubuh Devan. Saat hendak berdiri, tiba-tiba mereka diteriaki oleh seorang bapak-bapak yang membuat beberapa orang pun berdatangan. Mereka menuduh Devan tengah berbuat asusila bersama Kanaya. Posisi mereka yang terliha
Devan mendapatkan pesan dari orang-orang suruhannya yang mengawasi Kanaya. Ia membuka video Kanaya yang tersenyum membawa bunga mawar merah dan diiringi suara pengamen yang menyanyikan lagu cinta. Hatinya terasa perih dan dadanya panas seperti terbakar. Apa lagi saat melihat ada laki-laki di samping Kanaya. Laki-laki itu adalah Alex. Devan merasa frustasi. Setelah sekian lama tidak merasakan perasaan indah pada seorang wanita, kini dia dapat merasakannya kembali pada gadis yang tiba-tiba ia nikahi. Namun ia harus sadar jika ternyata ada Alex diantara mereka. Sejak patah hati pada cinta pertamanya yang bermain di belakang dengan sahabatnya, ia tidak percaya lagi pada wanita dan cinta. Banyak wanita yang mendekatinya, tapi ia selalu acuh dan tidak peduli. Namun saat melihat Kanaya, hatinya merasakan cinta itu hadir kembali. Tapi lagi-lagi, ada laki-laki lain yang juga dekat dengan wanita yang ia cintai. Itu membuatnya kecewa. "Kenapa baru pulang?" Devan menanyai Kanaya yang baru saj
Kanaya dipanggil oleh dosennya. Rupanya pihak kampus juga sudah mengetahui tentang video itu. Namun karena tidak ingin berita ini tersebar luas, pihaknya meminta seluruh mahasiswa yang mendapatkan video itu untuk segera menghapusnya dan tidak menyebarluaskannya. Menurutnya, Kanaya adalah mahasiswa terbaik di kampus. Pihak kampus tidak mau jika nama Kanaya menjadi buruk akibat video tersebut. Itulah sebabnya, video itu bisa segera diatasi. Meski sedikit heran karena Kanaya tidak mendapat sanksi apa-apa, semua mahasiswa hanya bisa diam. "Gimana, Ay?" tanya Mili. "Aman. Nggak tau gimana ceritanya, tapi semua ponsel milik mahasiswa yang punya video itu, sudah disita dan dihapus permanen oleh pihak kampus. Tapi aku bersyukur banget sih, meski itu tetap tidak akan membuat keadaan kembali seperti dulu lagi," ucap Kanaya penuh kelegaan. "Iya, ponselku juga tadi diminta sama Pak Iyan," sahut Mili. "Syukurlah, jadi video itu sudah nggak ada lagi sekarang."
Kanaya baru saja sampai di depan rumah. Ia heran mengapa terdengar suara orang bercengkrama di dalam rumahnya. Setelah mendekat, ia baru mengenali bahwa itu adalah suara paman dan bibinya. "Assalamualaikum." "Wa alaikumussalam, Aya, baru pulang, Ndhuk? Sini, duduk!" ajak Bu Siti, sang bibi yang tadinya sedang berbicara dengan suaminya dan juga Devan. "Ada apa, Bibi dan Paman tiba-tiba ke sini?" Tanya Kanaya setelah duduk di samping bibinya. "Ini, Bibi hanya memastikan saja katanya kamu ada tanda-tanda hamil, jadi Bibi cepat-cepat kemari. Jadi benar kamu hamil, Ndhuk? Kalau lagi hamil, lebih baik istirahat saja, jangan pergi kuliah dulu. Pasti boleh ijin, kan, kalau memungkinkan harus istirahat?" tanya Bu Siti yang membuat Kanaya kebingungan. "Ha-hamil?" "Iya, Bibi senang sekali mendengarnya." Bu Siti kelihatan begitu bahagia saat berbicara dengan Kanaya. Sementara Kanaya, gadis itu bingung dengan paman dan bibinya yang tiba-tiba datang dan me
"Ini negatif?" "Iya, Bi." "Owalah, tapi nggak apa-apa, nanti juga kalau sudah waktunya, pasti diberi kepercayaan sama Gusti Allah." Kanaya hanya mengangguk mengiyakan ucapan bibinya. "Jamu yang dibawa Alin tadi, nanti diminum, ya! Biar tubuhmu semakin sehat, dan juga biar cepat hamil," tambah Bu Siti. "Ah, Bibi. Lagian hamil kan bisa ditunda, nanti-nanti juga bisa." "Eh, nggak boleh gitu! Lihat Bibi, gara-gara nunda hamil terlalu lama, kandungan jadi kering. Akhirnya cuma punya Alin, itu pun saat usia Bibi sudah cukup tua." "Itu, 'kan dulu, Bi. Sekarang jaman sudah modern, apa-apa sudah bisa direncanakan dengan baik." "Jangan ngeyel, Aya. Atau, kamu belum bisa menerima pernikahan ini?" Kanaya hanya diam tanpa menjawab. "Dengarkan Bibi, Ndhuk, kalian sudah menikah dan dia sudah menjadi suamimu. Kamu harus menjadi istri yang baik untuk suamimu. Bibi lihat, Devan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Pamanmu juga bilang begitu. Malahan,
"Sudahlah, Lex, jangan seperti ini, tidak enak dilihat orang-orang." "Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau memaafkanku dan kita seperti dulu lagi, Ay." Alex berlutut di depan Kanaya dan disaksikan oleh teman-temannya. Tentu saja Kanaya merasa malu dan risih ditatap oleh banyak orang. Terlebih ia melihat Cintia yang menahan amarahnya. "Sudah kubilang aku memaafkanmu, jadi berhenti bersikap seperti ini." "Dan kita bisa jalan, makan, nonton bareng seperti dulu lagi?" tanya Alex dengan mata berbinar. "Maaf, Lex, kalau itu, aku nggak bisa. Kamu tahu bagaimana aku sekarang. Jadi kuharap, kita tetap bisa berteman biasa tanpa berlebihan." "Tidak bisa begitu, Ay, aku ingin kita seperti dulu lagi. Seperti dulu sebelum ada laki-laki itu diantara kita. Lagi pula, namamu belum terdaftar dalam surat nikah dengannya, itu artinya, kamu bukan milik siapa-siapa!" "Alex!" Terlihat Bu Mirna datang dengan berkacak pinggang. Ia berjalan cepat mendekati anaknya yan
Kanaya menyambut uluran tangan Radit, "Kanaya," ucapnya. "Jadi, Anda yang menyewa villa ini?" Radit mengangguk. Kanaya merasa bingung, karena Devan memiliki seorang bos. Padahal selama ini Devan mengaku sebagai tukang ojek. 'Kalau laki-laki ini bosnya, lalu dia bekerja sebagai apa?' "Kamu pasti bertanya-tanya tentang pekerjaan suamimu, 'kan? Jangan khawatir, dia itu memang tukang ojek beneran. Hanya saja, karena saya berbaik hati padanya, saya memintanya mengantar jemput adik saya ke sekolah. Karena adik saya itu tidak suka naik mobil. Dan gajinya, ya, diatas rata-rata pastinya, karena saya bukan bos yang pelit," jelas Radit. Devan terlihat menahan amarah tapi berusaha mengendalikannya. Ia tidak mau sandiwaranya terbongkar. Terpaksa ia mengikuti alur yang diciptakan saudara angkatnya, yang seolah ingin balas dendam padanya karena selama ini sering memerintahnya. "Lalu Devan juga masih bisa ngojek lagi setelah mengantar jemput adik saya, iya, 'kan, Dev?" D
"Aya!" Betapa kagetnya mereka, Kanaya berada di lantai, dalam dekapan Devan dan hanya mengenakan handuk saja. Devan menarik selimut yang ada di atas ranjang di sampingnya dan menutupi tubuh Kanaya. Ia sendiri berdiri dan menghampiri teman-temannya yang berani membuka pintu kamar tanpa permisi. Resti dan Mili menelan salivanya, saat Devan menghampiri mereka dan terlihat memendam amarah. Namun saat sudah dekat, Devan hanya berkata, "Tolong tutup pintunya!" Mendengar itu, Resti cepat-cepat menarik handle pintu dan menutupnya. Mereka kembali ke ruang tamu karena tidak ingin mengganggu aktivitas pengantin baru itu. Devan mengunci kamar dan kembali menghampiri Kanaya yang masih di lantai dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Ia menggendong tubuh ramping itu dan meletakkannya di ranjang. Menyingkap selimut yang menutupi kaki dan menyentuh kaki itu. "Aauw!" teriak Kanaya. "Ceroboh sekali, bisa-bisanya terpeleset dan terkilir begini," pungkas Devan.