Devan mendapatkan pesan dari orang-orang suruhannya yang mengawasi Kanaya. Ia membuka video Kanaya yang tersenyum membawa bunga mawar merah dan diiringi suara pengamen yang menyanyikan lagu cinta. Hatinya terasa perih dan dadanya panas seperti terbakar. Apa lagi saat melihat ada laki-laki di samping Kanaya. Laki-laki itu adalah Alex. Devan merasa frustasi. Setelah sekian lama tidak merasakan perasaan indah pada seorang wanita, kini dia dapat merasakannya kembali pada gadis yang tiba-tiba ia nikahi. Namun ia harus sadar jika ternyata ada Alex diantara mereka. Sejak patah hati pada cinta pertamanya yang bermain di belakang dengan sahabatnya, ia tidak percaya lagi pada wanita dan cinta. Banyak wanita yang mendekatinya, tapi ia selalu acuh dan tidak peduli. Namun saat melihat Kanaya, hatinya merasakan cinta itu hadir kembali. Tapi lagi-lagi, ada laki-laki lain yang juga dekat dengan wanita yang ia cintai. Itu membuatnya kecewa. "Kenapa baru pulang?" Devan menanyai Kanaya yang baru saj
Kanaya dipanggil oleh dosennya. Rupanya pihak kampus juga sudah mengetahui tentang video itu. Namun karena tidak ingin berita ini tersebar luas, pihaknya meminta seluruh mahasiswa yang mendapatkan video itu untuk segera menghapusnya dan tidak menyebarluaskannya. Menurutnya, Kanaya adalah mahasiswa terbaik di kampus. Pihak kampus tidak mau jika nama Kanaya menjadi buruk akibat video tersebut. Itulah sebabnya, video itu bisa segera diatasi. Meski sedikit heran karena Kanaya tidak mendapat sanksi apa-apa, semua mahasiswa hanya bisa diam. "Gimana, Ay?" tanya Mili. "Aman. Nggak tau gimana ceritanya, tapi semua ponsel milik mahasiswa yang punya video itu, sudah disita dan dihapus permanen oleh pihak kampus. Tapi aku bersyukur banget sih, meski itu tetap tidak akan membuat keadaan kembali seperti dulu lagi," ucap Kanaya penuh kelegaan. "Iya, ponselku juga tadi diminta sama Pak Iyan," sahut Mili. "Syukurlah, jadi video itu sudah nggak ada lagi sekarang."
Kanaya baru saja sampai di depan rumah. Ia heran mengapa terdengar suara orang bercengkrama di dalam rumahnya. Setelah mendekat, ia baru mengenali bahwa itu adalah suara paman dan bibinya. "Assalamualaikum." "Wa alaikumussalam, Aya, baru pulang, Ndhuk? Sini, duduk!" ajak Bu Siti, sang bibi yang tadinya sedang berbicara dengan suaminya dan juga Devan. "Ada apa, Bibi dan Paman tiba-tiba ke sini?" Tanya Kanaya setelah duduk di samping bibinya. "Ini, Bibi hanya memastikan saja katanya kamu ada tanda-tanda hamil, jadi Bibi cepat-cepat kemari. Jadi benar kamu hamil, Ndhuk? Kalau lagi hamil, lebih baik istirahat saja, jangan pergi kuliah dulu. Pasti boleh ijin, kan, kalau memungkinkan harus istirahat?" tanya Bu Siti yang membuat Kanaya kebingungan. "Ha-hamil?" "Iya, Bibi senang sekali mendengarnya." Bu Siti kelihatan begitu bahagia saat berbicara dengan Kanaya. Sementara Kanaya, gadis itu bingung dengan paman dan bibinya yang tiba-tiba datang dan me
"Ini negatif?" "Iya, Bi." "Owalah, tapi nggak apa-apa, nanti juga kalau sudah waktunya, pasti diberi kepercayaan sama Gusti Allah." Kanaya hanya mengangguk mengiyakan ucapan bibinya. "Jamu yang dibawa Alin tadi, nanti diminum, ya! Biar tubuhmu semakin sehat, dan juga biar cepat hamil," tambah Bu Siti. "Ah, Bibi. Lagian hamil kan bisa ditunda, nanti-nanti juga bisa." "Eh, nggak boleh gitu! Lihat Bibi, gara-gara nunda hamil terlalu lama, kandungan jadi kering. Akhirnya cuma punya Alin, itu pun saat usia Bibi sudah cukup tua." "Itu, 'kan dulu, Bi. Sekarang jaman sudah modern, apa-apa sudah bisa direncanakan dengan baik." "Jangan ngeyel, Aya. Atau, kamu belum bisa menerima pernikahan ini?" Kanaya hanya diam tanpa menjawab. "Dengarkan Bibi, Ndhuk, kalian sudah menikah dan dia sudah menjadi suamimu. Kamu harus menjadi istri yang baik untuk suamimu. Bibi lihat, Devan lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Pamanmu juga bilang begitu. Malahan,
"Sudahlah, Lex, jangan seperti ini, tidak enak dilihat orang-orang." "Aku tidak akan bangun sebelum kamu mau memaafkanku dan kita seperti dulu lagi, Ay." Alex berlutut di depan Kanaya dan disaksikan oleh teman-temannya. Tentu saja Kanaya merasa malu dan risih ditatap oleh banyak orang. Terlebih ia melihat Cintia yang menahan amarahnya. "Sudah kubilang aku memaafkanmu, jadi berhenti bersikap seperti ini." "Dan kita bisa jalan, makan, nonton bareng seperti dulu lagi?" tanya Alex dengan mata berbinar. "Maaf, Lex, kalau itu, aku nggak bisa. Kamu tahu bagaimana aku sekarang. Jadi kuharap, kita tetap bisa berteman biasa tanpa berlebihan." "Tidak bisa begitu, Ay, aku ingin kita seperti dulu lagi. Seperti dulu sebelum ada laki-laki itu diantara kita. Lagi pula, namamu belum terdaftar dalam surat nikah dengannya, itu artinya, kamu bukan milik siapa-siapa!" "Alex!" Terlihat Bu Mirna datang dengan berkacak pinggang. Ia berjalan cepat mendekati anaknya yan
Kanaya menyambut uluran tangan Radit, "Kanaya," ucapnya. "Jadi, Anda yang menyewa villa ini?" Radit mengangguk. Kanaya merasa bingung, karena Devan memiliki seorang bos. Padahal selama ini Devan mengaku sebagai tukang ojek. 'Kalau laki-laki ini bosnya, lalu dia bekerja sebagai apa?' "Kamu pasti bertanya-tanya tentang pekerjaan suamimu, 'kan? Jangan khawatir, dia itu memang tukang ojek beneran. Hanya saja, karena saya berbaik hati padanya, saya memintanya mengantar jemput adik saya ke sekolah. Karena adik saya itu tidak suka naik mobil. Dan gajinya, ya, diatas rata-rata pastinya, karena saya bukan bos yang pelit," jelas Radit. Devan terlihat menahan amarah tapi berusaha mengendalikannya. Ia tidak mau sandiwaranya terbongkar. Terpaksa ia mengikuti alur yang diciptakan saudara angkatnya, yang seolah ingin balas dendam padanya karena selama ini sering memerintahnya. "Lalu Devan juga masih bisa ngojek lagi setelah mengantar jemput adik saya, iya, 'kan, Dev?" D
"Aya!" Betapa kagetnya mereka, Kanaya berada di lantai, dalam dekapan Devan dan hanya mengenakan handuk saja. Devan menarik selimut yang ada di atas ranjang di sampingnya dan menutupi tubuh Kanaya. Ia sendiri berdiri dan menghampiri teman-temannya yang berani membuka pintu kamar tanpa permisi. Resti dan Mili menelan salivanya, saat Devan menghampiri mereka dan terlihat memendam amarah. Namun saat sudah dekat, Devan hanya berkata, "Tolong tutup pintunya!" Mendengar itu, Resti cepat-cepat menarik handle pintu dan menutupnya. Mereka kembali ke ruang tamu karena tidak ingin mengganggu aktivitas pengantin baru itu. Devan mengunci kamar dan kembali menghampiri Kanaya yang masih di lantai dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Ia menggendong tubuh ramping itu dan meletakkannya di ranjang. Menyingkap selimut yang menutupi kaki dan menyentuh kaki itu. "Aauw!" teriak Kanaya. "Ceroboh sekali, bisa-bisanya terpeleset dan terkilir begini," pungkas Devan.
Mereka menoleh ke belakang. Bu Sumi terlihat datang dengan wajah sinisnya. Tetangga yang satu itu memang selalu kepo dan julid. "Eh, Bu Sumi ngapain sih ikut-ikutan!" sinis Tini. "Ikut-ikutan? Sama orang-orang miskin seperti kalian ini? Nggak level, ya! Saya cuma mau bilang sama kalian kalau cari suami itu yang berbobot, seperti suami saya contohnya. Jangan hanya cari suami seperti tukang ojek nggak mutu. Nggak akan ada maju-majunya." "Hello Bu Sumi! Ibu pikir kita tertarik gitu sama suami buntelanmu itu! Biar pun kaya, kalau model buntelan kayak Pak Kusno begitu saya sih ogah! Sama sekali nggak enak dipandang! Bikin suasana hati saya buruk aja, mending juga tukang ojek tapi selalu enak dipandang dan menyenangkan hati," sahut Tini. "Hei! Berani kamu mengatai suami saya, ya!" Bu Sumi menjambak rambut Tini dan Tini pun tidak mau kalah menjambak rambut Bu Sumi. Mereka berdua saling serang. Kanaya berusaha memisahkan mereka tapi tidak berhasil. Ia bingung kar