Hari ini, setelah menghabiskan waktu beberapa hari terbaring di ranjang, akhirnya aku bangun dan memutuskan memasak. Selain sudah merasa sehat, tak ada alasan untukku berlama-lama di tempat tidur. Oleh karena itu, siang tadi aku menyempatkan diri ke pasar, membeli beberapa bahan dapur yang memang habis sejak beberapa hari yang lalu. Arsyl cukup sibuk, karena mengganti waktu kerja selama aku sakit. Itu sebabnya, dia tak sempat berbelanja. Meski selama aku sakit, makanan tetap tersedia. Kiriman Mama Indi, juga ibuku. Hari ini, aku akan menyiapkan kejutan untuk Arsyl. Tak berlebihan rasanya, sebab dia telah merawatku dengan sabar selama ini. Anggap saja, ini sekaligus ucapan terima kasih atas kesabarannya. Aku bahkan tidak menyangka, dia merelakan banyak hal hanya demi menemaniku. Apalah memang ... Aku begitu berharga untuknyq?Aku baru saja mandi dan berniat memilih baju, ketika tak sengaja membuka laci di salah satu lemari. Sejenak, aku tertegun ketika mendapati map berwarna kuning
“Itu kesukaan kamu, itu juga, itu juga.” Begitu kata Arsyl sembari menunjuk ke meja, pada deretan makanan yang tadi dibawa Mama Indi untukku. “Kadang, aku heran sama mama. Yang jadi anaknya itu, aku atau kamu?” Dia berkata lagi. “Yang dikirim makanan kesukaan kamu semua, sampai mama lupa sama anaknya sendiri.”Aku hanya tertawa menanggapi kalimatnya. Dia memang benar. Mamak Amy selalu mengingat aku, bahkan sejak dulu sebelum aku menjadi menantunya. Sepulang dari jalan-jalan atau berlibur, Mama akan menelepon dan berkata bahwa dia memiliki oleh-oleh untukku. "Mama juga ngirim makanan buat kamu. Ada woky ayam sama ikan cakalang suwir. Tapi, karena kebanyakan dan banyak makanan lain, jadinya aku simpen di kulkas. Mau aku panasin?" Aku menawarkan. Dia menggeleng, lalu merentangkan satu tangan ke arahku. "Nggak usah. Aku makan kue ini aja. Nggak mau makan lagi." "Yakin, nggak nyesel?" Dia hanya menggeleng. Bila sudah begini, aku merasa dia memang banyak mewarisi sifat mamanya. untuk s
Pagi kami berjalan seperti sedia kala, layaknya ratusan hari yang telah terlewati. Arsyl sibuk dengan olahraga, aku berkutat menaklukkan dapur. Sebenarnya, sejak awal menikah kami melakukan ini. Tak ada yang aneh, tak ada yang istimewa. Hanya saja, kali ini aku merasa semuanya berbeda, seperti ada yang istimewa. Beberapa kali aku menoleh ke ara pintu. Sudah hampir jam setengah tujuh, tetapi Arsyl masih belum juga kembali. Apa lagi kali ini? Apakah salah satu tetangga mengajaknya menjadi panitia kegiatan RT lagi?Dibanding aku, Arsyl memang lebih akrab dengan tetangga. Maklum, dia tinggal di sini sejak lajang, dan aku belum genap setahun menemaninya. Sering tetangga mengajak dia terlibat dalam kegiatan di kompleks perumahan ini, seperti beberapa saat lalu ketika mereka berembuk soal perayaan hari kemerdekaan. Sebenarnya aku sudah melarang, takut dia kelelahan. Namun, dia berkata akan melakukan semuanya. Tak apa, bukan hal yang terjadi setiap hari. Maka, aku pun tak lagi memaksakan ke
Jarak dari kantorku ke rumah Ibu tidaklah jauh. Namun, kali ini rasanya jalanan bertambah panjang ratusan kali lipat, dan kami tak kunjung sampai. Selama itu pula, Arsyl berusaha menenangkan aku yang begitu gelisah, ingin secepatnya sampai di tujuan. Saat sampai di rumah Ibu, Arsyl masih menggenggam tanganku. Dia mengangguk sekali lagi, sebagai isyarat bahwa akan selalu mendampingi. Mungkin, ini juga merupakan upaya meyakinkan kepadaku bahwa semua tentang Raya akan tetap baik-baik saja. Setelah sekian lama diam dan larut dalam kegelisahan, akhirnya aku balas mengangguk. Kuhela napas dalam, lalu memutuskan turun lebih dulu. Dalam hati, aku mengudarakan banyak doa, semoga semua tentang adikku memang baik-baik saja.Kuteguhkan hati, kemudian menuju ruang tengah beriringan dengan Arsyl. Lagi-lagi, dia meremas jemariku, menguarkan hangat sampai ke seluruh sisi kalbu. Lalu, aku memelankan langkah ketika melihat pemandangan di hadapan.Tak jauh di hadapanku kini, tampak Raya bersimpuh di
“Aku nggak benar-benar pergi, Arini. Ayahmu yang memaksaku berjanji, agar aku menyerahkan kebahagiaanmu kepada mereka. Apa yang bisa aku lakukan? Di depanku ada seorang ayah yang meminta anaknya kembali.”“Seperti yang kamu tau, aku berjuang. Tapi, aku bisa apa kalo ayahmu mau kamu menikah dengan pilihannya? Jika ayahmu berjanji akan lebih membahagiakanmu, janji apa yang harus kutepati selain menjauh?””Aku menepati janji, Arini. Aku menepati janji bikin kamu selalu bahagia. Ya, meski tentu saja bukan aku yang membahagiakanmu, tetapi kamu memang benar-benar hidup bahagia.” “Sebab, kata ayahmu, tidak ada kebahagiaan melebihi kasih sayang keluarga. Aku harus menjawab bagaimana, karena kasih sayang keluarga yang dimaksud ayahmu, adalah hal yang saat itu tidak bisa diberikan keluargaku untuk kamu.”“Apa itu salah, Arini? Aku hanya minta waktu, tapi ayahmu tidak memberikannya. Dia tidak percaya kepadaku, Rin. Dia tidak percaya kalo aku bisa meyakinkan orang tuamu supaya mereka menerimamu
'Kamu masih di Makassar?''Temui aku di tempat kemarin, jam tiga sore.'Setelah melalui perdebatan panjang dan pemikiran matang, akhirnya pesan itu kukirimkan. Beberapa kali aku menarik napas panjang, berharap ini adalah keputusan terbaik yang kuambil selama hidupku.Danar dan Arini .... Pada akhirnya, kisah kami hanya berupa sebuah elegi yang tak boleh dikenang lagi.Apa pun yang pernah terjadi dengan Danar, semuanya harus benar-benar selesai sebelum aku memulai hidup baru bersama Arsyl. Ya. Pada akhirnya, aku harus memilih hidupku sendiri. Kali ini, bukan untukku sendiri. Ada keluarga. Adikku. Ayahku. Dan ... suamiku.Meski keraguan masih membayangi, tetap saja aku meneguhkan hati. Lalu, ketika sampai di titik ini, aku merasa bangga. Sebab sebagai anak, kakak, dan juga istri ... akhirnya aku berhasil mempertahankan mereka alih-alih menjamu dan berpesta dengan egoku sendiri. Aku tidak ingin menjadi pengkhianat karena sibuk memikirkan dan mencintai laki-laki lain kala bersama suamiku
Aku mengulur tangan, lalu meraih telapak tangan Danar yang ada di meja. Meski tentu saja, sesuatu dalam dadaku berdebar ketika kembali menyentuhnya. "Kita salah, Danar. Dilihat dari sisi mana pun, tidak ada hal yang bisa membenarkan ini. Jadi, mari kita akhiri."“Apa benar, nggak ada kesempatan lagi untukku, Arini?” Danar balas menggenggam tanganku. "Meninggalkan kamu, adalah hal yang sangat aku sesali, Arini. Tidak bisakah kita kembali seperti dulu lagi?'Aku menggeleng, meski dalam hati berteriak bahwa inilah yang kuinginkan sejak lama. Pengakuan bahwa Danar menyesal meninggalkanku, dia yang mengiba karena ingin kami kembali seperti dulu, adalah hal yang aku harapkan terjadi ketika kami bertemu kembali.. Sungguh, tidak ada yang lebih kuinginkan atas kisah tanpa tepi ini selain pengakuannya. Akan tetapi, setelah yang dialami Raya, aku berpikir kembali. Melihat kekecewaan dan ketakutan Ayah serta Ibu atas perpisahan anak-anaknya, logikaku bekerja di atas semuanya. Aku tidak boleh eg
Untuk beberapa saat, aku merasa seluruh dunia ini benar-benar berhenti. Betapa tidak? Saat ini, Danar sedang mencengkeram tanganku. Posisi kami seperti nyaris berciuman, dengan dia yang menyudutkanku ke pintu lift. Ini ... ini benar-benar seperti kejadian ketika kami di Bogor dulu. Bedanya ... Arsyl. Dia ... suamiku berada tepat di depanku, menyaksikan semuanya. Siapa pun akan salah paham bila melihat posisi antara aku dan Danar saat ini. Apalagi, yang melihatku adalah Arsyl. Suamiku. Tuhan ... kalimat apa yang akan kugunakan sebagai penjelasan?“A-Arsyl, aku ....” Aku menggeleng, berusaha menjelaskan. Namun, suaraku tercekat di tenggorokan. Menghadapi situasi yang amat sialan aku benar-benar tak tahan.Sementara itu, Arsyl menatapku dan Danar bergantian, tanpa ekspresi berarti. Tatapannya dingin, paling dingin dari yang selama ini aku temui. Dia bahkan tidak pernah melihatku sedingin itu, dan ini ... mengerikan. Bagaimana bila terjadi keributan di sini? Bagaimana bila semua berakhir