Share

Bab 4. Hanya Masalah Kecil

Willa menepis senjata pertama dengan memukul pergelangan lawan. Pisau segera terjatuh. Dan remaja yang tadi memegang pisau merasa sendi lengannya terlepas. Dia menjerit setinggi langit saat merasakan nyeri yang luar biasa.

Senjata kedua terlempar oleh kibasan tas di tangan Willa. Pisau itu malah berbalik menggores lengan si penyerang.

Gadis itu membuat gerakan berputar. Senjata ke tiga dihadang dengan sebuah tendangan. Pisau terlempar jatuh ke tanah. Sebuah tendangan lagi mendarat di perut si remaja. Laki-laki muda itu terbungkuk menahan sakit sambil memegangi perut. Sebentar kemudian dia sudah muntah-muntah.

Senjata ke empat datang lebih lambat karena si penyerang mendadak jadi gugup. Willa tidak menghindar. Sambil menyeringai dia menyambut serangan itu dengan telapak tangan terbuka. Tanpa ada yang mengerti, pisau telah berpindah ke tangan Willa.

Remaja yang tadi memegang pisau membelalakkan matanya. Dia seperti sedang melihat hantu saja.

Pisau di tangan Willa berputar-putar dalam gerakan yang mengagumkan, menunjukkan bahwa si pemegang telah mahir menggunakannya. Dalam sepuluh detik yang terasa menegangkan, Willa terus memainkan senjata itu.

Dia tidak pernah membunuh. Tapi di pulau, Willa telah banyak melihat kekejaman. Jika memang harus, dia tidak keberatan melakukannya. Lagi pula dia sedang membela diri.

“Nona Anderson—“ Si remaja yang pisaunya direbut merasa lututnya lemas.

Seragam sekolah di bagian dada remaja itu direnggut. Dan pisau yang tadi digunakan untuk menyerang diletakkan di urat lehernya.

“Kau bisa mulai meminta ampun dengan berlutut. Lalu merangkaklah jika ingin pergi dari sini.” Untuk ke sekian kali Willa mengulang perintahnya.

Remaja lelaki itu bahkan tidak berani mengangguk. Dia takut sedikit gerakan akan membuat lehernya tergores. Tapi sorot mata putus asanya menyiratkan bahwa dia akan melakukan apa saja untuk pergi dari tempat itu.

Willa melepaskan si remaja yang segera terjatuh ke tanah. Tiga yang lain berlomba menjatuhkan diri untuk berlutut sebelum diperingatkan. Tanpa mengalami sendiri, mereka sudah merasa ngilu di seluruh tulang belulang membayangkan pisau itu menyentuh leher masing-masing.

Richard yang berdiri paling jauh hanya bisa menyaksikan tanpa daya empat anak buahnya yang berlutut kemudian merangkak meninggalkan tempat itu.

“K—kau, lihat saja nanti. Ini tidak berakhir di sini begitu saja.” Richard menunjuk-nunjuk dengan tangannya yang masih bisa digerakkan. Sementara tangan yang lain menggantung lemas tanpa kekuatan.

Setelah mengatakan itu, Richard berlari pergi.

“Cih, sudah kalah masih berani mengancam.”Willa memainkan pisau di tangannya sekali lagi lalu melipat dan menyimpannya ke dalam tas. Setelahnya dia berbalik dan mendapati dua orang anak muda yang menatapnya dengan mulut setengah terbuka.

“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Terima kasih.” Willa mengatakan itu untuk menyindir dua anak yang masih bungkam karena terkejut dan takjub.

Anak perempuanlah yang pertama tersadar. Dia menyenggol remaja lelaki di sebelahnya lalu bertepuk tangan dengan setengah gemetaran.

“Nona Anderson, kau hebat!”

Willa tertawa. “Hanya masalah kecil. Tikus-tikus itu bukan sesuatu yang sulit untuk dibereskan.”

Si remaja lelaki wajahnya sedikit muram. Dia berujar dengan gelisah. “Mereka akan kembali. Lebih baik kau berhati-hati. Richard pasti akan mengadu pada saudara laki-lakinya.” Dia ingin mengatakan kalau Willa juga telah menempatkan mereka dalam posisi yang sulit sekarang ini. Ke depannya, kelompok Richard tidak akan melepaskan mereka begitu saja. Tapi dia cukup tahu berterima kasih dengan tidak berterus terang. Bagaimana pun, gadis ini telah menyelamatkan mereka dengan bertaruh nyawa.

“Itu lebih baik. Aku akan menghajar sekalian saudaranya. Dia tidak mengajari adiknya dengan benar.” Willa tidak menunjukkan kecemasan sama sekali. Dia mengamati dua orang di depannya dan segera punya pemikiran lucu. “Apa kalian berpacaran?”

Si remaja lelaki berwajah tampan. Sedangkan anak perempuan itu juga memiliki kecantikan seorang gadis yang mulai tumbuh. Dia terlihat imut dengan rambut sebahunya yang ikal membingkai wajah.

Kedua anak tersentak dengan pertanyaan itu. Mereka saling pandang satu sama lain sebelum meringis dengan perasaan jijik.

“Dia adikku.”

“Dia kakakku.”

Hampir bersamaan keduanya buru-buru menjelaskan.

Hanya suara ‘oh’ yang ke luar dari mulut Willa. Pantas saja ada sedikit kemiripan pada kedua anak ini.

“Siapa nama kalian?”

Si anak perempuan segera tersipu malu. Dia seharusnya mengenalkan diri sejak awal. “Aku Olivia Harris. Ini kakakku, Ethan.”

Olivia sekaligus mengenalkan kakak laki-lakinya.

“Apa mereka sering mengganggu kalian?” Willa teringat pada sekelompok remaja yang tadi mengganggu Ethan dan Olivia.

Sebenarnya dia tengah mencari-cari dalam ingatannya nama keluarga Harris. Itu terdengar tidak asing.

“Mereka mengganggu siapa saja. Tapi memang sebelumnya dia pernah meminta uang pada kami. Ethan memberinya cukup banyak. Rupanya mereka mengingatnya.” Olivia memberitahu secara singkat.

“Sepertinya kalian cukup kaya.” Willa mencoba menilai penampilan kedua orang di depannya. Mereka terlihat biasa sekilas. Namun, jika sedikit lebih cermat, orang akan melihat bahwa barang-barang yang keduanya kenakan adalah barang-barang bermerk.

Ethan sudah membuka mulut untuk mengatakan sesuatu saat sebuah mobil berhenti di dekat mereka. Pintu mobil di dorong dan seorang pria melangkah keluar.

“Ayah!” Kedua anak terkejut dengan kedatangan lelaki itu. Mereka sontak memanggilnya bersamaan.

Willa juga melihatnya. Matanya langsung membulat saat mendapati pria yang dipanggil ayah oleh dua anak itu.

Wow!

Sang ayah adalah sosok tinggi dan kuat. Memiliki rambut berwarna cokelat, kulit yang halus dan berwarna sedikit sawo matang, matanya terlihat tajam dan ekspresif, serta memiliki struktur wajah yang simetris dan maskulin.

Sial sekali. Ternyata ada manusia yang lebih tampan dari Michael Nelson. Willa memaki sendiri.

Secara naluriah, Willa menyelipkan sehelai rambut yang dianggap menutupi pandangan, memperbaiki penampilannya dan berjalan ke arah anak beranak menakjubkan itu.

“Paman, syukurlah kau datang. Aku khawatir anak-anak nakal itu kembali.” Willa menyela pertemuan ayah dan anak. Matanya nyaris tidak berkedip menatap lelaki di depannya. Terlihat kuat. Air liurnya hampir menetes membayangkan beberapa hal.

Di sisi lain, Ethan sedikit mengerutkan kening. Willa Anderson membuat kejadian barusan terdengar menakutkan. Padahal tadi gadis ini tidak tampak gentar sedikit pun. Kemampuan bela dirinya tidak terbayangkan. Lagi pula kelompok Richard tidak akan kembali secepat itu. Mereka terluka parah.

Lalu ada apa dengan cara gadis ini menatap ayahnya? Itu terlihat tidak asing. Ethan mengenalinya sebagai tatapan penuh rasa tertarik seorang wanita pada seorang pria. Jangan katakan dia menyukai ayahnya. Ethan selalu tidak menyukai para wanita genit yang memanfaatkannya untuk mendekati sang ayah.

Aaron Harris menoleh pada asal suara dan menemukan seorang gadis muda yang menatapnya dengan mata terpesona, kalau tidak bisa dikatakan mesum. Dia bahkan merasa mata jernih itu memindainya dari ujung kepala hingga kaki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status