"Beb, aku balik ya, kamu yakin aku meninggalkanmu di sini?" tanya Sarah memastikan.
Berlian yang sudah menemui pengacara dan menjelaskan perihal ia ingin bercerai, memutuskan untuk pergi ke kediaman sepupunya selama pengacara Berlian mengurus dokumen perceraian. Kata pengacara Berlian, jika pengajuan akan diproses dan membutuhkan waktu selama satu minggu. Jadi, selama menunggu proses, Berlian akan tinggal di kediaman sepupunya. "Iya, aku turun di sini saja. Kamu hati-hati ya! Maaf, jika sudah merepotkanmu," jawab Berlian yang kini sudah berada di luar mobil. "Oke deh! Jika ada sesuatu, kabari aku. Nomor ponselmu kenapa selalu tidak aktif? Aku susah menghubungimu! Tolong ya, Lian. Kamu harus baik-baik di sini. Oke?" Berlian menangguk. "Ya. Kamu juga hati-hati saat berkendara. Masalah nomorku, aku memang tidak ingin ada yang menggangguku!" ucap Berlian. "Baiklah. Kalau begitu, aku pergi!" Set"Nak, sudah 20 tahun kamu tertidur di atas pangkuan Tuhan. Ibu merindukanmu, Nak," gumam Vania Kenneth. Wanita sepuh berdarah Indonesia itu menatap lekat foto mendiang anaknya, mata wanita tua tersebut berkabut memandangi foto sang putra yang sudah tidak ada lagi. Dia adalah ayah angkat Luke yang meninggal dunia akibat kanker otak. Di dalam foto itu, putranya tersenyum ceria, wajah penuh kebahagiaan yang tak lagi bisa Vania lihat di dunia nyata. Vania mengusap foto Alaric dengan jemari yang sudah keriput, seakan berharap bisa menyentuh wajah anaknya sekali lagi. Ethan Kenneth, tanpa sengaja melewati ruangan di mana sang istri berdiri. Ia berhenti, menatap Vania yang tengah bersedih. Dengan langkah pelan, Ethan berjalan menghampiri istrinya. "Ma. Jangan terlalu diratapi." Merasa pelukan hangat sang suami, Vania memejamkan mata. Air mata wanita sepuh itu lolos begitu saja. "Pa, bagaimana aku tidak bersedih? Dua anakku meninggal dunia. Vannet dan suaminya Daniel, meninggal aki
"Dua hari ini kamu kemana? Kenapa nomor ponselmu tidak dapat dihubungi?" Luke membuka percakapan. Ketika mobil melaju, mobil tersebut terasa seperti uji nyali. Hening, mencekam dan tegang yang dirasakan oleh Luke, Berlian, dan Julius yang tengah mengemudi. Setelah mendesak keluarga Pratama, Berlian akhirnya mau keluar dan ikut dengan Luke. Berlian tidak ingin menyeret masalah rumah tangganya kepada orang lain. Meskipun terpaksa, Berlian akhirnya mau ikut dengan suaminya. Berlian yang mendengar pertanyaan Luke tidak menggubris. Ia tetap acuh, pandangan wanita itu hanya tertuju ke arah jendela mobil. Berlian sudah malas menjawab pertanyaan yang sama. "Berlian, kau tidak tuli 'kan? Aku masih suamimu. Jika aku bertanya, jawab!" Luke kembali Bertanya. Kali ini, dengan suara yang sedikit menekan. Berlian dengan cepat menutup kedua telinganya dengan telapak t
"Panggil Berlian untuk menemuiku di bawah. Kita harus siap-siap ke acara ulang tahun neneknya!" perintah Luke kepada Julius ketika Luke sedang menatap penampilannya di cermin. Luke dengan setelan jas hitam, rambut di sisir ke belakang dengan sorot mata coklat muda yang tajam memperlihatkan wibawanya. Mesti ia tahu, jika tiba di kediaman tuan besar, wibawanya itu akan jatuh ketika ia harus berhadapan dengan keluarga Berlian. Julis mengangguk patuh. "Baik, Tuan, saya akan ke kamar Nyonya Berlian," jawab Julius berlalu.Sejak pertengkaran malam itu, Berlian tidak ingin tidur di kamar mereka lagi. Luke, mengalihkan pandangan ke arah foto mendiang ayah angkatnya. Ayah angkat yang telah mengajari Luke banyak hal. Ketika semua orang menolak kehadiran Luke, hanya ayah angkat Luke yang dengan sabar mengajari dan membimbing Luke.Sayangnya, sang ayah angkat itu belum sempat mengajari Luke cara mengelola opium menjadi obat pereda rasa nyeri. Ayah angkat ya
"Selamat ulang tahun Nyonya Kenneth. Wah, bukannya semakin tua, Anda terlihat semakin menawan," kata seorang tamu undangan mengucapkan selamat kepada Vania. Vania tersipu, senyum wanita sepuh itu malu-malu. "Terima kasih sudah berkesempatan hadir," jawab Vania. Ethan yang selalu mendampingi Vania merangkul pinggang sang istri agar menempel dengan tubuhnya, mengecup lembut pipi wanita sepuh itu dengan sayang sambil tersenyum ke arah para tamu. "Orang-orang bakar lilin agar ditiup. Tetapi, istriku ini beda. Dia bakar lilin malah jadi babi dan aku yang disuruh jaga lilin," celetuk Ethan bergurau. Mata Vania membola mendengar ucapan Ethan, ia menoleh lalu mencubit pinggang suaminya dengan gemas. "Papa, masa Mama mau dijadikan siluman ngok-ngok, sih?" ujar Vania manja. Ethan tertawa lepas mendengar ucapan manja istrinya, membuat para tamu turut tersenyum dan tertawa melihat keakraban pasangan itu. "Tentu tidak,
"Juju, untuk apa dia di sini?" gumam Luke. Kehadiran pria berwajah angkuh itu membuat Luke, Ethan, dan Vania menyipitkan mata mereka. Sikap mereka seketika menjadi waspada. Sementara Berlian yang duduk di sudut ruangan pun tersenyum sinis melihat kehadiran Juju, pria itu adalah kerabat Berlian dari keluarga sang kakek. Anak tunggal dari mendiang Pamannya Ethan Kenneth. "Apa yang kau lakukan di sini, Juju?" tanya Ethan, sorot mata pria sepuh itu tajam penuh selidik. Juju tersenyum tipis, menampakkan gigi-gigi putihnya yang rapi. "Tidak ada yang istimewa, Paman. Hanya datang untuk melihat bagaimana kalian mengurus warisan keluarga," jawab Juju dengan nada yang penuh sindiran. Luke melirik ke arah Berlian, mencari tanda-tanda bahaya. "Sepertinya kita semua tahu apa yang sebenarnya kau inginkan, Juju. Jadi, langsung saja katakan." Vania, yang sejak tadi diam, berdiri dan melangkah maju. "Kita tida
"Pa, bagaimana ini? Aku sudah menduga jika Luke memang membawa bahaya di keluarga kita. Juju tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Berlian juga sudah mengajukan surat perceraiannya dengan Luke! Aku sudah cukup stres menghadapi masalah ini, Ethan!" ujar Vania. Ketika Juju meninggalkan ruangan kerja Ethan, suasana masih terasa tegang di mana Ethan dan Vania berada. Ethan mengusap wajahnya kasar. Pria sepuh itu sudah memprediksi jika hal ini akan terjadi. Dan Luke, masih belum menyelesaikan tugas yang orang tua itu berikan. "Vania, Luke adalah bagian dari keluarga ini. Untuk saat ini, kita masih membutuhkannya. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Aku akan mengatasi masalah ini!" Ethan berusaha menenangkan istrinya meskipun hatinya penuh kekhawatiran. Wajah Vania memerah marah. Vania benar-benar tidak bisa menahan diri dari kepura-puraan dan kemunafikan yang
Malam ini, Berlian berdiri di ruang makan besar keluarga Kenneth, memandangi meja makan kaca yang telah ia siapkan dengan hati-hati. Setiap detail ditata dengan penuh harapan—bunga mawar merah segar di tengah meja, lilin-lilin yang menyala lembut, dan hidangan lezat yang menunggu untuk dinikmati. Namun, di balik senyum Berlian, ada kegelisahan yang sulit untuk ia sembunyikan. "Mengapa tidak diangkat? Apakah paman begitu sibuk?" keluh Berlian, sesekali mendesah pelan ketika Berlian menekan nomor suaminya, berharap ada jawaban. Akan tetapi, nada sambung yang panjang dan tak berujung membuat kegelisahan Berlian semakin menjadi-jadi. Ana, pelayan setia keluarga Kenneth, mengamati majikannya itu dengan penuh simpati. "Nyonya, mungkin Anda ingin minum sedikit sementara menunggu Tuan pulang atau makan sesuatu terlebih dulu?" Ana menawarkan sambil menyodorkan gelas anggur. Berlian menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, Ana. Aku akan menunggu. Mungkin Paman sedang dalam perjalanan.
"Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka. Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut. Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu. Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang