"Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka.
Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut. Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu. Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang dikatakan oleh Andrew benar adanya. "Tidak, itu tidak benar, 'kan? Keluargaku sudah memberikan tempat yang nyaman untukmu, Paman. Aku harap, kau tidak seperti itu. Kau menerima perjodohan ini karena kau sudah mengenalku sejak kecil. Tentu Paman juga merasakan hal yang sama 'kan? Mungkin kita masih canggung karena ada ikatan saudara. Meski hanya saudara angkat." Berlian bergumam tanpa bisa ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Selama dua tahun menikah, Luke tidak pernah menyentuh Berlian. Alasannya, tidak pernah jelas. Luke selalu mengatakan bahwa dia sibuk atau terlalu lelah, dan Berlian selalu menerima alasan itu, meskipun hatinya terus bertanya-tanya. Dengan langkah berat, Berlian menuju balkon. Ia membuka pintu kaca dengan hati-hati, membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya yang kini berubah kelabu. Berlian melangkah ke arah pembatas balkon dan berdiri di sana, menatap langit malam yang penuh bintang, mencoba menemukan kedamaian di antara gemerlap cahaya yang jauh di sana. "Aku sudah mencoba segala cara untuk mendekatimu, Luke. Tapi kau selalu menjauh, seakan ada tembok yang tidak bisa kupecahkan," lirihnya, merasa semakin terpuruk. "Kenapa kau tidak pernah melihat usahaku? Kenapa kau tidak pernah menghargainya? Apa? Kenapa? Tolong berikan aku jawaban." Saat itulah, dari sudut mata wanita itu, Berlian melihat lampu mobil yang mendekat. Mobil Luke. Berlian tidak bergerak, ia sama sekali tidak ada gairah maupun dorongan untuk menyambut kedatangan suaminya. Berlian hanya berdiri mematung, menyaksikan mobil suaminya itu memasuki area mansion. Sementara di depan mansion, Luke turun dari mobil didampingi oleh seorang asisten yang bernama Julius. Saat melangkah turun dari mobil, wajah Luke tanpa ekspresi seperti biasa berjalan memasuki mansion dengan langkah tegap. "Selamat datang, Tuan!" beberapa pelayan yang berjajar di sana menyambut kedatangan Luke. Dan ada beberapa pelayan segera menghampiri pria itu, membuka jas blazer yang Luke kenakan dengan gerakan cepat dan terlatih. "Tuan, ada agenda yang harus Anda hadiri besok pagi," Julius mengingatkan sambil menyerahkan agenda harian kepada Luke. Luke mengangguk singkat tanpa berkata-kata. Wajah Luke tetap dingin dan acuh, seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggu pikirannya. Pelayan setia mereka, Ana, mendekati Luke dengan langkah hati-hati. "Tuan, nyonya sedari tadi menunggu Anda untuk makan malam bersama. Nyonya terlihat sangat sedih dan meminta kami untuk membuang semua makanan yang sudah nyonya masak untuk Anda, Tuan," lapor Ana dengan nada hormat, berharap mendapatkan sedikit perhatian dari majikannya. Luke berhenti sejenak, mata tajam itu menatap kosong ke depan sebelum melangkah lagi. "Aku sudah makan di luar," jawab Luke. singkat, tanpa emosi. Ana Hanya bisa membuang napas berat mendengar jawaban Luke sambil memperhatikan punggung Luke melangkah melewati tubuhnya. "Tuan, bisakah Anda sedikit peduli kepada Nyonya? Kenapa Anda begitu dingin kepada istri Anda sendiri?" gumam Ana kecewa dengan sikap Luke. Luke Bergegas menaiki tangga ke lantai atas, pria itu melangkah dengan cepat tanpa menoleh ke belakang. Sementara itu, di balkon, Berlian masih berdiri memandangi langit malam yang penuh bintang. Suara langkah kaki Luke yang mendekat semakin jelas terdengar, namun Berlian tidak berbalik. Ia terlalu menikmati udara malam yang dingin seakan menyatu dengan perasaan Berlian yang kini telah beku. Krek! Pintu balkon terbuka, dan Luke muncul di ambang pintu. Dia berdiri sejenak, menatap punggung Berlian yang tak bergerak menyambut kedatangannya. Tidak seperti biasa, istri itu akan bertanya banyak dan bercerita banyak hal tentang apa yang ia lakukan selama Luke tidak ada bersamanya. "Kau masih di sini? Kenapa belum tidur?" suara Luke terdengar datar, tanpa nada hangat. Berlian tidak langsung menjawab. Dia membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, seolah berharap angin itu bisa membawa pergi semua perasaan kecewa yang saat ini Berlian rasakan. "Aku menunggumu," jawab Berlian, suara wanita itu nyaris berbisik. Luke menghela napas, melangkah mendekati Berlian. "Aku sudah bilang, jangan menungguku. Banyak urusan dan juga pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Luke. Berlian berbalik perlahan, menatap suaminya dengan pelupuk mata yang kini telah tergenang oleh air yang nyaris tumpah. "Apakah urusanmu lebih penting daripada aku? Daripada pernikahan kita?" tanya Berlian, mencoba mencari jawaban di mata suaminya. Luke terdiam sejenak, tidak menjawab langsung. Wajah itu masih tetap dingin dan tanpa ekspresi. "Kau tahu betapa pentingnya pekerjaanku, Berlian. Kita hidup dalam dunia yang penuh tekanan dan tanggung jawab. Kau harus mengerti itu." Berlian menggelengkan kepala pelan, rasa frustasi mulai menguasai dirinya. "Aku mengerti, Luke. Tapi apakah itu alasan untuk selalu mengabaikanku? Apakah itu alasan untuk tidak pernah menyentuhku selama dua tahun ini?" suara Berlian bergetar, menahan emosi yang meluap. Luke menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Ini bukan tentang tidak menyentuhmu, Berlian. Ini tentang tanggung jawab dan prioritas. Kita semua punya peran masing-masing. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan? Dan aku di sini untuk bekerja mengurus bisnis keluargamu, Lian." "Tanggung jawab dan prioritas?" Berlian menatap Luke dengan tatapan tak percaya. "Apakah aku tidak termasuk dalam prioritasmu, Paman? Apakah aku hanya bagian dari tanggung jawab yang kau bebankan di punggungmu? Hanya sekedar simbol jika kau memiliki istri? Tapi kenyataannya, kita tidak saling mengenal!" Luke tidak menjawab, hanya menatap Berlian dengan tatapan kosong. Berlian merasakan hatinya semakin hancur melihat sikap suaminya yang tidak peduli. "Aku sudah berusaha, Luke. Ya, awalnya aku keberatan. Karena kau seperti orang tuaku yang menjagaku. Tapi asal kau tahu, aku mengalah untuk bisa memberikan arti dari pernikahan ini. Tapi apa? Apa yang aku terima? Sikapmu yang acuh tak acuh dan mengabaikan semua usahaku. Aku lantas bertanya-tanya. Apa yang kau inginkan dan apa yang kau rahasiakan dariku, Luke Kendrick?!" teriak Berlian. Luke tampak tertegun sejenak, namun kembali memasang wajah yang datar. "Tidak ada yang ku sembunyikan darimu, Berlian. Aku hanya... sibuk." "Sibuk," Berlian mengulang kata itu dengan nada pahit. "Apakah itu saja alasanmu? Atau ada hal lain yang tidak bisa aku ketahui? Kau punya wanita lain? Atau... Sebuah rahasia yang sedang kau tutupi dariku?" Luke menghindari tatapan Berlian. "Aku tidak punya jawaban untukmu sekarang. Aku lelah. Aku ingin tidur." Luke memutar tubuhnya, hendak berlalu. Kerena ia tidak ingin berdebat. Air mata yang ia tahan-tahan akhirnya tumpah juga, mengalir di pipi putih Berlian seperti air sungai di musim banjir. Sakit? Jelas, dua tahun dalam keadaan rumah tangga mereka yang seperti ini. Saling diam dan tertutup. Meski barada di dalam satu atap yang sama, mereka seperti dua orang asing yang tidak bisa terbuka satu sama lain. Harus setebal apa kesabaran yang harus Berlian miliki? "Luke!" Berlian menarik tangan Luke, memaksa pria itu menatapnya. Mata Berlian memancarkan keputusasaan yang mendalam, memaksa Luke untuk menghadapi kebenaran yang pria itu ingin hindari. "Jangan pergi begitu saja, Luke. Aku butuh kepastian dengan pernikahan ini," suara Berlian terdengar serak, penuh dengan rasa sakit yang telah lama terpendam. "Kepastian?" Luke menatap Berlian dengan mata yang dingin. "Kepastian seperti apa yang kau inginkan?" Berlian menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan tangis yang semakin membanjiri pipi mulusnya. "Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar peduli padaku, Luke. Aku ingin tahu, apakah pernikahan kita ini lebih dari sekadar tanggung jawab? Atau hanya sekedar pencapaianmu dalam mengambil alih ladang opium dan bisnis keluargaku?" tanya Berlian tajam. Luke terdiam, tidak menjawab. Hanya sorot mata kosong dengan wajah datar yang Berlian terima dari reaksi suaminya. Berlian merasa hatinya semakin luluh lantah mendapati sikap suaminya yang seakan mengabaikan usaha yang Berlian lakukan untuk memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Berlian menarik napasnya yang terasa sesak, seakan ia juga menghirup ribuan jarum setiap kali ia menarik napas. "Oke. Aku mengerti sekarang. Aku benar-benar tidak sanggup menjalani pernikahan seperti ini. Mari kita bercerai, Paman. Karena Paman tidak tahu bagaimana cara mencintaiku dengan semua usaha yang telah aku lakukan," kata Berlian akhirnya, suara Berlian tercekat oleh rasa sesak."Kau ingin bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian, dengan suara berisik. Mungkin, ucapan itu, hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kau mendengarku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kau hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu bergetar namun tegas. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kau tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan k
Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap. Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menun
"Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. "Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana.
"Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la
"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te
"Dari mana kau seharian ini?" tanya Luke dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Berlian. Berlian yang berjalan masuk ke dalam mansion mengabaikan pertanyaan Luke. Pria itu berdiri menyandarkan sisi tubuhnya pada sekat dinding antara ruang tamu menuju ke arah tangga sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Berlian melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan, meletakkan sepatu yang baru ia lepas dengan rapi di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata Berlian tidak menatap Luke sama sekali. Ia hanya meletakkan tas kecil yang ia tenteng di sofa dan mulai berjalan menuju tangga. "Jangan mengabaikanku, Berlian. Aku bertanya dari mana kau seharian ini!" desak Luke, suaranya semakin meninggi. Berlian berhenti di anak tangga pertama, lalu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku punya urusan sendiri. Kenapa? Kau merasa terganggu?" "Aku mencoba menghubungimu berkali-kali. Kenapa tidak diangkat? Tidak membalas pesanku?" Luke melangkah mendekat, mata Luke masi