Share

Bab_2

"Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka.

Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut.

Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu.

Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang dikatakan oleh Andrew benar adanya.

"Tidak, itu tidak benar, 'kan? Keluargaku sudah memberikan tempat yang nyaman untukmu, Paman. Aku harap, kau tidak seperti itu. Kau menerima perjodohan ini karena kau sudah mengenalku sejak kecil. Tentu Paman juga merasakan hal yang sama 'kan? Mungkin kita masih canggung karena ada ikatan saudara. Meski hanya saudara angkat." Berlian bergumam tanpa bisa ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut.

Selama dua tahun menikah, Luke tidak pernah menyentuh Berlian. Alasannya, tidak pernah jelas. Luke selalu mengatakan bahwa dia sibuk atau terlalu lelah, dan Berlian selalu menerima alasan itu, meskipun hatinya terus bertanya-tanya.

Dengan langkah berat, Berlian menuju balkon. Ia membuka pintu kaca dengan hati-hati, membiarkan angin malam yang sejuk menerpa wajahnya yang kini berubah kelabu. Berlian melangkah ke arah pembatas balkon dan berdiri di sana, menatap langit malam yang penuh bintang, mencoba menemukan kedamaian di antara gemerlap cahaya yang jauh di sana.

"Aku sudah mencoba segala cara untuk mendekatimu, Luke. Tapi kau selalu menjauh, seakan ada tembok yang tidak bisa kupecahkan," lirihnya, merasa semakin terpuruk. "Kenapa kau tidak pernah melihat usahaku? Kenapa kau tidak pernah menghargainya? Apa? Kenapa? Tolong berikan aku jawaban."

Saat itulah, dari sudut mata wanita itu, Berlian melihat lampu mobil yang mendekat. Mobil Luke. Berlian tidak bergerak, ia sama sekali tidak ada gairah maupun dorongan untuk menyambut kedatangan suaminya. Berlian hanya berdiri mematung, menyaksikan mobil suaminya itu memasuki area mansion.

Sementara di depan mansion, Luke turun dari mobil didampingi oleh seorang asisten yang bernama Julius. Saat melangkah turun dari mobil, wajah Luke tanpa ekspresi seperti biasa berjalan memasuki mansion dengan langkah tegap.

"Selamat datang, Tuan!" beberapa pelayan yang berjajar di sana menyambut kedatangan Luke. Dan ada beberapa pelayan segera menghampiri pria itu, membuka jas blazer yang Luke kenakan dengan gerakan cepat dan terlatih.

"Tuan, ada agenda yang harus Anda hadiri besok pagi," Julius mengingatkan sambil menyerahkan agenda harian kepada Luke.

Luke mengangguk singkat tanpa berkata-kata. Wajah Luke tetap dingin dan acuh, seolah-olah tidak ada yang bisa mengganggu pikirannya. Pelayan setia mereka, Ana, mendekati Luke dengan langkah hati-hati.

"Tuan, nyonya sedari tadi menunggu Anda untuk makan malam bersama. Nyonya terlihat sangat sedih dan meminta kami untuk membuang semua makanan yang sudah nyonya masak untuk Anda, Tuan," lapor Ana dengan nada hormat, berharap mendapatkan sedikit perhatian dari majikannya.

Luke berhenti sejenak, mata tajam itu menatap kosong ke depan sebelum melangkah lagi. "Aku sudah makan di luar," jawab Luke. singkat, tanpa emosi.

Ana Hanya bisa membuang napas berat mendengar jawaban Luke sambil memperhatikan punggung Luke melangkah melewati tubuhnya.

"Tuan, bisakah Anda sedikit peduli kepada Nyonya? Kenapa Anda begitu dingin kepada istri Anda sendiri?" gumam Ana kecewa dengan sikap Luke.

Luke Bergegas menaiki tangga ke lantai atas, pria itu melangkah dengan cepat tanpa menoleh ke belakang. Sementara itu, di balkon, Berlian masih berdiri memandangi langit malam yang penuh bintang. Suara langkah kaki Luke yang mendekat semakin jelas terdengar, namun Berlian tidak berbalik. Ia terlalu menikmati udara malam yang dingin seakan menyatu dengan perasaan Berlian yang kini telah beku.

Krek!

Pintu balkon terbuka, dan Luke muncul di ambang pintu. Dia berdiri sejenak, menatap punggung Berlian yang tak bergerak menyambut kedatangannya. Tidak seperti biasa, istri itu akan bertanya banyak dan bercerita banyak hal tentang apa yang ia lakukan selama Luke tidak ada bersamanya.

"Kau masih di sini? Kenapa belum tidur?" suara Luke terdengar datar, tanpa nada hangat.

Berlian tidak langsung menjawab. Dia membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, seolah berharap angin itu bisa membawa pergi semua perasaan kecewa yang saat ini Berlian rasakan. "Aku menunggumu," jawab Berlian, suara wanita itu nyaris berbisik.

Luke menghela napas, melangkah mendekati Berlian. "Aku sudah bilang, jangan menungguku. Banyak urusan dan juga pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Luke.

Berlian berbalik perlahan, menatap suaminya dengan pelupuk mata yang kini telah tergenang oleh air yang nyaris tumpah. "Apakah urusanmu lebih penting daripada aku? Daripada pernikahan kita?" tanya Berlian, mencoba mencari jawaban di mata suaminya.

Luke terdiam sejenak, tidak menjawab langsung. Wajah itu masih tetap dingin dan tanpa ekspresi. "Kau tahu betapa pentingnya pekerjaanku, Berlian. Kita hidup dalam dunia yang penuh tekanan dan tanggung jawab. Kau harus mengerti itu."

Berlian menggelengkan kepala pelan, rasa frustasi mulai menguasai dirinya. "Aku mengerti, Luke. Tapi apakah itu alasan untuk selalu mengabaikanku? Apakah itu alasan untuk tidak pernah menyentuhku selama dua tahun ini?" suara Berlian bergetar, menahan emosi yang meluap.

Luke menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Ini bukan tentang tidak menyentuhmu, Berlian. Ini tentang tanggung jawab dan prioritas. Kita semua punya peran masing-masing. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan? Dan aku di sini untuk bekerja mengurus bisnis keluargamu, Lian."

"Tanggung jawab dan prioritas?" Berlian menatap Luke dengan tatapan tak percaya. "Apakah aku tidak termasuk dalam prioritasmu, Paman? Apakah aku hanya bagian dari tanggung jawab yang kau bebankan di punggungmu? Hanya sekedar simbol jika kau memiliki istri? Tapi kenyataannya, kita tidak saling mengenal!"

Luke tidak menjawab, hanya menatap Berlian dengan tatapan kosong. Berlian merasakan hatinya semakin hancur melihat sikap suaminya yang tidak peduli. "Aku sudah berusaha, Luke. Ya, awalnya aku keberatan. Karena kau seperti orang tuaku yang menjagaku. Tapi asal kau tahu, aku mengalah untuk bisa memberikan arti dari pernikahan ini. Tapi apa? Apa yang aku terima? Sikapmu yang acuh tak acuh dan mengabaikan semua usahaku. Aku lantas bertanya-tanya. Apa yang kau inginkan dan apa yang kau rahasiakan dariku, Luke Kendrick?!" teriak Berlian.

Luke tampak tertegun sejenak, namun kembali memasang wajah yang datar. "Tidak ada yang ku sembunyikan darimu, Berlian. Aku hanya... sibuk."

"Sibuk," Berlian mengulang kata itu dengan nada pahit. "Apakah itu saja alasanmu? Atau ada hal lain yang tidak bisa aku ketahui? Kau punya wanita lain? Atau... Sebuah rahasia yang sedang kau tutupi dariku?"

Luke menghindari tatapan Berlian. "Aku tidak punya jawaban untukmu sekarang. Aku lelah. Aku ingin tidur." Luke memutar tubuhnya, hendak berlalu. Kerena ia tidak ingin berdebat.

Air mata yang ia tahan-tahan akhirnya tumpah juga, mengalir di pipi putih Berlian seperti air sungai di musim banjir. Sakit? Jelas, dua tahun dalam keadaan rumah tangga mereka yang seperti ini. Saling diam dan tertutup. Meski barada di dalam satu atap yang sama, mereka seperti dua orang asing yang tidak bisa terbuka satu sama lain. Harus setebal apa kesabaran yang harus Berlian miliki?

"Luke!" Berlian menarik tangan Luke, memaksa pria itu menatapnya. Mata Berlian memancarkan keputusasaan yang mendalam, memaksa Luke untuk menghadapi kebenaran yang pria itu ingin hindari. "Jangan pergi begitu saja, Luke. Aku butuh kepastian dengan pernikahan ini," suara Berlian terdengar serak, penuh dengan rasa sakit yang telah lama terpendam.

"Kepastian?" Luke menatap Berlian dengan mata yang dingin. "Kepastian seperti apa yang kau inginkan?"

Berlian menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan tangis yang semakin membanjiri pipi mulusnya. "Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar peduli padaku, Luke. Aku ingin tahu, apakah pernikahan kita ini lebih dari sekadar tanggung jawab? Atau hanya sekedar pencapaianmu dalam mengambil alih ladang opium dan bisnis keluargaku?" tanya Berlian tajam.

Luke terdiam, tidak menjawab. Hanya sorot mata kosong dengan wajah datar yang Berlian terima dari reaksi suaminya. Berlian merasa hatinya semakin luluh lantah mendapati sikap suaminya yang seakan mengabaikan usaha yang Berlian lakukan untuk memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Berlian menarik napasnya yang terasa sesak, seakan ia juga menghirup ribuan jarum setiap kali ia menarik napas.

"Oke. Aku mengerti sekarang. Aku benar-benar tidak sanggup menjalani pernikahan seperti ini. Mari kita bercerai, Paman. Karena Paman tidak tahu bagaimana cara mencintaiku dengan semua usaha yang telah aku lakukan," kata Berlian akhirnya, suara Berlian tercekat oleh rasa sesak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status