"Bagaimana, Nona Lilian? Setelah menyetujui syarat yang kau berikan apa kita bisa melanjutkan ini?" tanya Luke, mengelus dagu Berlian. Dua manusia yang duduk di bibir ranjang itu saling menatap dalam hening, cahaya lilin yang hampir redup bergoyang-goyang tertiup angin yang masuk melalui cela-cela ventilasi. Rasa cemas dan penasaran kini merayap dalam diri Berlian. Tangan wanita itu berkeringat, ini kali pertama ia akan melakukan hubungan badan dan memberikan kesuciannya kepada pria asing yang bukan suaminya sendiri. 'Luke, kenapa di saat aku ingin menyerah dan memberikan diriku seutuhnya kepada pria asing ini, namun kenapa bayangan Luke yang dingin dan sorot mata Luke kini terlintas saat aku melihat tatapan pria ini yang mirip sekali seperti Luke?' perasaan Berlian dilema, apakah dia akan melanjutkan langkah yang sudah terlanjur ia mulai atau kembali mundur dan melarikan diri dari situasi ini.Luke, atau Zee, mendekatkan wajahnya. "Apa kau ragu?" bisik Luke lembut, desiran napas d
Malam ini, Berlian berdiri di ruang makan besar keluarga Kenneth, memandangi meja makan kaca yang telah ia siapkan dengan hati-hati. Setiap detail ditata dengan penuh harapan—bunga mawar merah segar di tengah meja, lilin-lilin yang menyala lembut, dan hidangan lezat yang menunggu untuk dinikmati. Namun, di balik senyum Berlian, ada kegelisahan yang sulit untuk ia sembunyikan. "Mengapa tidak diangkat? Apakah paman begitu sibuk?" keluh Berlian, sesekali mendesah pelan ketika Berlian menekan nomor suaminya, berharap ada jawaban. Akan tetapi, nada sambung yang panjang dan tak berujung membuat kegelisahan Berlian semakin menjadi-jadi. Ana, pelayan setia keluarga Kenneth, mengamati majikannya itu dengan penuh simpati. "Nyonya, mungkin Anda ingin minum sedikit sementara menunggu Tuan pulang atau makan sesuatu terlebih dulu?" Ana menawarkan sambil menyodorkan gelas anggur. Berlian menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, Ana. Aku akan menunggu. Mungkin Paman sedang dalam perjalanan.
"Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka. Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut. Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu. Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang
"Kau ingin bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian, dengan suara berisik. Mungkin, ucapan itu, hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kau mendengarku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kau hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu bergetar namun tegas. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kau tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan k
Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap. Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menun
"Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. "Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana.
"Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la