Share

Bab_4

Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke.

Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu.

Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi.

Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah.

Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan kebencian. "Kau pikir kau bisa mendikte hidupku, Luke? Aku punya hak untuk pergi ke mana pun aku mau. Aku tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi. Mereka adalah nenek dan kakekku! Mereka juga yang memberikan posisi ini kepadamu, kan? Hingga menjadi seorang pemimpin yang ditakuti di beberapa wilayah!"

Luke mengerutkan kening, tatapannya semakin tajam. "Ini bukan soal mendikte hidupmu, Berlian," balas Luke, berusaha menahan emosinya. "Ini soal keamanan dan kenyamananmu. Rumah kakek dan nenekmu tidak seaman mansion ini. Dan tentang posisi ini, aku mendapatkannya karena kerja kerasku, bukan karena belas kasihan."

Berlian meletakkan sendoknya dengan kasar, membuat suara dentingan tajam menggema. "Keamanan? Kenyamanan? Sejak kapan kau peduli tentang itu? Selama dua tahun ini, aku merasa seperti tahanan di rumahku sendiri. Setiap langkahku diawasi, setiap gerakku dikendalikan. Aku tidak bisa bernapas, Luke. Aku butuh kebebasan!"

Luke merasakan kemarahan dan keputusasaan yang semakin mendalam. "Aku peduli, Berlian. Mungkin aku tidak bisa menunjukkannya dengan cara yang benar, tapi aku peduli. Dan aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja."

Berlian tertawa pahit, suara wanita itu penuh dengan sarkasme dan keputusasaan. "Peduli? Kau bahkan tidak pernah mencoba untuk benar-benar memahami perasaanku. Semua yang kau lakukan hanya untuk mengendalikan dan mengekangku. Kau tidak peduli pada kebahagiaanku, Luke. Kau hanya peduli pada kekuasaan dan kontrol."

Luke merasakan kata-kata Berlian menusuk hatinya seperti pisau. "Itu tidak benar, Berlian. Aku hanya ingin melindungimu."

"Melindungi?" Berlian memotong dengan nada sinis. "Melindungi dari apa, Luke? Dari kebahagiaan? Dari rasa bebas? Aku tidak butuh perlindungan yang membuatku merasa seperti tawanan. Aku butuh ruang untuk menemukan diriku sendiri."

Luke bangkit dari kursinya, menatap Berlian dengan mata yang penuh dengan rasa sakit dan frustrasi. "Jangan pergi. Kita bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa mencoba lagi."

Berlian menggelengkan kepala. "Sudah terlambat, Luke. Aku sudah memberikan banyak waktu dan kesempatan, tapi kau tidak pernah berusaha. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku butuh kebebasan, aku butuh ruang untuk bernapas."

Luke mencoba berjalan mendekati Berlian, tetapi Berlian lagi-lagi melangkah mundur, menjaga jarak. "Tetap di sini. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu," pinta Luke.

Berlian menatap Luke dengan mata yang tajam. "Sesuatu yang buruk sudah terjadi, Luke. Kau telah merampas kebebasanku dan kepercayaanku. Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan sesukamu."

Luke merasakan hatinya berdenyut sakit, namun ia tetap berusaha mempertahankan sikap tegas. "Aku hanya ingin melindungimu, Berlian. Dunia luar terlalu berbahaya. Tolong mengerti!"

"Berbahaya?" Berlian mengejek. "Lebih berbahaya daripada hidup di sini, terkurung dalam sangkar emasmu? Aku butuh kebebasan, Luke. Aku butuh kesempatan untuk menemukan diriku sendiri. Kau meminta aku mengerti? Haah!" Berlian membuang napas, bola matanya berputar jengah.

"Mau berapa lama aku harus mengerti? Disaat aku mulai jengah kau memintaku untuk mengerti? Omong kosong apa yang kau minta, Luke? Pokoknya sekarang, aku hanya ingin bercerai denganmu. Agar kita sama-sama tidak saling menyakiti." Berlian menambahkan.

"Berlian...." ucapan Luke tergantung di udara kala melihat Berlian berbalik badan.

Berlian memutar tubuhnya, ia pun berjalan cepat menuju pintu. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Luke, Berlian bergegas keluar rumah, rasa marah dan kecewa dengan sikap Luke membuat Berlian sudah tidak berpikir apapun lagi. Yang Berlian inginkan, pergi menjauh agar kebencian yang mulai tumbuh bisa ia kendalikan.

Sementara Luke mengikuti Berlian dengan pandangan matanya, hati pria itu tersiksa oleh rasa bersalah dan ketakutan akan kehilangan Berlian selamanya. Namun, Luke tetap diam, membiarkan Berlian pergi tanpa mengucapkan sepatah kata atau penjelasan apapun.

Di depan , seorang pekerja sudah menyiapkan mobil untuk Berlian. Berlian masuk ke dalam mobil mewahnya, menyalakan mesin dengan tangan gemetar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menginjak pedal gas. Namun, saat ia mendekati gerbang utama, pandangan Berlian terhalang oleh beberapa petugas keamanan yang sedang menutup gerbang dengan sigap.

Berlian memukul setir mobil dengan frustrasi. "Sial, apakah Luke benar-benar tidak mengizinkanku keluar dari penjara ini?" gumam Berlian.

Titit, titit!

klakson mobil Berlian meraung-raung, memecah keheningan pagi. "Apa-apaan ini? Buka gerbangnya sekarang juga!" teriaknya dengan penuh amarah, wajah Berlian merah karena emosi.

Luke muncul di depan gerbang, berdiri di sana, di depan yang berjarak sepuluh meter dari mobil Berlian. "Berlian, sampai kapan pun, aku tidak akan mengizinkanmu keluar dan aku tidak akan pernah menceraikanmu!" teriak Luke.

Berlian keluar dari mobil, menatap Luke dengan mata yang berkobar marah. "Kau pikir kau bisa mengurungku di sini selamanya? Kau pikir kau bisa mengendalikan hidupku? Buka gerbang itu sekarang, Luke!"

"Berlian, Kau itu sedang emosi. Kita bisa membicarakan ini dengan tenang. Tidak baik jika kau pergi dengan perasaan yang kacau," jawab Luke dengan nada yang lebih lembut tetap terkontrol.

"Oh... Luke Kendrick, kau peduli setelah rasaku telah mati? Itu percuma jika sikap pedulimu hadir disaat aku benar-benar muak. Jadi, tolong menyingkir! Kau tidak punya hak untuk menahan aku di sini! Aku berhak pergi kemana pun aku mau!" Berlian berteriak.

Luke mengisyaratkan pada para petugas untuk tidak membuka gerbang. "Berlian, tenanglah. Kita bisa menyelesaikan ini dengan cara yang baik. Ayo masuk!" Luke meraih tangan Berlian.

Berlian dengan cepat menepis tangan Luke dengan kasar. "Cara yang baik? Setelah dua tahun hidup dalam ketidakpedulianmu, kau sekarang berbicara tentang cara yang baik? Buka gerbang itu, atau aku akan memanggil polisi!"

Keadaan semakin tegang, para petugas keamanan tampak ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Berlian menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian terakhirnya. "Ini peringatanku yang terakhir, Luke. Buka gerbang itu, atau aku akan menghancurkan semua yang ada di sini."

Luke tetap diam, wajahnya keras seperti batu. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Kau adalah tanggung jawabku."

Berlian tersenyum sinis. "Tanggung jawab?" Berlian mencibir. "Oke. Jangan salahkan aku!" Berlian yang jengkel memutar tubuhnya.

Berlian kembali ke dalam mobil dengan wajah yang memerah karena marah. "Brum, brum, brum!" Berlian menginjak pedal gas dengan keras, mobilnya melaju kencang menuju gerbang yang masih tertutup.

"Whoaaa... Nyonya, hati-hati saat Anda mengemudi!" Seru para petugas, beberapa petugas keamanan itu dengan cepat berlari ke samping, menghindari mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi.

Luke tercengang melihat aksi nekad istrinya. "BERLIAN!" suara Luke menggema.

Namun, mobil itu tidak berhenti. Berlian bertekad untuk menabrakkan mobilnya ke gerbang jika itu adalah satu-satunya cara untuk keluar dari Mansion yang ia anggap sebagai penjara baginya.

Luke mengisyaratkan kepada petugas keamanan untuk membuka gerbang, tetapi gerakan mereka tampak terlalu lambat. Berlian mempercepat laju mobilnya, pandangan Berlian tajam dan penuh tekad. Ia tak peduli lagi, satu-satunya yang ia inginkan adalah kebebasan.

Para petugas keamanan panik, berusaha keras membuka gerbang sebelum terlambat. Mereka berteriak dan berlari, mencoba menghindari tabrakan yang tampaknya tak terhindarkan. Luke berdiri di tengah jalan, matanya melebar dengan campuran ketakutan dan rasa bersalah.

"Berlian, berhenti!" teriak Luke, namun suara pria itu tertelan oleh raungan mesin mobil.

Berlian tidak mengendurkan tekanan pada pedal gas, hati Wanita itu terlanjur dipenuhi oleh kemarahan dan rasa frustasi. Dalam beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mobil Berlian melaju kencang menuju gerbang.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status