"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te
"Dari mana kau seharian ini?" tanya Luke dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Berlian. Berlian yang berjalan masuk ke dalam mansion mengabaikan pertanyaan Luke. Pria itu berdiri menyandarkan sisi tubuhnya pada sekat dinding antara ruang tamu menuju ke arah tangga sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Berlian melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan, meletakkan sepatu yang baru ia lepas dengan rapi di rak sepatu, lalu melangkah masuk ke ruang tamu. Mata Berlian tidak menatap Luke sama sekali. Ia hanya meletakkan tas kecil yang ia tenteng di sofa dan mulai berjalan menuju tangga. "Jangan mengabaikanku, Berlian. Aku bertanya dari mana kau seharian ini!" desak Luke, suaranya semakin meninggi. Berlian berhenti di anak tangga pertama, lalu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku punya urusan sendiri. Kenapa? Kau merasa terganggu?" "Aku mencoba menghubungimu berkali-kali. Kenapa tidak diangkat? Tidak membalas pesanku?" Luke melangkah mendekat, mata Luke masi
"Bibi Lucy, sepertinya obat yang Bibi berikan tidak mempan untukku. Aku terus merasa gelisah dan akhir-akhir ini sering mengalami emosi yang tidak stabil," ucap Berlian menatap resep yang diberikan Lucy, seorang psikiater pribadi keluarga Kenneth. Lucy menatap Berlian dengan simpati. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela besar menerangi kamar Berlian, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan dinginnya suasana hati Berlian. Lucy meletakkan resep yang ia tulis di atas meja kecil samping tempat tidur, menatap majikan kecilnya dengan sendu. "Nyonya Berlian, kau tahu aku ada di sini untuk membantu. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, jangan ragu untuk menceritakannya," kata Lucy, lembut. Lucy wanita paruh baya itu tidak pernah memaksa maupun mendesak kliennya. Lucy ingin jika kliennya itu merasa nyaman dan terbuka secara sukarela menceritakan apa yang kliennya alami. Berlian, wanita manja yang selalu merasa kuat itu menggeleng sambil tersenyum lebar. Ia meminta bibi Lucy data
"Luke, kau mendengarku?" Maximilian menjentikkan jari di depan wajah Luke, saat melihat rekannya itu dari tadi tampak tidak fokus. Di sudut lain aula, Luke terus memperhatikan wanita bertopeng emas. Wanita itu jelas tidak nyaman, dan itu membuat Luke semakin tertarik. Tidak biasanya Luke gampang tertarik oleh lawan jenis. Tetapi wanita yang duduk di pojokan sana membuat rasa penasaran Luke pun muncul. Entah bagaimana bisa wanita itu dapat memikat perhatian Luke, ada sebuah dorongan kuat yang membuat Luke ingin menghampiri wanita itu. Selama ia hidup, Luke baru merasa jika hanya Berlian yang mampu mengalihkan pandangan Luke kepada wanita-wanita di luar sana. Ternyata malam ini, ada satu wanita lagi yang mampu mencuri perhatian Luke. Maximilian yang melihat Luke seperti terkena sihir pun mendengkus kesal. "Luke! Sadar, kau itu sudah punya istri! Jika kau tidak lagi mencintai istrimu, di lelang saja di pasar gelap —"Bugh! Belum sempat Maximilian menyelesaikan kalimatnya, Luke sud
"Bau parfum dan suara ini...." Berlian mendongak, mencoba mengingat di mana dia pernah mencium bau parfum ini sebelumnya.'Luke?' gumam Berlian, tetapi dia menggelengkan kepala, menepis bayangan suaminya yang menyebalkan itu. 'Come on, kau harus membuang bayangan suami menyebalkanmu itu, Lian! Tidak mungkin Luke. Dia tidak akan mengenalimu.' mencoba meyakinkan diri jika yang berdiri di hadapannya itu bukanlah suaminya.Pria bertopeng hitam itu tersenyum tipis di balik topeng. "Kau baik-baik saja?" tanya pria tersebut dengan suara berat. Suara pria itu begitu akrab di telinga Berlian. Membuat hati Berlian berdebar kencang, ada sebuah desiran hangat yang tiba-tiba mengalir dari suara itu. Suara yang sudah lama tidak menyapanya dengan kelembutan. Berlian mencoba mengatur napas. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut," jawab Berlian. "Hmm ... Terima kasih sudah menyelamatkanku."Pria itu mengangguk pelan. "Tidak masalah. Di tempat seperti ini, kau harus berhati-hati."Berlian m
"Bagaimana, Nona Lilian? Setelah menyetujui syarat yang kau berikan apa kita bisa melanjutkan ini?" tanya Luke, mengelus dagu Berlian. Dua manusia yang duduk di bibir ranjang itu saling menatap dalam hening, cahaya lilin yang hampir redup bergoyang-goyang tertiup angin yang masuk melalui cela-cela ventilasi. Rasa cemas dan penasaran kini merayap dalam diri Berlian. Tangan wanita itu berkeringat, ini kali pertama ia akan melakukan hubungan badan dan memberikan kesuciannya kepada pria asing yang bukan suaminya sendiri. 'Luke, kenapa di saat aku ingin menyerah dan memberikan diriku seutuhnya kepada pria asing ini, namun kenapa bayangan Luke yang dingin dan sorot mata Luke kini terlintas saat aku melihat tatapan pria ini yang mirip sekali seperti Luke?' perasaan Berlian dilema, apakah dia akan melanjutkan langkah yang sudah terlanjur ia mulai atau kembali mundur dan melarikan diri dari situasi ini.Luke, atau Zee, mendekatkan wajahnya. "Apa kau ragu?" bisik Luke lembut, desiran napas d
"Kemana wanita itu? Perasaan, tadi dia lari ke arah sini!" ujar seorang pria bertopeng kepada rekan-rekannya dengan napas tersengal-sengal.Pria-pria bertopeng itu saling memandang, mencoba mencari petunjuk di lorong remang-remang. Mereka tampak kebingungan, tidak tahu ke mana arah wanita yang mereka kejar. Sementara mereka kebingungan, Julius datang menghampiri mereka dengan senyum lebar yang terpatri di wajah Julius. "Sedang mencari siapa, Tuan-tuan?" tanya Julius dengan nada santai.Pria-pria bertopeng itu menoleh dengan pandangan curiga. "Ada urusan apa denganmu? Pergi sana, urus saja urusanmu sendiri!" sentak seorang pria dengan suara meninggi. Julius tertawa kecil. "Oh, aku hanya penasaran. Kalian terlihat begitu bingung. Mungkin aku bisa membantu?" Julius melirik ke arah sudut lorong, di mana beberapa anak buah Luke berdiri di sana dengan tenang.Seorang pria mendengus. "Dia lari ke sini. Seorang wanita dengan gaun biru. Kamu melihatnya?" tanya pria bertopeng yang lain dengan