Malam ini, Berlian berdiri di ruang makan besar keluarga Kenneth, memandangi meja makan kaca yang telah ia siapkan dengan hati-hati.
Setiap detail ditata dengan penuh harapan—bunga mawar merah segar di tengah meja, lilin-lilin yang menyala lembut, dan hidangan lezat yang menunggu untuk dinikmati. Namun, di balik senyum Berlian, ada kegelisahan yang sulit untuk ia sembunyikan. "Mengapa tidak diangkat? Apakah paman begitu sibuk?" keluh Berlian, sesekali mendesah pelan ketika Berlian menekan nomor suaminya, berharap ada jawaban. Akan tetapi, nada sambung yang panjang dan tak berujung membuat kegelisahan Berlian semakin menjadi-jadi. Ana, pelayan setia keluarga Kenneth, mengamati majikannya itu dengan penuh simpati. "Nyonya, mungkin Anda ingin minum sedikit sementara menunggu Tuan pulang atau makan sesuatu terlebih dulu?" Ana menawarkan sambil menyodorkan gelas anggur. Berlian menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, Ana. Aku akan menunggu. Mungkin Paman sedang dalam perjalanan. Sebentar lagi pasti akan sampai." Ana ragu sejenak sebelum berbicara lagi. "Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantu? Mungkin menyiapkan makanan lain atau menghubungi Tuan melalui nomor lain, Nyonya?" Berlian menghela napas, menundukkan kepala. "Tidak, Ana. Kau sudah banyak membantu." Berlian Kenneth adalah seorang wanita berusia 22 tahun, Berlian merupakan keturunan keluarga mafia yang memiliki ladang opium dan kekuasaan yang cukup berpengaruh. Ia dijodohkan oleh kakek dan neneknya dengan Luke Kendrick, anak angkat keluarga Kenneth, seorang pria berusia 35 tahun. Meskipun awalnya Berlian benci karena perbedaan usia dan juga pernikahan yang mereka lakukan hanyalah simbol sebagai kepentingan bisnis. Tetapi malam ini, Berlian ingin membuat pernikahan mereka lebih dari sekadar simbol. Ia ingin menunjukkan kepada Luke bahwa pernikahan mereka bisa menjadi sesuatu yang lebih berarti. Kini jam dinding berdetak pelan, setiap menit berlalu terasa seperti seabad. Berlian kembali menatap ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan masuk, namun yang ia dapatkan hanya kesunyian. Berlian meraih ponselnya dan menekan nomor Luke lagi. Dia menunggu, detik demi detik terasa begitu lama. Tidak ada jawaban. Hanya suara operator yang terdengar, "Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab." Berlian menghela napas frustasi, mematikan panggilan. Sia-sia lagi. "Haaa ...." terdengar Berlian menghembuskan napas panjang, Berlian menatap layar ponselnya dengan hati yang patah ketika ia tidak mendapatkan jawaban dari sang suami. "Sungguh bodoh. Kenapa aku harus memperbaiki hubungan ini? Sementara dia begitu tidak peduli?" Berlian bergumam, mata wanita itu mulai berkaca-kaca. Ana menatap majikannya dengan penuh simpati. "Nyonya, Anda sudah menyiapkan segalanya dengan indah. Tuan Luke pasti akan menghargai itu." Berlian menundukkan kepala, air mata mulai menggenang. "Ya, tapi apa gunanya semua ini kalau dia tidak ada di sini?" Ana mendekat dengan hati-hati berdiri di samping Berlian. "Mungkin Tuan Luke sedang sangat sibuk. Anda ingin saya menyiapkan sesuatu untuk dimakan?" "Tidak, Ana. Terima kasih. Aku... hanya ingin menunggu," kata Berlian dengan suara bergetar. Waktu terus merambat pelan. Jarum jam bergeser dari pukul sembilan ke sepuluh malam. Berlian bangkit dari kursinya dan melangkah menuju jendela besar. Di jendela itu, Berlian menatap keluar, melihat jalan yang sepi dan gelap. Tidak ada tanda-tanda Luke akan hadir. Hanya kegelapan di luar semakin mencerminkan kekosongan di hati Berlian. Rasa kecewa merayap perlahan, seperti bayangan malam yang menelan sisa-sisa harapan Berlian. Tring! Saat Berlian berdiri di depan jendela, ponsel yang tergeletak di atas meja makan berkedip, menampilkan pop up pesan baru. Layar ponsel itu menunjukkan sebuah notifikasi: "Jangan tunggu aku pulang. Tidurlah dulu, aku sedang banyak urusan. -Luke" Di jendela, Berlian menghela napas panjang dan kembali ke meja. "Ana, tolong bersihkan meja makan ini. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi," ujar Berlian dengan suara yang terdengar hampir patah. Ana mengangguk lembut. "Baik, Nyonya. Saya akan segera membereskan semuanya." Berlian mengambil ponselnya tanpa mengecek lagi, ia melangkah menuju tangga dengan langkah berat. "Lian!" Mendengar namanya dipanggil, Berlian menghentikan langkah, ia menoleh dan mendapati sepupunya Andrew berlari kecil menghampirinya. "Hei, Lian, gadis kecilku, ada apa dengan wajahmu?" tanya Andrew saat bertatap dengan Berlian. Berlian tersenyum lebar. Mencoba menyembunyikan kesedihan yang menggelayuti hatinya. "Andrew, kau datang di saat yang tepat. Aku hanya... sedang merasa lelah," jawab Berlian, mencoba terdengar riang. Andrew memandang Berlian dengan penuh selidik, tidak sepenuhnya percaya pada jawaban Berlian. "Kau terlihat seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting. Ada apa, Lian?" Berlian menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai mengalir. "Luke tidak pulang malam ini. Aku sudah menyiapkan segalanya, berharap bisa menghabiskan malam bersama, tapi... dia bahkan tidak menjawab teleponku." Andrew menghela napas, meraih tangan Berlian dengan lembut. "Lian, Luke mungkin sibuk. Kamu tahu sendiri, Luke baru mendapatkan penobatan untuk mengurus ladang opium milik keluargamu. Aku rasa, dia benar-benar sibuk, Lian." Berlian menatap Andrew dengan mata yang basah. "Aku tahu, Andrew. Tapi apakah itu alasan yang cukup untuk mengabaikan semuanya? Aku hanya ingin sedikit perhatian darinya. Tidak lebih." Andrew menatap sepupunya itu dengan penuh perhatian. "Lian, aku mengerti perasaanmu. Tapi dalam dunia kita, kadang-kadang bisnis memang menjadi prioritas utama. Luke mungkin benar-benar sedang sibuk, tapi itu bukan berarti dia tidak peduli padamu. Kalau dia tidak peduli, untuk apa dia menerima perjodohan ini? Padahal, dia hanya orang lain dan bukan dari keluarga kita, bukan?" Berlian menatap Andrew dengan tatapan bingung. "Jadi kau berpikir jika Luke menerima perjodohan ini hanya karena kekuasaan dan pengaruh keluargaku? Itu sebabnya dia tidak menganggapku sebagai istrinya? Dan hanya untuk bisnis keluargaku?" Andrew menggeleng cepat, menatap Berlian dengan mata yang tampak bersimpati. "Ah... Tidak, bukan begitu. Aku tidak mengatakan bahwa Luke hanya peduli pada kekuasaan dan pengaruh keluargamu. Hanya saja, kita tidak bisa mengabaikan bahwa itu adalah faktor penting. Bagaimanapun, dalam dunia kita, kekuasaan dan pengaruh sering kali menjadi pendorong utama." Berlian menggigit bibir bawahnya, memikirkan perkataan Andrew. Melihat kegelisahan Berlian, Andrew menepuk pundak wanita itu dengan lembut. "Hei, jangan terlalu berpikir dengan ucapanku barusan. Aku hanya menjelaskan bahwa dalam keluarga kita, hal-hal seperti ini memang sering terjadi. Tidak ada yang salah dengan menginginkan perhatian dan kasih sayang, Lian," Andrew mencoba menghibur sepupunya. Berlian menghela napas panjang, merasakan sedikit tenang dari kata-kata Andrew meskipun hatinya masih diliputi keraguan. "Aku tahu, Andrew. Tapi sulit rasanya ketika perasaan dan harapanku selalu terabaikan." Andrew menatap Berlian dengan mata penuh simpati. "Lian, kau harus kuat. Kau berhak mendapatkan yang terbaik. Mungkin Luke benar-benar sibuk sekarang, tapi jangan biarkan dirimu terjebak dalam kekecewaan. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan untuk dirimu sendiri." Berlian mengangguk pelan, berusaha menguatkan dirinya. "Kau benar. Aku harus lebih memikirkan diriku sendiri." Andrew tersenyum. "Itu langkah yang bijak, Lian. Oh... Iya, apakah kau sudah mengetahui siapa yang menyabotase mobil orang tuamu? Apa kau masih melakukan penyelidikan?" tanya Andrew yang tiba-tiba mengungkit perihal kematian orang tua Berlian dalam insiden tiga yang tahun lalu. Berlian terdiam sejenak, raut wajahnya berubah suram mengingat tragedi itu. "Belum, Andrew. Penyidik yang kami sewa belum menemukan bukti yang cukup kuat. Aku merasa begitu frustasi karena tidak bisa mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas kematian mereka." Andrew mengangguk, memasang wajah prihatin. "Tapi, aku mendengar kabar jika paman Ethan sudah menemukan siapa pelakunya." Pupil mata Berlian melebar dengan cepat, menatap Andrew penuh harap. "Apa? Kenapa aku tidak mendengar apa-apa tentang ini?" Andrew menatap Berlian dengan raut wajah serius. "Ya, Lian. Aku juga baru mendengar dari seorang teman yang bekerja di lingkaran dalam. Tapi, sepertinya paman Ethan ingin memastikan segalanya sebelum memberi tahu kepada kita semua. Mungkin paman Ethan ingin melindungimu dari potensi bahaya." Berlian menggelengkan kepala, tak sabar. "Aku harus tahu, Andrew. Ini tentang orang tuaku. Aku tidak bisa diam dan menunggu lebih lama lagi. Beritahu aku! Jika tidak, aku akan benar-benar marah!" Desak Berlian yang kini menggoyang-goyangkan kedua bahu sepupunya itu. Andrew menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah, Lian. Aku akan memberitahumu karena kau memaksa. Dia adalah....""Kenapa paman selalu bersikap dingin? Apakah paman hanya menginginkan posisi ini? Posisi dimana kekuasaan yang diprioritaskan?" gumam Berlian, memandangi foto pernikahan ia dan Luke yang tergantung di dinding kamar mereka. Wajah Luke dalam foto itu tampak tenang, namun tatapan mata suaminya begitu dingin seakan menembus ke dalam hati Berlian. "Kenapa kau tidak pernah menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya? Ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Berlian bertanya-tanya pada bayangan suaminya dalam foto tersebut. Tangan Berlian terulur, meraba permukaan foto pernikahan mereka dengan jemarinya, merasakan dingin kaca di bawah sentuhan yang ia lakukan. "Kau menderita dengan pernikahan ini? Jika kau tidak menganggap pernikahan ini berarti, kenapa kau mau menerima perjodohan ini?" lirih Berlian pilu. Suara detik jam yang berirama mengisi keheningan kamar, sementara pikiran Berlian terus berputar mencerna ucapan Andrew. Ucapan sepupunya itu membuat Berlian semakin takut. Jika apa yang
"Kau ingin bercerai?" Luke mengulang perkataan Berlian, dengan suara berisik. Mungkin, ucapan itu, hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Luke tertegun, tatapan Luke seketika kosong dan tak percaya. Kata-kata Berlian menggantung di udara, terasa berat dan penuh makna. Berlian menunggu, berharap ada reaksi, namun yang ia dapatkan hanya keheningan. "Apa kau mendengarku? Aku ingin bercerai denganmu! Aku tidak sanggup menerima sikapmu dan kebohonganmu, Luke! Jika kau hanya memanfaatkanku, tolong! Lepaskan aku dari ikatan pernikahan konyol ini!" desak Berlian, suara wanita itu bergetar namun tegas. Luke memalingkan wajah, menghindari kenyataan yang ada di depan mata. "Berlian, kau tidak bisa mengambil keputusan ini dalam keadaan emosi," kata Luke dengan nada datar yang sama. "Emosi?!" Berlian hampir berteriak. "Aku sudah hidup dalam ketidakpastian dan rasa sakit selama dua tahun. Ini bukan hanya emosi sesaat. Ini adalah keputusanku setelah mempertimbangkan segala hal. Aku tidak
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai di ruang makan, tetapi kehangatan sinar matahari itu tidak mampu mencairkan suasana yang membeku di antara Berlian dan Luke. Mereka duduk berhadapan di meja makan, tetapi jarak di antara mereka semakin jauh seperti jurang yang tak memiliki jembatan. Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di ruangan makan pagi itu. Berlian memandang piring, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah kakek dan nenek sementara waktu," ucap Berlian pelan namun tegas, suara Berlian menggema di ruang makan yang sunyi. Luke menghentikan gerakan tangannya, menatap Berlian dengan tajam dan dingin. "Tidak, kau tidak akan pergi dari mansion ini," jawab Luke dengan suara yang sama tegasnya, meskipun di dalam hati pria itu, ia benar-benar merasa goyah. Berlian menatap Luke dengan mata yang penuh kemarahan dan k
Berlian menggenggam setir mobil dengan erat, tatapannya penuh amarah. "Kau mencoba menghalangiku? Maka aku juga akan menabrakmu, Luke!" geram Berlian, suara Berlian bergetar oleh emosi yang saat ini meluap-luap. Di depan sana, Luke berdiri tegap di tengah jalan dengan kedua tangan terentang, seakan menantang Berlian untuk melaju lebih cepat. Tatapan Luke dingin dan tak tergoyahkan, seolah-olah dia yakin bahwa Berlian tidak akan berani melakukan hal itu. Berlian tersenyum sinis. "Kau ingin menantang? Baiklah!" Berlian menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mesin mobil menggeram keras. Namun, saat mobil mulai melaju dengan kecepatan yang semakin tinggi, pandangan mata Luke tetap tak berubah. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Hentikan mobilnya, Berlian! Tolong!" teriak Luke, suara pria itu nyaris tenggelam oleh deru mesin. Berlian merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya. Dia tahu bahwa ini adalah titik balik, momen di mana dia harus menun
"Tuan, pelan-pelan, Tuan! Saya tahu Anda panik. Tapi... Ingatlah , Tuan. Bahwa nyawa tidak bisa disimpan di keranjang oren. Apalagi di cek-out, Tuan!" seru Julius, memegangi dadanya saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. "Jangan cerewet, Julius. Aku takut Berlian bertemu dengan Geral. Sudah dipastikan jika istriku dalam bahaya, Julius," jawab Luke dengan suara tegang. Luke melesat menuju kasino dengan perasaan campur aduk. Pikirannya berkecamuk dengan kekhawatiran tentang istrinya. Saat ini, Luke yang mengambil alih kemudi. Luke tidak mengizinkan asistennya itu untuk mengemudi. Luke sangat panik—cemas ketika ia mendapatkan laporan jika istrinya tengah berjudi dan mabuk di Kasino pusat kota. Jika demikian, Berlian tentu dalam bahaya. --- Sementara di dalam kasino, Geral duduk dengan angkuh di sebuah meja poker, Berlian di pangkuannya. Tangan Geral yang besar dan kasar mencengkeram pinggang Berlian dengan erat, seakan memastikan wanita itu tidak akan pergi ke mana-mana.
"Sudah kubilang lepaskan tangan menjijikanmu!" Berlian, dengan wajah memerah oleh amarah dan alkohol, menggigit lengan Geral sekuat tenaga. Geral tersentak oleh gigitan Berlian. "Argh! Brengsek!" pria itu menggeram kaget, melepaskan cengkeraman dengan cepat.Bruk!Refleks, Geral mendorong tubuh Berlian dengan kasar hingga tubuh wanita itu tersungkur ke lantai, membuat suara berdebam keras."Aduh, sakit!" Berlian meringis, tertelungkup di atas lantai.Melihat kesempatan itu, Luke segera berdiri, meraih kursi di dekatnya, dengan gerakan cepat, Luke menghantam kursi tersebut ke kepala Geral. "Brak!" Suara dentuman keras menggetarkan ruangan, membuat semua orang terdiam sejenak. Geral terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya. "Akkh ... Keparat!" umpat Geral memegangi kepalanya yang terasa berdenyut akibat hantaman yang ia terima.Berlian, meski kepalanya masih pusing akibat efek alkohol, mencoba merangkak menjauh, berusaha menyelamatkan diri. "Aku harus pergi. Ini urusan laki-la
"Tidak seperti biasanya. Ia akan menyambutku dengan senyum manis, menanyakan apakah aku sudah makan atau lelah. Perubahan Berlian terlalu mendadak," pikir Luke, menatap istrinya yang kini tertidur pulas menyandarkan kepalanya pada jendela mobil. Setelah mengoceh sepanjang perjalanan seperti burung parkit, akhirnya Berlian tertidur. Entah karena mabuk atau lelah setelah seharian meluapkan emosi. Luke menatap istrinya dengan wajah datar, tanpa berniat menyentuhnya. Jika terganggu, sang istri mungkin bereaksi keras. Apalagi, kondisi emosinya yang belum stabil membuat Luke memilih untuk membiarkan Berlian terlelap. "Julius, apakah kau sudah menanyakan kepada beberapa pelayan siapa yang datang ke kediaman semalam?" tanya Luke, pandangannya terarah ke kaca dasbor. Julius yang tengah menyetir, membalas kontak mata tuannya melalui kaca. "Kata Ana, Nyonya sangat kecewa malam itu. Nyonya beberapa kali menatap makanan yang dimasak untuk Tuan sambil menangis. Setelah itu, Andrew datang ber
"Andrew, aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting," kata Luke, ketika ia duduk berhadapan dengan pria setengah baya. Pagi sekitar jam sembilan, Luke memutuskan menemui Andrew. Padahal pagi itu, Luke ingin meminta tanda tangan Berlian karena ada masalah di ladang opium. Berhubung Luke tidak menemukan Berlian di manapun, Luke mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Andrew. Andrew dengan ramah menyambut kedatangan Luke. Bibir pria itu terus mengambang dengan senyum yang merekah. "Tentu, Kakak Ipar. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dengan wajah datar, Luke meraih cerutu, membakar cerutu itu dan menghembuskan asapnya ke arah Andrew. "Aku tahu kau sering datang ke mansion, terutama ketika aku tidak ada. Dan aku mendengar dari beberapa pelayan bahwa kau sering berbicara dengan Berlian. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kalian bicarakan." Andrew menatap Luke dengan tenang. "Aku hanya mencoba memberikan semangat kepada Berlian, Luke. Dia terlihat sangat kesepian dan te