Karuna dan Eknath keluar dari kolam dengan tubuh basah kuyup.
“Kau mendengarnya, Karuna?”
“Ya, aku tidak tuli!”
“Suara apa itu?”
“Entahlah! Mungkin binatang? Kita, kan, di gunung!” jawab Karuna asal.
Lilian sudah berpakaian bahkan pergi lebih dulu sebelum Karuna dan Eknath menyadari suara itu. Dua orang siswa berlari-lari sambil menggendong peralatan kultivasi di dadanya.
“Apa yang terjadi?” cegah Lilian saat mereka berpapasan.
“Nona, maafkan kami.”
“Aku mendengar suara mayat hidup. Ada apa ini?” desak Lilian.
Lilian yang hanya mengenakan pakaian tipis selepas mandi, bahkan rambutnya masih basah, dipaksa harus bergerak cepat. “Apa itu suara mayat hidup yang dibawa Paman hari ini? Kupikir dia mengurung para mayat hidup itu di ruang meditasi. Bagaimana mereka bisa kabur?&rd
Karuna membuka mata perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah sebuah lukisan pemandangan pegunungan dan hutam bambu dengan kaligrafi Cina yang tak dia pahami maknanya.“Kau sudah bangun?”“Eknath?” Karuna kebingungan dan masih berbaring di atas tilam. “Apa aku....” Karuna menoleh ke samping dan memperhatikan interior kamar yang ditempatinya. “Hah?” Karuna duduk seketika dan merasakan nyeri di punggung yang diperban.“Jangan bergerak! Kau sudah koma selama tiga hari. Untung aku menemukan tempat ini. Kau pikir cederamu tidak parah, ya? Para mayat hidup itu cakarnya mengandung racun. Bukankah ini lucu? Kau seperti terkena racun milikmu sendiri.”Karuna hanya bisa membuka dan menutup mulutnya kebingungan.“Sudalah! Makan ini.” Eknath meletakkan semangkuk bubur panas di meja.“Terima kasih, Eknath. Oh, ya, bagaimana Lilian? Apa kita ketahuan?”Eknath duduk di sebuah bangku
“Wanita terkutuk! Kau hanya membayar dendam pribadimu!” teriak siswa yang selalu setia menemani Lilian. Dia tahu betul Lilian tak melakukan pelanggaran apa pun.Lilian berdiri tegak. Siswa itu sudah berlari akan menerjang perempuan bergaun ungu, tapi Lilian merentangkan tangan.“Berhenti di sana!”Siswa itu terpaku. Wajah Lilian mengeras. Dia jarang sekali menunjukkan ekspresi wajahnya. Tapi kini, kemarahan sudah sangat memuncak dan tak lagi bisa dia sembunyikan di balik wajah datarnya.Lilian maju selangkah ke depan perempuan bergaun ungu. Dia menarik cepat sebilah pedang dari pinggang salah satu siswanya.“Nona!” sergah yang lain.Salah satu siswa berlutut di belakang Lilian. “Jangan lakukan ini! Jika Tuan Besar Zang tahu, dia akan....”“Diam!” bungkam Lilian. “Jadi, bagaimana kalau Ayah tahu? Bukankah kemarin dia
“Terus serang!” teriak Tuan Muda Wan yang memimpin pasukan ke Gunung Putih. “Kita harus bisa mendapatkan Gunung Putih!”Di sisi lain, Tuan Besar Zang tengah dalam perjalanan kembali ke Gunung Putih bersama sejumlah rekan dan siswa seniornya. Dia duduk di dalam tandu dan memegangi tusuk konde yang akan dia berikan sebagai oleh-oleh untuk Lilian.“Pemimpin klan, tusuk konde ini terlihat indah. Saya yakin Nona Lilian akan menyukainya,” hibur sang rekan.Tuan Besar Zang terlihat puas dan tersenyum lebar dengan pilihannya.Dari luar tandu terdengar seseorang tengah berlari mendekat dan mengetuk pintu tandu dengan tergesa.“Tuan Besar, ada berita buruk!” Seorang pria bercaping yang mengawal perjalanan mereka berujar panik.Tuan Besar Zang menyimpan tusuk konde di dalam pakaiannya. “Berita apa yang kau bawa?”“Burung pembaw
Serangan terjadi di klan Kalingga. Rion mendapat tugas jaga di luar. Setelah mendapat kabar ayahnya terluka, dia segera berlari dan menerabas semak belukar.Rion melompati pagar rendah dari bambu dan menerbangkan segumpal debu yang beraroma masam. Tubuh rampingnya menyelinap di sela-sela tanaman singkong yang kurus hingga berhasil tiba di sebuah bangunan bekas perpustakaan kota yang dindingnya jebol sebelah. Dia menaiki satu persatu anak tangga hingga tiba ke lantai tiga. Di sana sudah berkumpul anggota tetua Klan Kalingga dalam suasana bisu yang mencekam.Mata Rion merebakkan air mata. Dia selalu membayangkan hal ini akan terjadi. Pada kenyataannya, Rion tak pernah siap dan tak cukup keyakinan diri. Kerumuman itu terpisah antara laki-laki dan perempuan. Saat sadar Rion tiba di sana, mereka membelah diri untuk memberi pemuda itu jalan.“Ayah? Apa ayahku baik-baik saja?” desak Rion.“Kau pikir aku akan mati semudah itu? Uhuk-uhuk....”Seorang pria kurus berambut ikal tengah berbaring t
“Di mana aku? Kenapa aku berada di sini?”Kepalanya terasa ditusuk-tusuk dan sakit luar biasa. Dengan tangan masih gemetar hebat, dia pegangi kepalanya yang berdenyut. Ada cairan hangat mengalir di belakang kepalanya. Dia mengusapkan tangan dan darah merah melekat di telapaknya.“Apa aku terbentur?”Pria itu tidak ingat bagaimana dia bisa terluka dan jatuh ke sana. Satu-satunya petunjuk yang dia miliki adalah kalung di lehernya. Sebuah pecahan batu pipih dengan ukiran-ukiran simbol terkalung di lehernya. Di sisi lain pecahan batu itu terukir kata RION.“RION? Apa itu namaku?” Dia usapkan jempol ke permukaan ukiran huruf-huruf itu.Tiba-tiba sekawanan burung datang dan mengerumuni tubuh Rion. Rion menjerit dan menghalau kepakan serta cakaran burung-burung itu. Sebuah potongan kenangan muncul di pikirannya. Seseorang mendorongnya dari puncak tebing.“Temukan tujuh dewa perang yang hilang!” bisik burung-burung itu di antara kepakan sayapnya.Rion menyilangkan kedua lengan untuk melindung
“Aakh,” rintih Rion sambil berusaha bangkit, tapi punggungnya begitu kaku. Dengan ditopang oleh kedua tangan berototnya, perlahan-lahan dia mulai merangkak hingga membuat rambut panjangnya berjatuhan ke bahu dan dada. Rion berhenti dan menggenggam ujung rambutnya sendiri.“Kenapa? Apa yang terjadi padaku?” Dia jumput dan periksa dengan seksama rambut hitamnya yang tiba-tiba berubah menjadi merah terang saat diterpa matahari.Rion memandangi kedua telapak tangannya yang dipenuhi darah kering dan meraba-raba sekujur tubuhnya untuk memeriksa luka. Dia teringat pada pedang yang ditancapkan oleh pengemis tua itu ke punggungnya.Pemuda itu segera meraba punggung dan tidak ada apa pun di sana. Dia meraba perut yang dalam ingatannya pedang itu menembus dari punggung hingga ke perut. Rion bahkan membuka kemejanya yang basah penuh darah hingga perut dan dada bidangnya terpampang.“Tak ada bekas luka sama sekali di sana,” bisiknya.Semua masih seperti sediakala. Namun, begitu Rion memeriksa tan
Rion bersama sang singa memacu kecepatan untuk mencari sumber teriakan. Udara terasa begitu lembap. Jalan-jalan yang lengang dipenuhi dengan guguran dedaunan cokelat kekuningan di sepanjang kiri dan kanan dari pepohonan yang meranggas.Rion menunggangi singanya. Dia menyembunyikan wajah di bawah topi lebar. Mereka baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi batas pemisah antara dua wilayah.“Di mana kita sekarang?”“Entahlah,” ujar sang singa acuh tidak acuh. “Bukankah kau harus fokus pada tujuanmu? Kenapa kau malah ke sini? Tujuan kita di arah sebaliknya.”“Sudah kukatakan. Aku mendengar seseorang berteriak!”“Mungkin hanya suara angin. Sepertinya tidak ada makhluk hidup di sini. Karena tidak ada air sama sekali.”Air sungai di bawah jembatan itu mengering dan hanya menyisakan bebatuan serta tumpukan sampah yang menguarkan aroma busuk.“Kau yakin akan masuk ke wilayah ini?” tanya sang singa. “Maka kita akan semakin jauh dari tujuan. Kita harus menemukan Panglima Karang. Seharusn
“Hei!” Rion berteriak sambil mengulurkan tangannya. Dengan susah payah, Rion berhasil membawa gadis itu kembali ke atas. “Kau baik-baik saja?”Gadis itu basah kuyup dan tubuhnya menggigil. Dia tidak menjawab tapi malah mengayunkan pedang pada Rion.“Kau! Bandit utara, serahkan ayahku!”Rion mundur sambil mengangkat kedua tangan. Dia bersiap mencabut celurit dari balik punggungnya.“Apa kau tadi yang berteriak meminta tolong?”“Cih, kau pikir aku membutuhkan pertolongan?” desis gadis itu. Dia tampak tangguh dan sangat waspada.“Oh, jelas sekali kau membutuhkan pertolongan, Nona!” sindir sang singa. “Kau berteriak seperti anak ayam yang kedinginan. Dan lihatlah sekarang! Kau malah menodongkan senjata pada orang yang telah menolongmu? Tidak tahu diri!”“SINGA?” jerit gadis itu. “Bisa bicara?”Gadis itu semakin panik. Dia ayunkan pedang pada singa dan juga Rion secara bergantian.“Hei, itu berbahaya!” teriak sang singa.“Nona, tenanglah! Kami bukan bagian dari bandit utara seperti yang ka