***
Lima bulan kemudian.
Kehamilan Misa semakin tua, perutnya sudah terlihat membesar dari sebelumnya. Aku lebih perhatian dari sebelumnya, karena aku memiliki tanggung jawab di dalam janin tersebut.
Bak seorang ratu di jaman kerajaan, perlakuan khusus kuberikan pada Misa. Beberapa pembantu di rumahnya ikut berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik bagi Misa.
Tak hanya tubuhnya yang berbeda, sifat dan perilakunya bertambah manja dari hari ke hari. Bahkan dalam sebulan kemarin, aku harus membolos kerja untuk satu pekan penuh untuk menemani Misa di kamarnya.
“Kandungannya sudah berada di tahap yang aman, kita hanya perlu menjaga agar Misa tidak melakukan hal-hal yang berat, pikirannya juga tidak boleh merasa tertekan dan terbebani,” ucap dokter pribadi Misa ketika datang ke rumah untuk pemeriksaan rutin perminggu.
“Begitu, yah? Aku harap dia juga tidak memikirkan banyak hal,” timpalku.
Dokter wanita itu mengangguk dan b
Apa yang akan Revan lakukan melihat situasi di Indonesia semakin kacau? Apakah ia mampu menyelesaikannya? Simak terus kelanjutannya, yah. Jangan lupa vote, comment, dan share ke temen-temen kalian, yah. Selamat membaca:)
*** Bianca menyimak semua ceritaku dengan antusias, ia banyak bertanya terkait peranku di Cincin Hitam, awal mula kasus pembunuhan yang menjerat organisasiku, hingga ke bagian pribadi seperti hubungan dengan Misa. Aku senang, akhirnya aku bisa berbagi kisahku dengan orang lain selain Misa. Semua pertanyaan dari Bianca kujawab dengan senyuman yang terukir di wajahku. “Aku akan menjawabnya sepulang nanti,” balasku, meski Bianca terlihat kecewa tapi ia menyetujui apa yang kuusulkan. Siang itu, waktu istirahat sudah hampir selesai. Bianca harus segera kembali ke kediaman agar Misa tidak mencurigai kami berdua. Ia juga menceritakan ada tugas lain yang perlu ia kerjakan dan kumpulkan pada atasannya. Sama seperti janjiku di restoran tadi. Aku mulai pembicaraan kami yang kedua dan kujawab semua pertanyaan tadi dengan jelas nan singkat. Bianca hanya mengangguk dan sesekali berdeham ketika aku bercerita panjang, tak terasa kami sudah sampai di depan rum
*** Pria itu datang, pria bernama Galiardo mulai melangkah masuk dari pintu depan. Aku berdiri di depan pintu kamar seraya menatap tajam padanya. Wajahnya terlihat cukup beringas dengan otot lengan yang kekar bertato membuatnya begitu ditakuti tak hanya oleh orang lain, tapi anggotanya sendiri. “Di mana Misa?” tanya Galiardo. Suaranya begitu lantang bertanya padaku, ia berteriak dari bawah dan membalas pandanganku dengan senyum seringai. Dari semua yang terjadi, aku sudah terbiasa dengan suasana tegang seperti ini. “Dia sedang beristirahat,” jawabku, singkat. “Apa dia sudah melemah? Apa Misa yang kukenal saat ini tidak berani untuk menemuiku?” tanya Galiardo dengan suara tegas. Terdengar dari arah belakangku, derit pintu kamar terbuka dan suara Misa terdengar lirih kepadaku. “Biarkan aku bertemu dengannya, agar dia bisa yakin dengan permintaannya,” ungkap Misa. Aku yang masih memandang Galiardo harus membalikan
"Revan," sapa Misa, ia memegang tanganku dengan erat seraya kedua matanya menelisik jauh ke arahku. Aku tidak bisa mengelak, tatapannya sungguh kuat seolah-olah mengintimidasiku untuk tidak beranjak dari tempatku berdiri. Aku membiarkan mereka pergi dengan meninggalkan kesan kecewa dari masing-masing raut wajah mereka. Violet-lah yang begitu terkejut ketika mendengar Misa hamil anakku. Misa masih menggenggam tanganku, kutatap matanya dan perlahan ia mulai melepaskan pegangannya. Ia beranjak pergi masuk meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba Bianca datang dengan membawa sepucuk surat di tangannya. Ia memberikan surat itu padaku dan terkejutnya aku melihat isi surat tersebut. Surat itu berasal dari Michelle. "Apa yang kamu duga tidak selamanya benar, aku tidak pernah berniat melakukannya dan mereka tetap memaksaku." Begitulah apa yang dijelaskan Michelle di dalam surat singkat tersebut. Kuhela napas panjang memikirkan bagaimana
*** Pagi hari di keadaan yang baru. Dinding, jendela, hingga pintu berlumuran darah dari pertempuran singkat semalam. Aku masih terjaga sampai pagi ini, menemani Michelle yang terpaksa kusekap di salah satu ruangan kosong. Semalam, ia banyak bercerita padaku, tentang dirinya yang dijebak atau playing victim. Tentu saja itu tidak menjadikan dirinya terbebas begitu saja ketika ia ikut bersama pemberontak tersebut. Di hadapanku, Michelle terlihat masih tidur di atas kursi dengan kaki dan tangannya yang terikat. Secercah cahaya masuk dari belakangku dan melihat beberapa orang masuk setelah membuka pintu. “Nyonya menanyakanmu, Tuan,” balas seorang pria berpakaian jas menghampiriku. Kuangkat tubuh ini dari atas sofa dan sesekali meregangkan tubuh mengingat rasanya pegal sekali harus duduk menemani wanita itu semalaman, sialnya lagi dia sama sekali tidak ingin mengakui perbuatannya. “Baiklah. Kalian berdua awasi dia dan kabari aku ji
*** Kami duduk melingkar di ruang kamar Misa. Nathan duduk berdampingan dengan Violet, sedangkan Aku duduk bersama di samping Misa. Kurasakan Misa merangkul tanganku dengan erat di hadapan mereka, Nathan menyadari dan matanya semakin menatapku dengan tajam. “Kukira hubungan kalian hanya sebatas pemuas nafsu, apa aku benar?” tanya Nathan, ia bicara dengan spontan membuat Violet yang berada di sampingnya kaget bukan main. “Hush! Apa kamu tidak bisa menyaring perkataanmu itu?” tanya Violet. “Kita tidak perlu bersikap ramah dengan dua orang ini. Mereka bersenang-senang di tengah kita sedang berjuang untuk hidup dan mati kita. Sungguh orang yang menjijikan!” erang Nathan. Kutarik kerah Nathan dengan kasar sambil membalas tatapannya dengan penuh kedengkian, aku tidak menyangka dia akan berkata sedemikian kasar padaku. “Kenapa?! Apa kamu keberatan?!” bentak Nathan. “Kita belum pernah bertengkar sebelumnya, aku sama sekali tida
Kujabat tangan pria tersebut dengan gemetar, tak kusangka ia akan berada di hadapanku saat ini. Terlihat Stefano datang bersama dua orang berpakaian sama setelan jas. “Saya sungguh terkesima melihat perkembangan perusahaan Anda, sungguh melewati ekspektasi kami,” puji Stefano. Aku menunduk sambil tersenyum simpul, mencoba memeragakan adegan di mana aku tidak mengenal pria tersebut. “Anda terlalu berlebihan, saya hanya menjalankan tugas seperti bagaimana CEO pada umumnya.” “Aku sangat senang berada di sini, bagaimana jika kita langsung mulai pertemuannya?” tanya Stefano, wajahnya cukup tua jika kugambarkan, terdapat garis keriput di pipi dekat hidung dan alisnya begitu tebal dan lurus. Ia duduk di kursi sembari mengeluarkan berkas-berkas yang ada di dokumennya, beberapa rekannya juga ikut memberikan berkas tersebut sehingga ada tiga berkas yang menumpuk di atas meja pertemuan. Nancy mengambil ketiga berkas tersebut dan memberikannya pad
*** Tiga tahun kemudian. “Sayang, bisakah kamu temani Rafael sebentar?” Teriakan dari luar kamar terdengar nyaring, aku masih bersantai di atas kasur empuk ditemani oleh Rafael yang asik bermain dengan mainan miliknya. “Iya,” balasku singkat. Pagi itu, Misa berencana memasak sarapan untukku dan juga untuk Rafael. Benar! Dia adalah anak pertama kami, ia tumbuh menjadi lelaki yang gagah dan tampan di usianya yang beranjak dua tahun. “Papa….” Aku melirik sambil menepikan tab yang tengah kupegang, terlihat Rafael mengangkat sebuah mainan dinosaurus dan perlahan menuntun benda itu berjalan di kakiku. “Itu T-Rex,” jawabku sambil tersenyum, mendengar T-Rex, Rafael malah mengaum dengan kencang hingga seisi kamar cukup bising karenanya. “T-Rex Papa memang hebat,” sambungku, kututup telinga kiriku yang sakit mendengar teriakan dari Rafael, tetapi itu bagus untuknya, itu berarti responnya begitu baik dan cepat belakangan i
*** Perjalanan panjang ini akhirnya berakhir tepat ketika aku masuk ke daerah tempat Carlos bermukim, jaraknya cukup jauh dari Ibukota Mindanao. Letaknya berada di pedalaman yang terasingkan, meski begitu alam dan keasrian desa tersebut masih terjaga dengan sangat baik. Kita datang kemari dengan menggunakan satu bus besar, kulihat reaksi warga desa ketika melihat kedatangan kami seperti tidak ramah. Tatapan mereka begitu sinis melirik ke kendaraan kami, bahkan anak kecil yang biasa tersenyum dan ceria bisa sebegitu ketus dan cueknya pada kami. “Ada yang aneh dengan warga desa ini, mereka seperti tidak pernah mendapatkan tamu sebelumnya,” ucapku. Kebetulan Nathan duduk di sampingku dan ia juga pasti menyadari keganjilan yang terjadi di desa ini. Sampai kami turun dari dalam bus, mereka masih melirik kami dengan tatapan ketus, itu membuatku merasa tidak nyaman. “Apa Carlos melakukan sesuatu pada mereka?” tanyaku, Nathan menggelen